Selasa 22 Nov 2011 13:00 WIB

Perjuangan Dokter Mata di Pedalaman Papua (2)

 dr Yanuar Ali, SpM (kanan) saat melakukan operasi pasien katarak di RSUD Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.
Foto: Republika Online/Chairul Akhmad
dr Yanuar Ali, SpM (kanan) saat melakukan operasi pasien katarak di RSUD Mulia, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.

REPUBLIKA.CO.ID, PUNCAK JAYA – Memiliki cukup pengalaman mengoperasi pasien di daerah pantai dan pegunungan, Yanuar dapat menyimpulkan bahwa angka kebutaan karena katarak di wilayah pegunungan Papua cukup tinggi. Melampaui angka kebutaan karena penyakit yang sama di kawasan pantai.

Namun, Yanuar tak tahu persis mengapa orang-orang pegunungan lebih banyak menderita katarak dibandingkan orang-orang pantai. "Belum ada survei atau peneletian untuk itu. Saya tak tahu persis apa penyebabnya," kata alumni Universitas Atmajaya, Jakarta ini.

Orang-orang gunung lebih berani dioperasi ketimbang orang-orang pantai. Menurut Yanuar, kemungkinan orang-orang gunung ini telah mengenal operasi terlebih dahulu dibandingkan orang-orang pantai. Mereka mengenal operasi dari pendeta-pendeta atau misionaris ketika berkhutbah di gereja.

Bagi masyarakat tradisional, informasi dari mulut ke mulut tentang khasiat sesuatu sangat berdampak bagi mereka. "Mereka lebih percaya jika melihat langsung hasil operasi dari orang yang pernah menjalankannya," kata Yanuar.

Oleh sebab itu, RS Dian Harapan menetapkan standar tinggi dalam operasi (mata). Mereka tidak melihat seberapa banyak pasien yang dapat dioperasi, tapi seberapa bagus hasilnya. "Outcome (hasil operasi) atau kualitas operasi itu lebih penting bagi kami ketimbang banyaknya jumlah pasien," tegas Yanuar.

Pengalaman Unik

Di Puncak Jaya, Yanuar menemukan penyakit katarak yang termasuk langka; berwarna hitam. Padahal, katarak biasanya berwarna putih. Ada empat orang warga Puncak Jaya yang menderita katarak dengan warna hitam.

Selain katarak jenis langka, di kawasan pegunungan ini, Yanuar mengalami pengalaman unik ketika mengoperasi salah seorang pasien. Kakek berusia 65 tahun itu berteriak-teriak selama operasi. Padahal, pasien lainnya tenang, santai dan rileks. Yanuar berulangkali mencoba menenangkan si pasien, namun tetap saja membandel.

Salah seorang keluarga si kakek meminta agar dr Yanuar tidak terlalu keras meladeninya karena khawatir yang bersangkutan ngambek. "Justru yang berabe kalau saya yang ngambek," kata Yanuar. "Lalu siapa yang akan mengoperasi?"

Si kakek akhirnya mau diam setelah ditenangkan kembali oleh keluarganya. Begitu usai operasi, si kakek diminta untuk melepaskan baju operasi yang ia kenakan. Namun, ia menolak dan kembali meraung-raung di ruang operasi. "Ini punya saya, ini punya saya!" teriaknya.

Tak mau ribet, Yanuar pun membiarkan si kakek mengenakan baju operasi keluar menuju ruang perawatan. Dengan gagahnya, bak seorang dokter, sang pasien melangkah keluar dituntun kerabatnya. Yanuar dan para stafnya hanya bisa nyengir dan geleng-geleng kepala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement