Selasa 12 Nov 2013 08:27 WIB
Kisah Jokowi-Ahok Dipilih

Sulit Jadi Pemimpin Ketimbang Presiden

Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri (kanan), didampingi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kiri) berpidato dalam acara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (1/6).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarno Putri (kanan), didampingi Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (kiri) berpidato dalam acara Peringatan Hari Lahir Pancasila di Tugu Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu (1/6).

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Akbar Wijaya

Derajat seorang pemimpin jauh lebih tinggi daripada seorang presiden. Kalau seorang presiden lahir dari proses prosedural semacam pemilu, seorang pemimpin lahir dari keberanian menjawab tantangan zaman. "Ayah saya (Sukarno) menjadi pemimpin dahulu. Di penjara, dibuang, dan mengambil risiko memproklamasikan kemerdekaan. Baru setelah itu beliau diangkat menjadi presiden," kata Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat peringatan ulang tahun ke-77 Sabam Sirait, di Jakarta, Ahad (10/11).

Berkaca dari pengalaman Sukarno, Megawati mengatakan pemimpin tidak lahir dengan cara instan. Butuh proses panjang bagi seseorang untuk bisa menjadi pemimpin dan kemudian dipercaya menjadi presiden. "Seorang pemimpin harus diuji, baru kemudian menjadi presiden," ujar Megawati.

Pada kesempatan itu, Megawati membuka ke publik bagaimana proses pemilihan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur di Pemilukada Jakarta. Ketika itu, menjelang Pemilukada DKI Jakarta, masyarakat sedang menanti-nanti siapa calon gubernur DKI Jakarta yang akan diusung PDI Perjuangan. "Saya waktu itu telepon Dik Jokowi dari Bali. Saya bilang, tugas kamu di Solo berat. Mau nggak, Dik Jokowi saya 'lempar' ke Jakarta," kata Megawati menirukan ucapan teleponnya kepada Jokowi ketika itu.

Mendengar tantangan Megawati Jokowi hanya menjawab singkat. "Siap!," ujarnya.

Setelah mendapat persetujuan dari Jokowi, Megawati lantas menelepon Sekretaris Jenderal PDIP Tjahjo Kumolo. Megawati meminta Tjahjo mengurus segala proses administrasi untuk pencalonan Jokowi sebagai gubernur. "Saya terus telepon Pak Tjahjo. 'Jo ... saya sudah putuskan nomor satu untuk DKI adalah Jokowi'," kata Megawati.

Mendengar keputusan Megawati, Tjahjo sempat terkejut. "Jokowi, Bu?!," tanya Tjahjo dengan nada heran. "Wis meneng (sudah diam). Siapkan saja apa yang diperlukan," kata Megawati.

"Lalu siapa wakilnya?," tanya Tjahjo lagi kepada Megawati. Tapi, Megawati tidak menjawab.

Setelah menimbang-nimbang, pilihan untuk menjadi calon wakil gubernur DKI Jakarta pendamping Jokowi akhirnya jatuh kepada Ahok. Setengah berkelakar, Megawati mengatakan sengaja memilih Ahok karena terkenal sebagai pemimpin keras saat menjadi bupati Bangka Belitung. "Kalau orang Solo kan halus. Marahnya dipendam. Mesti dicari-cari orang yang rada-rada preman," kenang Megawati, yang langsung disambut gelak tawa para hadirin.

Setelah keputusan diambil, Megawati kembali menghubungi Tjahjo. "Jo, saya sudah dapat wakilnya. Ingat tidak yang di Bangka Belitung?" kata Megawati. "Kok jauh banget, Bu, sampai Bangka Belitung?" tanya Tjahjo. "Ya namanya di Indonesia, di mana saja boleh," jawab Megawati.

Megawati menceritakan, ketika pasangan Jokowi-Ahok disampaikan ke publik banyak lembaga survei yang meragukan elektabilitas mereka. Sejumlah kader PDI Perjuangan bahkan ada yang mengatakan keputusan Megawati mencalonkan Jokowi-Ahok di Pemilukada DKI Jakarta merupakan sebuah blunder.

Menjawab keraguan lembaga survei dan sejumlah orang dekatnya, Megawati lantas memerintahkan seluruh kader PDI Perjuangan bekerja memenangkan pasangan Jokowi-Ahok. Perlahan tapi pasti, survei Jokowi mulai meningkat.

Dukungan dari para relawan juga terus bertambah sampai akhirnya Jokowi-Ahok memenangkan Pemilukada DKI Jakarta. "Akhirnya jadi keren, 'kan. Waktu survei, semua lemas. Dibilang saya salah pilih. Akhirnya saya bilang, kerja! Tik-tik-tik, survei naik," kisah Megawati.

Politisi senior PDI Perjuangan, Sabam Sirait, juga memuji kepemimpinan Jokowi-Ahok. Menurutnya, pasangan Jokowi-Ahok telah membuktikan diri sebagai pemimpin yang tegas dan membanggakan Indonesia. "Saya katakan, kalau kita punya gubernur seperti Jokowi dan Ahok di separuh bagian Indonesia, Indonesia bisa maju dalam 2-10 tahun ke depan," kata Sabam.

Ulang tahun ke-77 Sabam Sirait diisi dengan pelucuran buku Politik Suci karya Sabam. Acara dihadiri sejumlah tokoh politik dan pengusaha nasional, yaitu Megawati Soekarnoputri, Joko Widodo, Ahok, Hasjim Djojohadikusumo, Sofjan Wanandi, dan Erick Tohir. n ed: Muhammad fakhruddin

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement