Sabtu 06 Jul 2013 07:16 WIB

Waspada Menenggak Minuman Berenergi

Rep: Afriza Hanifa, Nashih Nasrullah / Red: M Irwan Ariefyanto
Minuman energi
Foto: guardian.co.uk
Minuman energi

REPUBLIKA.CO.ID,Banyak titik kritis kehalalan bahan dan proses produksi minuman berenergi. Kerentanan itu bisa berdampak pada keharaman minuman tersebut.

Ingin selalu fit dan tambah daya, sebagian orang memilih mengonsumsi minuman energi. Kini, varian minuman energi itu bisa diperoleh dengan mudah di pasaran, seperti Kratingdaeng atau M150.

Ada yang berbentuk minuman siap tenggak atau berupa bubuk yang mesti disedu dengan air terlebih dahulu, semisal Extrajoss atau Kuku Bima. Namun, apakah deretan produk minuman energi tersebut aman dikonsumsi Muslim, baik dari segi kenyamanan dan kehalalannya?

Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Anna P Roswiem mengatakan, kandungan minuman berenergi terdiri atas kombinasi bahan yang memicu energi dari dalam tubuh. Pertama, taurin. Taurin adalah zat berupa kristal seperti gula pasir yang bersumber dari empedu hewan.

Empedu hewan rasanya pahit sehingga jarang dimakan oleh manusia dan kebanyakan dibuang. Setelah melalui proses isolasi, empedu tersebut bisa menjadi taurin. Biasanya, empedu yang digunakan berasal dari sapi atau ayam. “Mesti dipastikan sejauh mana tingkat kesesuaian penyembelihannya terhadap kaidah syariat,” katanya.

Ada pula taurin yang dibuat dengan proses kimia. Taurinnya ini harus murni. Untuk membuatnya murni, taurin harus disaring terlebih dahulu dengan karbon aktif yang biasanya berasal dari tulang, batu bara, dan kayu. Jika berasal dari tulang, kehalalannya perlu ditelusuri apakah berasal dari hewan yang halal dan bagaimana cara penyembelihnya.

Kemudian, bahan aktif yang lain adalah kafein. Biasanya, kafein yang dipakai adalah kafein sintetik kimia yang harus murni. Sekali lagi untuk membuatnya murni, harus disaring dengan karbon aktif. Ketentuannya sama seperti proses penyaringan taurin.

Begitu pula dengan kandungan gula yang ada dalam minuman berenergi. Ada gula yang murni dan ada pula yang sintetik. Untuk yang halal, biasanya terbuat dari tebu dan beet (sejenis ubi jalar yang manis). Namun, walaupun berasal dari  bahan alami jika dalam pemurniannya juga menggunakan karbon aktif, kehalalannya perlu dikritisi.

Ada juga pemanis buatan yang terbuat dari aspartame yang merupakan produk mikroba. Media tumbuhnya harus halal. Ada pula pemanis yang berasal dari Acesulfame K yang berasal dari sintetik kimia. Kedua bahan ini, baik aspartame maupun Acesulfame K, jika ingin digunakan, harus dimurnikan terlebih dahulu. Pemurnian biasanya menggunakan karbon aktif.

Bahan lain, yaitu air, juga membutuhkan pemurnian. Selanjutnya, ada vitamin. Vitamin ini ada yang sintetik, ada yang dari mikroba, dan ada yang berasal dari hewan, seperti vitamin B12 (yang berasal dari hati hewan). Penting mengetahui, jenis dan tata cara penyembelian hewan, halal atau tidaknya. Jika dari mikroba, mesti dipastikan kehalalan medianya.

Ada vitamin yang bernama riboflavien atau vitamin B2 yang berasal dari mikroba. Ini harus diketahui media tumbuhnya halal atau tidak. Media tumbuh yang tidak halal, misalnya enzim dari babi. “Jadi, tidak semua vitamin itu halal,” ujarnya.

“Vitamin pun ada yang tidak stabil,” katanya. Seperti, vitamin A dan vitamin B12.

Biasanya vitamin yang tidak stabil ini dibungkus atau diselubungi dengan bahan penstabil. Sedangkan, bahan penstabil ini biasanya terbuat dari gelatin yang berasal dari tulang atau kulit hewan, termasuk sapi, babi, atau ikan.

Terakhir, yaitu flavour atau perasa. Pada minuman berenergi ada rasa buah stroberi, kopi, hingga vanila. Nah, untuk rasa buah, biasanya tidak berasal dari buah asli karena harganya lebih mahal. Maka, yang dipakai adalah perasa yang terbuat dari kelenjar hormon tikus, berang-berang, dan sejenis kucing hutan yang disebut civet. Kucing hutan ini termasuk binatang buas yang tentu saja haram.

Oleh karena itu, Anna mengimbau masyarakat memilih produk minuman berenergi yang berlabel halal. Selain itu, hendaknya tidak terlalu sering mengonsumsinya. Maksimal sekali sehari. Sekalipun, kadar kafein di bawah ambang batas kesehatan, yakni maksimal 150 miligram. “Terlampau sering (konsumsi) kurang bagus untuk kesehatan,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement