Selasa 17 Dec 2013 06:05 WIB
Minyak dan Gas

Cadangan Migas Kritis

Ladang pengeboran migas (ilustrasi)
Foto: AP PHOTO
Ladang pengeboran migas (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Cadangan minyak dan gas (migas) Indonesia semakin menipis dari tahun ke tahun. Pemerintah diminta membuat strategi jangka panjang untuk meningkatkan produksi migas, di samping mengembangkan energi terbarukan.

Wakil Direktur Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, minyak diperkirakan akan habis dalam waktu 12 tahun. Sedangkan, cadangan gas akan habis maksimal 42 tahun. Saat ini, Indonesia berada di posisi 28, setara 0,2 persen dari cadangan minyak dunia. “Pemerintah harus waspada dengan kondisi ini,” ujarnya pada Pertamina Energy Outlook 2014, Senin (16/12).

Menurutnya, selama bertahun-tahun sektor migas menjadi tumpuan utama dalam pembiayaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di era reformasi kini, sektor migas berkontribusi sebanyak 25 persen terhadap total penerimaan negara. Melihat hal ini, relatif tidak ada ruang gerak reinvestasi dari penerimaan sektor minyak dan gas. 

Lebih lanjut, sektor migas pada 2012 menyumbang defisit terbesar pada neraca perdagangan sebesar 19,775 dolar AS. Pada periode yang sama, nilai ekspor migas mencapai 17,927 dolar AS, sedangkan impor sebesar 37,702 dolar AS.

Selama ini, pemerintah dinilai hanya fokus mengoptimalkan Pertamina untuk menambah pundi-pundi uang negara. Hal ini, antara lain, dilihat dari deviden Pertamina terhadap total deviden perusahaan negara lainnya pada 2012 yang mencapai Rp 30,75 triliun. Di sisi lain, dari kegiatan bisnis LPG 12 kg, misalnya, Pertamina mengalami kerugian lebih dari 4,7 triliun. "Pemerintah seolah tidak hadir dalam kepentingan BUMN dari segi bisnis," katanya.

Oleh karena itu, pemerintah harus memiliki strategi jangka panjang untuk menjamin ketersediaan migas. Caranya, antara lain, dengan memberikan insentif untuk Pertamina guna membangun kilang. Formula ini harus segera dirumuskan, selain terus mengurangi konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan meningkatkan nilai tambah, khususnya untuk produk jadi.

Pengamat Energi Darmawan Prasodjo mengatakan, kebutuhan energi meningkat sekitar lima kali lipat dari 10 tahun lalu. Kondisi ini menyebabkan ketersediaan energi dalam lampu merah. Kini, Indonesia dihadapkan pada ketergantungan migas, sementara energi baru terbarukan tidak berkembang. Pemerintah hanya fokus ekspor migas, sementara konsumsi domestik juga meningkat tajam.

Ia pun sepakat bahwa Pertamina selama ini diandalkan untuk mengoptimalkan pendapatan negara, terutama melalui lifting. Padahal, dilihat dari karakternya, lifting melibatkan modal, teknologi, dan risiko yang sangat besar. Dengan model lifting, tata kelola migas juga bersifat pragmatis yang menyebabkan industri migas tidak berkembang.

"Saat ini, tata kelola gas berdasarkan dorongan pasokan, bukan permintaan," katanya. Dia mengingatkan, pemerintah perlu membuat strategi terpadu agar kebutuhan migas tetap bisa dipenuhi di masa depan secara mandiri. Salah satunya, dengan menunjuk institusi untuk mengelola energi secara berkelanjutan dan mengubah tata kelola migas yang fokus pada pertumbuhan.

Sementara itu, untuk mengurangi beban alokasi subsidi BBM dalam APBN, pemerintah diharapkan dapat menerapkan alokasi subsidi BBM tetap. Saat ini, anggaran subsidi BBM besarannya terus meningkat seiring dengan meningkatnya penggunaan BBM dan harga jual minyak di pasar dunia.

Kepala Pusat Kebijakan Ekonomi Makro Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan, salah satu solusi yang diambil untuk menangani hal ini adalah dengan pengenaan subsidi tetap BBM. Luky menjelaskan, dari sisi teori ekonomi, Indonesia masih membutuhkan subsidi dan alokasi ini tidak bsia dihapus begitu saja.

Senior Resident Representatif IMF di Indonesia Benedict Bingham mendukung bila pemerintah menerapkan skema alokasi subsidi BBM tetap tersebut. Langkah tersebut, menurutnya, harus diambil untuk meningkatkan peran dan ruang gerak kebijakan fiskal. Dengan demikian, pertumbuhan dalam jangka menengah dapat didorong. Selama ini, besarnya subsidi energi, khususnya subsidi BBM membuat pembangunan yang berkelanjutan sulit diharapkan. n meiliani fauziah/muhammad iqbal ed: fitria andayani

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement