Selasa 30 Jul 2013 08:47 WIB
Sambut Lebaran

Lebaran dengan Ketupat Pemberian Orang

 Pedagang memanfaatkan trotoar untuk membuat dan berjualan ketupat di Kawasan Palmerah, Jakarta Selatan, Kamis (25/10).  (Adhi Wicaksono)
Pedagang memanfaatkan trotoar untuk membuat dan berjualan ketupat di Kawasan Palmerah, Jakarta Selatan, Kamis (25/10). (Adhi Wicaksono)

REPUBLIKA.CO.ID, Hari Raya Idul Fitri selalu menjadi momentum penuh kemeriahan di Indonesia. Sekilas, tak ada perbedaan dalam merayakan Lebaran antara warga yang miskin dan kaya. Semua orang tampil dengan busana terbaik yang mereka miliki. Rumah-rumah menyediakan ketupat, makanan khas Lebaran.

Namun, tentu saja cara warga miskin dan kaya menyiapkan kemeriahan Lebaran sangatlah berbeda. Kurang dari 10 hari menjelang Ramadhan berakhir, masyarakat sudah bersiap menyediakan segala kebutuhan Lebaran.

Jika masyarakat kelas menengah berburu baju Lebaran dengan memadati pusat-pusat perbelanjaan yang menawarkan diskon hingga 70 persen, tidak demikian dengan warga miskin. Warga berpenghasilan minim harus memutar otak untuk menyiapkan kebutuhan Idul Fitri.

Kondisinya semakin sulit dengan kenaikan bahan kebutuhan pokok yang mencekik. Tari (50 tahun), pemulung di Kota Bekasi, Jawa Barat, mengaku harus menunggu bantuan dari orang lain untuk merayakan Lebaran. Biasanya, kata Tari, santunan zakat berupa uang digunakan untuk membeli makanan yang akan disajikan ketika Idul Fitri. “Tapi, anak-anak sering merengek minta baju baru, jadi kadang saya sisihkan untuk beli baju,” kata dia, Senin (29/7).

Tari juga harus menahan keinginan berlebaran bersama keluarga besarnya. Kampung halaman Tari memang hanya di Cikarang, Kabupaten Bekasi, yang masih satu Provinsi Jawa Barat. Namun, dia memilih tidak pulang ke kampung halamannya karena ketiadaan ongkos.

Tari adalah seorang janda yang memiliki lima anak. Suaminya yang dulu bekerja sebagai sopir angkutan umum telah meninggal dunia. Tanpa suami, dia hanya bisa mendapatkan penghasilan maksimal Rp 30 ribu per hari. Terkadang, Tari bahkan tidak bisa membawa pulang uang sepeser pun. “Kalau masih ada suami, saya tidak perlu jadi pemulung,” katanya.

Hal yang sama juga terjadi pada Yani. Perempuan yang juga bekerja sebagai pemulung itu tidak bisa merayakan Idul Fitri, seperti halnya masyarakat pada umumnya. Yani menuturkan, dia mesti mengandalkan pemberian ketupat dari orang lain.

Suami Yani juga bekerja sebagai pemulung tidak bisa menghasilkan cukup uang guna membeli makanan saat Lebaran ketika harga kebutuhan yang terus melonjak. Apalagi Yani sedang hamil. Usia kandungannya sudah enam bulan. Dia lebih memilih menggunakan uangnya untuk periksa ke dokter.

Kondisi serupa juga harus dilakoni warga miskin di Bogor, Jawa Barat. Nurmala, pengemis di Bogor, mengaku tak bisa berbuat banyak mendekati Lebaran ini. Mahalnya barang kebutuhan pokok membuat Nurmala jarang memasak lauk pauk bagi ketiga anak dan suaminya. Tiap hari, dia hanya membeli satu liter beras. "Soal lauk, sedapatnya saja. Kalau ada mi, makan mi,” kata ibu tiga anak itu.

Penghasilan suami Nurmala hanya Rp 100 ribu per pekan. Warga Cigombong, Kabupaten Bogor, ini mengaku mengemis karena benar-benar terdesak kebutuhan hidup. Uang yang dihasilkan keduanya bahkan tidak cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari. “Saya bingung saat semalam anak saya merengek minta dibelikan baju Lebaran,” kata Nurmala sambil mengusap air mata.

Tukang parkir di Bogor, Dedi, mengatakan, pendapatannya tak seimbang dengan laju kenaikan harga. “Dibanding membayar listrik, kebutuhan makan sehari-hari jauh lebih mahal,” kata pria yang mengaku pernah mengenyam bangku kuliah selama empat semester itu.

Tiap hari, Dedi mengantongi Rp 50 ribu. Penghasilan itu tidak cukup untuk membayar kebutuhan sehari-hari. Dia masih harus membayar Rp 175 ribu per bulan untuk kontrakan seluas 12 meter persegi dan ongkos anaknya sekolah setiap hari.

Selama Ramadhan, Dedi mengaku bersyukur karena ada bazar sembako murah yang digelar beberapa pihak. Bazar ini cukup membantu mengurangi beban dapurnya. Walaupun harga barang di bazar dadakan kadang tak jauh berbeda dengan di pasar tradisional. “Beda Rp 5.000 juga lumayan,” kata bapak dua anak itu. n mg01/c20 ed: ratna puspita

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement