Senin 06 Jan 2014 08:10 WIB
Industri Perbankan

Bank Sistemik Perlu Kategori

Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perbankan menilai otoritas keuangan di Indonesia harus mengategorikan bank yang memiliki dampak sistemik atau Systemically Important Bank (SIB). Bank-bank tersebut harus diawasi lebih ketat agar ketika krisis bank tersebut tidak jatuh dan membahayakan perekonomian Indonesia.

SIB merupakan bank-bank yang memiliki aset besar dan memiliki anak usaha yang terinterkoneksi. Direktur Utama Bank Mandiri Budi Gunadi Sadikin mengatakan, bank-bank yang besar memang harus diawasi dengan lebih ketat. “Mungkin ada beberapa aturan tambahan yang harus diberikan kepada bank besar,” ujarnya, akhir pekan lalu.

Ia meyakini bahwa Bank Mandiri merupakan salah satu bank yang berdampak sistemik. Untuk itu, ia berharap Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) sesegera mungkin mengeluarkan kategori Domestic Systemically Important Bank (D-SIB). Menurutnya, bank-bank tersebut berisiko besar untuk menggoyang perekonomian Indonesia jika terjadi krisis.

Ia mengaku aturan bagi D-SIB akan lebih berat, tetapi hal tersebut penting bagi industri perbankan di Indonesia. Bank Mandiri sendiri akan mempersiapkan diri dari sisi manajemen risiko dan tata kelola organisasi jika aturan tersebut dikeluarkan.

Bank Rakyat Indonesia (BRI) pun menilai kategori D-SIB diperlukan. “Kalau ada kriteria yang baku, kami gampang mengukurnya,” ujar Direktur Keuangan BRI Achmad Baiquni. Menurutnya, standardisasi sangat diperlukan.

Pejabat Sementara Presiden Direktur Bank Internasional Indonesia (BII) Thila Nadason menambahkan, SIB bukanlah hal yang baru karena sudah berjalan di negara-negara lain. Indonesia perlu segera mengategorikan bank yang masuk SIB. Itu penting karena SIB seperti pondasi ekonomi untuk menjaga stabilitas perbankan.

Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan, BI harus memonitor fungsi pendanaan dari perbankan, sedangkan OJK perlu mengetahui kondisi mikro perbankan. “Itu saja yang penting. Sehingga, kalau diperlukan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dari BI, untuk menentukan bank ini layak dibantu atau tidak, mereka butuh informasi dari OJK. Nah, untuk mekanisme ini, saya kira perlu koordinasi,” katanya.

Kendati fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan dialihkan ke OJK, BI tetap memberikan FPJP pada bank yang mengalami krisis. OJK yang berfungsi sebagai pengawas bank akan memberikan informasi dan rekomendasi pada BI mengenai bank yang memerlukan FPJP. Kemudian, BI akan mengkaji dan merespons.

Dewan Komisioner OJK Bidang Perbankan Nelson Tampubolon mengatakan bahwa OJK tengah mengkaji bank-bank yang masuk kategori D-SIB. Ia berharap aturan itu dapat keluar tahun ini. Menurutnya, yang termasuk kategori D-SIB adalah bank yang masuk kategori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) IV atau III.

Sekretaris Komite Ekonomi Nasional (KEN) Aviliani berpendapat, bank berdampak sistemik bisa dikategorikan dalam dua kondisi, yakni ketika kondisi normal dan ketika kondisi krisis. “Kalau kondisi normal, bisa dari sisi aset, tapi kan yang menjadi masalah adalah berdampak sistemik ketika krisis,” ujarnya. Ketika krisis, bank kecil pun bisa berdampak sistemik.

Menurut Aviliani, saat ini rumusan bank berdampak sistemik pada saat krisis belum ada. Ia mencontohkan kasus Bank Century terjadi polemik karena penurunan rasio kecukupan modal (CAR) dianggap ada unsur kesengajaan, padahal sebenarnya terjadi ketika krisis. Rumusan bank berdampak sistemik ketika terjadi krisis, ini harus segera dilakukan sebelum terjadi krisis. n satya festiani ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement