Rabu 21 Aug 2013 09:15 WIB
Perekonomian Indonesia

Gejolak Ekonomi Bersifat Jangka Pendek

Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perekonomian Indonesia belakangan ini mengalami guncangan menyusul rontoknya rupiah dan jatuhnya indeks harga saham gabungan (IHSG). Pelaku pasar dan investor lembaga keuangan menilai situasi saat ini sebetulnya tidak ada yang abnormal dan gejolak bersifat jangka pendek. 

Mereka mengaku tidak akan melakukan langkah ambil untung, bahkan malah akan melakukan langkah pembelian. Sejumlah dana pensiun BUMN, seperti dikatakan Direktur Komunikasi dan Hubungan Internasional Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Gonthor R Aziz, telah menyiapkan dana pembelian jika pasar terus melemah. Namun, mereka merasa yakin situasi pasar akan membaik dalam jangka panjang. 

Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, setiap pihak yang terlibat di pasar harus bersama-sama mendorong dan mengembangkan pasar yang sehat.  “Stabilitas dan kredibilitas industri keuangan harus dijaga bersama,”  katanya, Selasa (20/8).

Kemarin, OJK menggelar pertemuan dengan investor lembaga lokal yang memiliki investasi besar di pasar modal dan puluhan perusahaan efek besar bersama analis pasar. Pertemuan dihadiri Muliaman, Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Rahmat Waluyanto, Kepala Eksekutif Pengawasan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Firdaus Djaelani, dan Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Nurhaida. Dari pihak industri hadir 20 perusahaan asuransi, perusahaan efek, dan puluhan dana pensiun yang memiliki investasi besar di pasar keuangan.

Rupiah melanjutkan pelemahan sebesar 245 poin terhadap dolar AS pada Selasa petang. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta menjadi Rp 10.730 dibanding sebelumnya di posisi Rp 10.485 per dolar AS. Sementara, IHSG ditutup anjlok 3,21 persen ke level 4.174,98, terendah sejak Januari 2013.

Pelemahan rupiah terjadi seiring dengan masih kuatnya ekspektasi pelaku pasar bahwa bank sentral AS akan mengurangi stimulus keuangannya. Spekulasi pelaku pasar itu mendorong apresiasi nilai tukar dolar AS terhadap mata uang di dunia. Faktor eksternal berikutnya adalah kekhawatiran pasar yang timbul akibat rencana penutupan Merrill Lynch oleh Bank of America.

Dalam merespons pelemahan rupiah dan indeks, forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) sudah melakukan pertemuan pada Senin (19/8) malam. Forum ini terdiri dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia (BI), OJK, dan LPS. Pertemuan tingkat deputi ini sepakat untuk mewaspadai kondisi perekonomian terkini.

Menurut Kepala Sub Divisi Risiko Perekonomian dan Sistem Perbankan Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) M Doddy Ariefianto, pelemahan mata uang global harus diwaspadai karena India dan Thailand sudah mengalami resesi. Doddy mengatakan, resesi ekonomi tersebut ditakutkan menyebar ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, karena memberi persepsi negatif pada investor asing.

"Tingkat suku bunga akan semakin tinggi untuk menarik arus modal tersebut dan berimplikasi pada beban utang perusahaan sehingga gulung tikar. Sejauh ini belum ke arah sana. Tapi, itu kita harus perhatikan serius," ujar Doddy. LPS terus memperhatikan kondisi pelemahan nilai tukar dan melorotnya indeks.

Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, BI akan terus berada di pasar dengan twin operations, yakni intervensi di pasar valas dan pasar Surat Berharga Negara (SBN). BI juga melakukan pembelian SBN dari pasar sekunder. Dalam dua hari, BI telah membeli SBN sebesar Rp 2,6 triliun. Sedangkan selama 2013, BI telah membeli sekitar Rp 31 triliun. n friska yolandha/satya festiani/esthi maharani ed: m ikhsan shiddieqy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement