Senin 11 Nov 2013 08:55 WIB
Keluarga Pahlawan

Simfoni Putri Ismail Marzuki

Patung Ismail Marzuki. Ilustrasi.
Foto: Antarafoto
Patung Ismail Marzuki. Ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Hannan Putra

Ismail Marzuki, siapa yang tidak kenal dengan sosok komponis besar Indonesia ini. Lagu ciptaannya, “Halo-Halo Bandung”, “Gugur Bunga”, “Rayuan Pulau Kelapa”, serta 300-an lagu lainnya ia karang untuk memompa semangat perjuangan pahlawan Indonesia kala itu. Nama besarnya pun diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat. Pria yang dinobatkan menjadi tokoh pahlawan nasional Indonesia pada 2004 ini sungguh tak asing lagi di telinga setiap warga Indonesia.

Namun, siapa yang menduga, dibalik kebesaran sosok pahlawan nasional itu, putri semata wayangnya, Rachmi Aziah, hidup semenjana. Rachmi Aziah, diusianya yang sudah memasuki 62 tahun masih dihadapkan pada kerasnya hidup. Kendati sudah tua dan sakit-sakitan, Rachmi masih memaksakan diri untuk berdagang jajanan anak SDN Kedaung di depan rumahnya yang terletak di Perum Bappenas A12 RT 01/ RW 06, Cinangka Wates, Kecamatan Sawangan Depok.

Suaminya, Muhammad Beni, hanyalah seorang pekerja serabutan. Ia tak menolak apa pun pekerjaan yang ditawarkan kepadanya. Asal halal, seberat apa pun itu akan ditekuni oleh pria yang telah berumur 59 tahun itu. “Saya dagang kecil-kecilan untuk anak SD. Lumayan untuk bayar kontrakan,” ujar Rachmi kepada Republika, Ahad (10/11). Dari dagangannya itu Rachmi mendapatkan untung Rp 30 ribu per hari. Uang itulah yang dia paksakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Rachmi mengisahkan, sudah 20 tahun ia menempati kontrakannya saat ini. Semula, uang kontrakan hanya Rp 500 ribu per tahun. Harga terus naik hingga saat ini Rp 6,5 juta per tahun. “Yang punya rumah sekarang sudah mau menjual rumahnya. Katanya, mau dijual Rp 300 juta. Memang dia bilang, ‘Sabar, nanti saja kalau sudah ada rezeki.’ Tapi, saya juga empot-empotan ke mana akan saya cari uang segitu,” papar Rachmi.

Pada 2010, Rachmi pernah mendapat bantuan dana dari Kementerian Sosial sebanyak Rp 65 juta. Dana tersebut memang diperuntukkan bagi keluarga pahlawan untuk membeli rumah. “Saya sudah cari-cari ke Bogor. Tapi, Mas tahu sendiri, sekarang mana ada rumah harga 65 juta,” ujarnya.

Akhirnya, dana tersebut ia manfaatkan untuk membayar utang dan keperluan-keperluan lainnya. Sejak ayahnya ditetapkan sebagai pahlawan nasional, ia mendapat tunjangan sebesar Rp 1,5 juta per bulan. Kendati dana tersebut sering terlambat, Rachmi terbantu  melunasi kontrakan rumah. “Kadang suka dirapel tiga bulan sekali baru turun,” kisahnya.

Terpaan kerasnya hidup bukan sekali itu saja menyapa Rachmi. Dua tahun lalu, ia sempat terserang stroke dan dilarikan ke Rumah Sakit Karya Bhakti. Kendati dinyatakan sembuh, beberapa waktu setelahnya ia pun divonis dokter mengidap penyakit jantung koroner. Tidak hanya kesehatan yang membebaninya, tapi juga biaya perawatannya di rumah sakit.

Beruntung, ada pertolongan melalui Kementerian Kesehatan. Jika sewaktu-waktu penyakitnya kambuh, ia ditawari berobat gratis di RS Harapan Kita. Rachmi juga mendapatkan uang jaminan kesehatan sebesar Rp 3 juta per tahun.

Prinsip Rachmi tak jauh berbeda dengan ayahnya. Sosok Ismail Marzuki dikenang dengan pahlawan yang tak mengharapkan pamrih atas jasa-jasanya. Demikian juga dengan Rachmi. Kendati diterpa dengan deraan ekonomi, ia tak lantas “menjual” nama ayahandanya. “Saya diajarkan disiplin dan kuat dalam menghadapi apa pun,” katanya. n ed: fitriyan zamzami

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement