Selasa 10 Jul 2012 19:15 WIB

Jelang Pilkada DKI, Menghitung Suara Santri (II)

Jemaah berdoa bersama dalam pengajian majelis taklim di Masjid Attin, TMII, Jakarta, Jumat (31/12)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Jemaah berdoa bersama dalam pengajian majelis taklim di Masjid Attin, TMII, Jakarta, Jumat (31/12)

REPUBLIKA.CO.ID,oleh:Nasihin Masha (pemimpin redaksi Republika)

Isu santri di DKI memang menarik. Ini tak lepas dari sejarah Jakarta. Nama kota ini di berikan oleh Fatahillah, pengikut Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Setelah memenangkan pertempuran melawan Portugal, Fatahillah mengubah nama Batavia menjadi Jayakarta (yang berarti kota kemenangan), yang kemudian menjadi Jakarta. Fatahillah menisbahkan nama itu dari ayat pertama Surat al-Fath, yang bercerita tentang kemenangan.

Pada pemilu legislatif 2009, partai-partai Islam atau berbasis massa Islam meraih 29,76 per sen (1.071.357 suara). Suara itu berasal dari PKS, PPP, PAN, PKB, PBB, dan PMB. Suara santri masih cukup signifikan untuk diperebutkan. Namun pemilihan partai tak selalu sejajar dengan pemilihan orang (presiden, gubernur, bupati, atau wali kota). Hal itu sudah dibuktikan oleh pilkada maupun pilpres. Dan, berdasarkan survei-survei terbaru, juga mengindikasikan makin kempesnya sentimen santri atau pamor partai santri.

Namun, para politisi partai santri berkilah bahwa mengecilnya suara mereka karena me reka tak memiliki uang un tuk berkampanye. Juga mereka berkilah, akibat kecilnya suara mereka maka Indonesia makin terpuruk. Artinya, semua itu akibat kinerja partai non-santri. Para politisi boleh berkilah, namun sejarah yang akan membuktikannya.

Berdasarkan data KPU DKI, untuk pilgub 2012 ini, jumlah pemilih yang terdaftar 6,9 juta orang. Angka ini terhitung tinggi. Pada pemilihan gubernur 2007, suara yang masuk 3.726.712. Saat itu pasangan Adang Daradjatun-Dani Anwar yang diusung PKS meraih 1.521.831 suara, se dangkan pasangan Fauzi Bowo-Prijanto meraih 2.091.909 suara. Adapun jumlah pemilih pada 2007 sekitar 5,7 juta orang, dengan tingkat partisipasi sekitar 65 persen.

Kita akan melihat, apakah suara santri masih efektif menentukan pemenang pilgub, atau memang sudah tak lagi berpengaruh. Juga apakah santri memilih kandidat berdasarkan preferensi kesantrian atau justru memilih berdasarkan preferensi kebijakan publik. Namun berkali-kali pemilu di era reformasi ini pragmatisme terlalu berpengaruh dibandingkan perjuangan gagasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement