Sabtu 22 Mar 2014 12:11 WIB

Istilah Tionghoa tak Pengaruhi Pemilu

Muslim Tionghoa/ilustrasi
Muslim Tionghoa/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggantian istilah Cina menjadi Tionghoa melalui keputusan Presiden dinilai tidak akan memengaruhi peta politik Pemilu 2014. Suara masyarakat dari etnis tersebut dianggap sulit terpusat pada satu partai.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi mengatakan, suara masyarakat Tionghoa masih cenderung pecah. Dia mengapresiasi penggantian istilah itu karena memang menghapus rasa diskriminasi. Namun, hal itu tidak berdampak pada politik.

Menurut Sofyan, dalam segi permodalan pun, masyarakat Tionghoa tidak akan terpusat pada satu partai. ''Mereka ini sulit diarahkan karena yang disokong hanya sejumlah pihak tertentu yang mereka dukung,'' kata Sofjan kepada Republika, Jumat (21/3).

Dia menilai, perubahan istilah itu bukan untuk merangkul orang-orang Tionghoa secara politik, melainkan hanya sebatas pengakuan bahwa etnis itu bagian dari suku di Indonesia. Menurutnya, Presiden sekarang membuka peluang bagi warga Tionghoa ikut serta membangun bangsa.

Sofyan menyangsikan jika kekuatan modal para pengusaha Tionghoa disebut akan menyokong pemilu. Alasannya, pengusaha Tionghoa tetap fokus pada investasi usahanya ke depan dan bukan melihat pemilu sekarang ini.

Menurut dia, para pengusaha mulai merasa takut dengan keberadaan KPK dan PPATK dalam memeriksa keuangan. Kalaupun ada bantuan masuk, kata Sofjan, pasti akan sesuai prosedur dan jumlahnya sesuai ketentuan yang ada. ''Tidak ada lagi pemberian modal gelap pada partai dari kalangan pengusaha Tionghoa,'' ujarnya.

Sementara itu, anggota Majelis Pertimbangan Partai Amanat Nasional (PAN) Alvin Lie mengatakan pemuda Tionghoa berpotensi besar mengondisikan situasi politik di Indonesia. Mereka adalah generasi yang melek politik dan memahami situasi politik saat ini harus dimanfaatkan.

Dia mengatakan, masyarakat Tionghoa saat ini sudah membaur dalam keberagaman masyarakat Indonesia. Bahkan, mereka nyaris tidak bisa dibedakan dengan warga pribumi. ''Generasi di bawah saya sekarang sudah memahami pentingnya berpolitik,'' kata Alvin.

Jumlah warga Tionghoa pun sudah sangat banyak. Mereka, kata Alvin, bisa ditemukan hampir di setiap tikungan hingga pelosok desa. Soal permodalan, warga Tionghoa juga diakuinya cukup kuat.

Menurut mantan anggota DPR RI ini, masyarakat Tionghoa siap memperkuat infrastruktur partai dan memaksimalkan keikutsertaannya dalam pemilu. Hal ini muncul sebagai semangat untuk membangun dan memperbaiki negeri ini.

Presiden SBY telah mengeluarkan Keppres Nomor 12 Tahun 2014 yang membuat agar penggunan kata “Cina” kepada warga keturunan Mandarin diganti menjadi “Tionghoa”. Lantas, jika masyarakat masih menggunakan kata “Cina” dalam kegiatan sehari-harinya, apakah akan dikenai sanksi?

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM Mualimim Abdi mengatakan, sanksi atau ancaman hukum dari keppres itu tidak menjangkau pidana. Lain halnya bila putusan itu dituangkan dalam undang-undang (UU) atau peraturan daerah (perda).

Menurutnya, ancaman pidana tidak diberlakukan, tapi hanya berupa sanksi sosial. ''Kan sudah diputuskan kalau berbicara jangan menggunakan kata 'Cina', jadi sebagai masyarakat taat hukum, ya ikuti saja,'' ujar Mualimim. N erdy nasrul/muhammad andi ikhbal/ gilang akbar prambadi ed: andi nur aminah

Informasi dan berita lain selengkapnya sila dibaca di Republika, terimakasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement