Jumat 25 Oct 2013 18:47 WIB

Rumah Sokat Lama, Serpihan Desa di Negeri Sawai

Panorama Senja di Rumah Sokat Lama (foto HIMAKOVA)
Foto: HIMAKOVA
Panorama Senja di Rumah Sokat Lama (foto HIMAKOVA)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Rizka Sya'bana Azmi

(KPE Ekowisata Himakova)

Rumah Sokat adalah salah satu desa di Negeri Sawai, Pulau Seram. Desa ini berada di pinggiran pantai sampai perbukitan atas yang berbatasan dengan Hatulua (Sawai) dan Batu Gurita (Saleman).

Awalnya ada 30 Kepala Keluarga menghuni desa ini dengan mata  pencaharian sebagian besar penduduknya adalah menambak ikan. Seiring berjalannya waktu, satu persatu penduduknya berpindah ke desa lain, sampai akhirnya mereka seluruhnya bermukim di Wahai yang kini dikenal dengan sebutan  Rumah Sokat Baru, tepat pada 14 Agustus 1975.

Sebagian besar penduduk di desa ini tidak beragama (atheis). Memasuki 1950an, penyebaran bangsa Persia membuat penduduk Rumah Sokat Baru mengenal Islam dan Nasrani. Selain Persia, wilayah ini juga dipengaruhi oleh bangsa Belanda. Banyak peninggalan jalan setapak yang disusun dari bebatuan sepanjang pesisir pantai menuju perbukitan atas yang hanya dibangun di desa ini. Oleh sebab itu, desa ini sering dijuluki kota Patu (batu).

Penduduk Rumah Sokat Baru memiliki lima marga, yaitu Katayane, Makasale, Tolau, Malehute, dan Manikuti. Marga ini menunjukkan tingkatan kedudukan di desa tersebut. Marga Katayane adalah marga tertinggi. Biasanya, keluarga yang memiliki marga tertinggi tak hanya mengandalkan laut sebagai sumber mata pencaharianya, tapi juga bercocok tanam.

"Ayah saya menanam cengkih dan durian di halaman rumah sehingga ketika panen hasilnya melimpah" ujar Zoel Katayane, penduduk asli Rumah Sokat Lama. Zoel bemarga Katayane dan kini menjabat sebagai Kepala Resort Masihulan di kawasan utara Taman Nasional Manusela.

Pohon yang dapat tumbuh baik di desa ini ialah jenis tanaman umur panjang. Contohnya seperti durian, cengkih, lada, dan palawija dll. Sampai saat ini, sepanjang jalan menuju perbukitan masih banyak dijumpai pohon durian, pala, cengkih, dan lada.

Desa ini memiliki gua yang dipinggirnya terdapat tulang tengkorak manusia dan tulang-tulang lainnya. Kondisinya terbilang masih awet, meskipun sudah ada sejak beratus-ratus tahun lalu. Cerita tengkorak ini berawal dari salah seorang pemuda desa Rumah Sokat yang ingin menunjukkan kebolehannya dalam berperang. Sebagai buktinya, ia harus membawa tengkorak lawan yang telah dikalahkannya untuk diperlihatkan ke penduduk di desanya agar mereka percaya bahwa ia benar-benar melakukan perang dan memenangkannya. Akhirnya, ia berangkat perang dan terbukti mampu mengalahkan lawan.

Agar penduduk desa percaya, si pemuda pun memenuhi janji untuk membawa pulang tengkorak lawan. Untuk merayakan kemenangannya, ia berpesta selama tiga malam. Sejak itu, penduduk desa pun mengakui kehebatan pemuda ini dan sampai saat ini tengkorak lawannya tersebut masih terdapat di gua tersebut.

Kearifan tradisional

Masyarakat Rumah Sokat memiliki banyak sekali kearifan tradisional. Satu hal yang menjadi kepercayaan penduduk adalah wanita yang sedang datang bulan tidak boleh tinggal di rumahnya, melainkan ditempatkan terpisah di rumah lain yang berlokasi persis di dekat pantai. Wanita yang berhalangan dianggap sedang dalam keadaan tidak bersih sehingga tidak boleh disatukan dengan penduduk lain.

Masyarakat Rumah Sokat juga percaya akan khasiat air payau yang bisa mengobati  influenza. Air payau ini terdapat di pinggir pantai yang di sekelilingnya banyak batu-batuan berukuran besar dan licin. Penduduk sering meminum air ini karena dipercaya dapat meningkatkan stamina tubuh.

Adapun tempat yang dipercaya sebagai tempat terlarang adalah Batu Gurita, di dekat perbatasan Saleman. Tempat ini tidak boleh ditempati dan dilewati karena masyarakat percaya ada penunggunya. Bahkan, ketika masyarakat sedang berburu satwa seperti kuskus, kemudian satwa tersebut melewati tempat tersebut, maka mereka dilarang untuk melanjutkan perburuan. Jika mereka bersikeras maka bersiap mendapat musibah.

Batu Gurita hanya dapat ditempuh dengan menggunakan long boat sekitar 15 menit dari Sawai. Kawasan Batu Gurita masih alami, tidak ada bangunan, namun hanya terdapat sisa-sisa reruntuhan bangunan yang berserakan menambah eksotika kawasan.

Dalam perjalanan menuju puncak perbukitan, terdapat lokasi potensial untuk pengamatan burung (birdwatching). Sayangnya kondisinya sudah tidak layak. Dalam hasil penelitiannya, Himakova mengusulkan penambahan fasilitas berupa platform dengan tujuan pengunjung yang datang bisa menjadikan birdwatching sebagai alternative wisata lainnya.

Dari bukit ini, pengunjung juga bisa menikmati pemandangan Sawai. Burung yang dapat dijumpai diantaranya Rangkong, Cikukua dan kelompok kelelawar yang rutin muncul di depan mess Rumah Sokat Lama sekitar pukul 19.00 WIT.

Di sekitar kawasan ini juga ditemukan Pohon Kasai yang memiliki aroma wangi khas. Biasanya, penduduk memanfaatkan batang pohon ini sebagai pewangi makanan. Selain itu juga terdapat pohon Gay sebagai pakan kupu-kupu.

Selain potensi gua dan birdwatching, Rumah Sokat Lama memiliki potensi bahari yang tak kalah menarik dari Raja Ampat. Air yang sangat jernih, terumbu karang beraneka ragam dan berbagai biota laut siap menyambut para penyelam. Ini juga menjadi magnet bagi wisatawan untuk menjelajahi surga bawah airnya.

Meski tak lagi menempati Rumah Sokat Lama, rasa memiliki terhadap desa ini masih abadi dihati penduduk Rumah Sokat Baru. Hal ini dibuktikan oleh aksi protes penduduk yang ditunjukkan melalui surat kepada Kepala Balai Taman Nasional Manusela pada tahun 2001 tentang penebangan pohon sembarangan dan aksi perburuan liar. Mereka tidak terima jika ada pihak yang memanfaatkan dan mengambil hasil hutan tanpa izin.

Dalam sebuah surat, masyarakat meminta pemerintah melakukan pelestarian dan pengawasan berkelanjutan untuk kawasan Rumah Sokat Lama. Menanggapi aduan tersebut, pihak Balai Taman Nasional Manusela membangun sebuah rumah, tepat di tepian pantai. Fungsinya sebagai tempat istirahat atau menginap untuk petugas balai yang sedang patroli. Desa ini juga masih rutin dikunjungi oleh penduduk desa Rumah Sokat Lama pada saat musim panen durian dan cengkih. Biasanya mereka sengaja mendirikan tenda di sekitar pantai untuk menunggu dan mengambil hasil panen.

Rubrik ini bekerja sama dengan HIMAKOVA

Alamat: Tangkaran Himakova, DKSHE Fahutan IPB, Kampus IPB Dramaga, Bogor 16001

e-mail: [email protected]

Blog: himakovaipb.blogspot.com

Twitter: @HIMAKOVA

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement