Ahad 01 Dec 2013 16:32 WIB

Merangsang Partisipasi Politik Masyarakat Adalah Tugas Parpol

Sejumlah perwakilan parpol peserta Pemilu 2014 memeriksa dan menandatangani lembar Daftar Calon Tetap (DCT).
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Sejumlah perwakilan parpol peserta Pemilu 2014 memeriksa dan menandatangani lembar Daftar Calon Tetap (DCT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Minat masyarakat Indonesia terhadap politik dan pemilihan umum begitu rendah yang dibuktikan dengan survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada akhir November 2013.

LIPI melaporkan 60 persen responden survei yang dilakukan lembaga itu di 31 provinsi dengan 1.799 orang responden menyatakan kurang tertarik dan tidak tertarik sama sekali terhadap politik.

Di sisi lain, hanya sekitar 37 persen responden survei itu yang menyatakan tertarik atau sangat tertarik terhadap masalah politik atau pemerintahan.

Minat terhadap politik itu tentu akan berimbas pada keterlibatan masyarakat sebagai pemilih dalam dua Pemilihan Umum 2014 mendatang, pemilu legislatif dan pemilu presiden.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat, Husni Kamil Malik, mengatakan kesulitan untuk meningkatkan partisipasi pemilih pada Pemilu 2014.

"Kami sekarang dihadapkan pada masalah partisipasi pemilih. Sejak Pemilu 1999 hingga 2009 grafik partisipasi pemilih terus menurun," kata Husni.

Husni menjelaskan tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 1999 sebesar 92,74 persen, pada Pemilu 2004 sebesar 84,07 persen, dan Pemilu 2009 sebesar 71 persen.

Sayangnya, penurunan partisipasi pemilih pada pemilihan umum nasional itu juga diikuti penurunan partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah.

KPU mencatat hanya sekitar 55-56 persen pemilih daerah yang terlibat dalam pemilihan kepala daerah.

Penurunan minat masyarakat dan keterlibatan para calon pemilih dalam politik dan pemilu itu menjadi berita buruk bagi partai politik, terutama bagi kehidupan demokrasi Indonesia yang sedang berkembang.

Partai politik, menjelang Pemilu 2014, bukan hanya mempunyai kewajiban meningkatkan elektabilitas partai ataupun calon presiden yang diusung partainya, melainkan juga mendongkrak keterlibatan para pemilih.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, mengatakan minat masyarakat yang rendah terhadap politik disebabkan kinerja partai politik yang mengecewakan.

"Termasuk di dalamnya kinerja mengecewakan yaitu kasus-kasus politik yang melibatkan partai politik," kata Syamsuddin kepada Antara.

Syamsuddin menilai reaksi masyarakat berupa penurunan minat terhadap politik merupakan hal wajar.

"Dalam situasi partai-partai politik terlibat kasus korupsi dan kinerja mengecewakan, tentu bukan hanya tugas partai politik untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum," kata Syamsuddin.

Sebelumnya, Syamsuddin mengatakan kualitas pemerintahan hasil Pemilu 2014 tidak akan berubah karena masih dalam skema pemilu yang dijalankan.

"Kasus penyalahgunaan kekuasaan dan korupsi masih akan berlangsung pasca-Pemilu 2014. Wakil rakyat yang tidak akuntabel masih ada karena skema pemilu kita bermasalah," kata Syamsuddin.

Akan tetapi, tugas partai politik untuk mendongkrak partisipasi pemilih dalam Pemilu 2014 tidak semudah membalikkan tangan mengingat sisa waktu yang tinggal empat bulan.

Peneliti Politik Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Tobias Basuki, mengatakan partai-partai politik dapat mendongkrak keterlibatan pemilih dengan mengangkat isu-isu publik seperti pajak ataupun kenaikan bahan bakar minyak.

"Sayangnya, isu-isu seperti itu belum ada yang mencuat ke permukaan. Jika pun ada seperti isu bahan bakar minyak, itu sudah lewat," kata Tobias.

Kesulitan partai politik untuk mengajak pemilih dalam pemilihan umum, menurut Tobias, karena partai politik tidak mempunyai kebijakan dan program yang jelas.

"Idealnya kelembagaan partai itu terjadi setelah pemilu berlangsung dengan para politisi yang menggali isu di lapangan dan mengangkatnya sebagai kebijakan partai dengan kacamata masing-masing," kata Tobias.

Namun, kehadiran tokoh-tokoh politik baru seperti Joko Widodo ataupun tokoh politik muda seperti Anies Baswedan, lanjut Tobias, cenderung meningkatkan keterlibatan para pemilih dalam pemilu.

"Fenomena Jokowi saat ini memang membuat golongan putih (golput) berkurang walaupun masih terdapat dalam jumlah signifikan dalam konteks nasional. Jika Jokowi jadi salah satu calon presiden pada pemilu mendatang angka golput jelas mengecil dibanding tidak ada tokoh seperti Jokowi," kata Tobias.

Ketidakterlibatan masyarakat dalam pemilihan umum, menurut Tobias, dapat dimaklumi dalam kehidupan demokrasi yang sudah terkonsolidasi dengan sistem demokrasi sudah berjalan.

"Tapi dalam konteks Indonesia, sebenarnya pemilih perlu menghukum politisi berkinerja mengecewakan dengan cara memilih lawan politinya, bukan dengan menjadi golput. Hal itu akan mendorong politisi untuk bekerja," kata Tobias.

Hasil survei nasional CSIS pda November 2013 menunjukkan alasan utama masyarakat memilih satu partai politik dalam pemilihan legislatif yaitu caleg yang berkualitas.

Survei nasional CSIS itu dilakukan dengan wawancara tatap muka di 33 provinsi sejak 13 November hingga 20 November 2013 dengan sampel 1180 responden.

"Sebanyak 48 persen responden beralasan caleg berkualitas menjadi acuan utama dibanding latarbelakang ideologi (23 persen), pengaruh keluarga (15,4 persen), dan pengaruh orang sekitar (13,5 persen)," kata Tobias.

Survei itu juga menunjukkan partai-partai politik yang telah menetapkan calon presiden mereka dalam Pemilu Presiden 2014 mendapatkan keuntungan peningkatan elektabilitas dalam Pemilu Legislatif 2014.

Kepala Departemen Penelitian Politik dan Hubungan Internasional CSIS, Philips J. Vermonte, mengatakan partai politik dapat mengambil pelajaran dari hasil survei CSIS tentang alasan masyarakat mengubah pilihan presiden.

"Sebanyak 50,2 responden akan mengubah pilihan calon presidennya pada Pemilu Presiden 2014 jika calon itu terlibat korupsi," kata Philips.

Philips mengatakan masyarakat Indonesia saat ini telah sadar bahwa semua partai politik korupsi dan dampaknya pada ketidaksukaan masyarakat terhadpa politik.

"Tapi pada tingkatan pemimpin nasional, masyarakat sekarang mengharapkan calon pemimpin nasional yang berintegritas. Untuk partai, semestinya partai politik semakin terbuka dan tidak melindungi kader-kader mereka yang terlibat politik," kata Philips.

Demikian beratnya tugas partai politik untuk mengajak masyarakat terlibat dalam pemilihan umum, terutama pemilihan umum nasional, seakan memaksa pihak lain di luar partai politik dan KPU untuk serta menyosialisasikan pemilu.

Pihak-pihak itu seperti media massa, kalangan akademisi, ataupun tokoh masyarakat yang tidak saja mengajak warga untuk memilih tapi juga menambah kesadaran warga tentang kualitas demokrasi. (Imam Santoso)

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement