Rabu 12 Mar 2014 06:00 WIB

Demokrasi dengan Meritokrasi

Yudi Latif
Foto: Republika/Daan
Yudi Latif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yudi Latif

Demokrasi tanpa kepemimpinan hanya melahirkan gerombolan. Dalam gerombolan, kepentingan warga negara mudah menjelma menjadi anarki. Kekerasan, pemaksaan, dan pelanggaran pun tak terelakkan.

Tidaklah sama, antara pemerintahan otoriter dan pemerintahan otoritatif. Demokrasi bermaksud membasmi yang pertama, tetapi tak bisa tegak tanpa kedua. Kenyataan kini, aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya otoritas kepemimpinan atas gerombolan.

Demokrasi menghendaki kepemimpinan oleh banyak orang. Proses perekrutannya tak bisa mengandalkan pada keturunan seperti dalam aristokrasi; tidak juga pada kekayaan bawaan seperti dalam plutokrasi; tetapi harus berjejak pada prestasi (merit) warga negara di segala bidang. Dengan kata lain, demokrasi menghendaki kepemimpinan berdasarkan meritokrasi.

Meritokrasi merupakan solusi atas nepotisme, kelembaman kepemimpinan serta daya saing bangsa. Demokrasi tanpa meritokrasi membuat kepemimpinan tercengkeram orang-orang yang mau meski tak mampu.

Tentang perjuangan menegakkan meritokrasi, Inggris memberi contoh terbaik. Hingga abad ke-18, Inggris terkenal sebagai rumah nepotisme. Sebagai negeri yang tidak pernah dijajah, tidak pernah sepenuhnya kalah dalam perang, dan tidak pernah diguncang revolusi politik, Inggris tak pernah berjeda untuk membuat awalan segar. Akibat ketiadaan “gangguan” ini membuat masyarakat Inggris tetap bermental pedesaan jauh setelah 80 persen penduduknya tinggal di kota. Dalam mental perdesaan inilah feodalisme bertahan, bersekutu dengan nepotisme.

Beruntung, Inggris segera mendapat tekanan dari luar dan dalam. Tekanan dari luar datang dari persaingan dan perseteruan internasional. Peperangan antarbangsa, sebagai perwujudan sempurna kompetisi internasional, ternyata memberi desakan kuat bagi keharusan menghargai merit. Perang bukan saja mendorong penemuan teknologi, tetapi juga merangsang penggunaan sumber daya manusia secara lebih baik. Sejak Perang Dunia I, tes IQ diberlakukan guna merekrut personel-personel ketentaraan. Tantangan ini pada gilirannya mendorong reformasi di bidang pendidikan.

Dari dalam, tekanan muncul dari menguatnya aspirasi-aspirasi sosialis yang melancarkan serangan terhadap segala jenis pengaruh keluarga terhadap dunia kerja. Aspirasi sosialis mempercepat tumbuhnya organisasi berskala besar yang mendorong promosi atas dasar merit. Mereka juga menuntut kesetaraan lebih besar dalam akses ke dunia pendidikan. Akhirnya, dalam melawan kepemimpinan konservatif, kaum sosialis mengidentifikasi kesetaraan dengan perluasan meritokrasi.

Pengalaman Inggris memberi pelajaran penting bagi kita. Nepotisme bisa tergerus jika bangsa memiliki competitive spirit dengan negara lain. Semangat berkompetisi bisa tumbuh jika kecenderungan inward looking berubah menjadi outward looking. Daya-daya juang tidak diorientasikan untuk "bertikai" di dalam, tetapi diarahkan untuk menandingi “pesaing” dari luar.  Tidak adanya competitive spirit melemahkan dorongan untuk mengerahkan talenta-talenta terbaik bangsa, dan para pemimpin medioker yang tampil tak memiliki sense of crisis.

Sementara kita terus bertikai di dalam, sumber kekayaan kita terus dicuri dan dijarah orang luar tanpa penjagaan. Pada saat globalisasi dan perwujudan era perdagangan bebas mulai menebarkan ancaman, Indonesia tak memiliki kesiapan untuk bersaing. Hasil survei World Competitiveness Report oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF) dalam beberapa tahun terakhir menempatkan Indonesia rata-rata di urutan ke-60-an dari 75 negara dalam Growth Competitiveness Index/GCI) dan urutan ke-50-an dalam Current Competitiveness Index/CCI).

Pengalaman Inggris mengisyaratkan pergeseran dari nepotisme ke meritokrasi memerlukan perjuangan kuasa. Ide-ide sosialistik tetap dibutuhkan sebagai pendobrak ketimpangan masyarakat yang ditimbulkan keturunan maupun kepemilikan. Perjuangan ini harus dimulai sejak dini, dalam akses orang terhadap dunia pendidikan. Seperti kata Pierre Bourdieu, pendidikan memberikan bukan sekadar skemata bagi perbedaan kelas dan prinsip fundamental bagi pemapanan tertib sosial, tetapi juga menjadi katalis bagi perjuangan kuasa yang kompetitif.

Pendidikan berorientasi meritokrasi harus menghilangkan diskriminasi manusia berdasar jenis intelegensia tertentu—yang membuat orang dengan intelegensia lain dianggap sampah masyarakat.

Demokrasi pendidikan harus memberi ruang aktualisasi bagi keragaman intelegensia manusia (linguistik, logik-matematik, spasial, musik, kinestetik, interpersonal dan intrapersonal) sehingga bisa melahirkan calon pemimpin dengan merit dan karakter tangguh. Manusia berkarakter adalah yang memiliki keunggulan khas, dapat diandalkan, dan memiliki daya tahan dalam kesulitan dan persaingan.

Jalan menuju demokrasi telah ditempuh dengan ongkos mahal. Terlalu sia-sia jika yang muncul hanya gerombolan. Kepemimpinan harus ditegakkan di segala lini dengan memulihkan otoritas berbasis meritokrasi.

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement