Kamis 13 Jun 2013 04:51 WIB
Wartawan Senior

Mengenang Djafar Assegaf

Wartawan diplomat, Djafar Assegaf.
Foto: antarajateng.com
Wartawan diplomat, Djafar Assegaf.

REPUBLIKA.CO.ID, "Ku kira setelah ikut berjuang membela kemerdekaan, negeri ini 10 hingga 20 tahun kemudian bisa menyamai Eropa. Ternyata, perjuanganku harus terus berlanjut karena menandingi Singapura pun kita belum bisa."

Kalimat di atas pernah diucapkan Sayyid Djafar bin Husein bin Ahmad Assegaf alias Djafar Assegaf. Hingga nafas terakhirnya, Djafar belum bisa melihat bangsa ini sejajar dengan Eropa.

Selama sekitar 70 tahun, Djafar telah berjuang untuk mewujudkan citanya. Cita-cita untuk melihat Indonesia menjadi salah satu negara yang disegani dunia. Perjuangan Djafar dia tumpahkan lewat goresan pena sebagai seorang wartawan.

Tajamnya pena Djafar itu pula yang membuatnya dipercaya menjadi Duta Besar Indonesia untuk Vietnam. Kini, Indonesia kehilangan tokoh berpena tajam itu. Pada Rabu (12/6), sekitar pukul 05.00 WIB, Djafar Assegaf berpulang keharibaan Tuhan Yang Mahakuasa.

Pria kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 12 Desember 1932, selama ini dikenal tegas dalam bicara dan bersikap. Terutama bila bicara politik, diplomasi, militer, dan pers.

Dia pun dikenal memiliki semangat yang tak lekang oleh usia dan zaman. Kepada sejumlah rekan dan wartawan yang lebih muda, Djafar senantiasa memberi wejangan berharga.

"Aku ini lari dari Lampung Sumatra, ke tanah Jawa untuk belajar semua hal. Aku selalu ingin maju. Juga ingin semua orang mencapai kemajuan," ujar suami dari Siffa Assegaf itu kepada sejumlah wartawan muda, dua tahun silam.

Djafar yang merupakan ayah dari empat anak tersebut menjadi wartawan sejak tahun 1953. Dia memulai berjuang dengan penanya di harian Indonesia Raya. Karier Djafar dilengkapi dengan bergabung ke harian Abadi, Suara Karya, Kantor Berita Antara, Warta Ekonomi, televisi RCTI, dan hingga akhir hayatnya di harian Media Indonesia sekaligus Metro TV.

Tak hanya mengabadikan keilmuan jurnalistiknya bagi media, Djafar juga membagi ilmunya kepada mahasiswa. Dia kerap menjadi pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI).

Ketika memasuki masa tuanya, Djafar memilih kembali ke dunia politik. Di usianya yang menginjak 80 tahun, Djafar memutuskan kembali terjun ke politik praktis selaku ketua Dewan Pembina Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Djafar sempat berujar tentang keputusannya yang mengejutkan itu, "Aku diminta Pak Surya Paloh untuk ikut menjaga semangat anak-anak muda (di Nasdem). Sebenarnya mereka pula yang menjaga saya tetap semangat," ujar Djafar sembari tertawa kecil.

Semangat itu pula yang tetap diperlihatkannya saat dirawat di rumah sakit. Sekitar dua minggu lalu, Djafar tetap semangat menonton berita di televisi rumah sakit. Walau selang infus di tangan dan selang nutrisi di hidung, semangat Djafar tak pernah surut.

Tatkala televisi di kamar rumah sakit menampilkan berita soal terorisme, Djafar sontak meminta putranya untuk memperkeras volume suara. Ini jadi bukti akan semangat Djafar untuk terus bersentuhan dengan jurnalisme, sekalipun fisiknya tak lagi mendukung.

Sejatinya, Djafar sempat mewariskan bakatnya di dunia jurnalisme pada salah satu putranya, Hasan Assegaf. Hasan pun sempat menjadi wartawan harian Kompas.

Namun, sang putra tersebut meninggal dunia di usia muda saat masih menjadi wartawan. Djafar tentu saja sangat berduka atas hal tersebut.

Namun, menjelang akhir hayatnya, Djafar pernah berujar, "Siapa pun akan berduka kehilangan anak, sahabat, atau kerabat. Duka akan hilang seiring berjalannya waktu. Aku juga menyadari satu hari akan pergi menemui Hasan menghadap Illahi, dan kami pun akan reportase bersama tentang indahnya surga." n ed: abdullah sammy

Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement