Jumat 04 Nov 2011 06:09 WIB

Ingat! Demensia Bisa Menurunkan Kemampuan Memori dan Intelektual Anda

ilustrasi
ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SANUR, BALI - Pakar penyakit syaraf Indonesia Prof Mohammad Hasan Machfoed, SpS (K) mengemukakan bahwa penyakit demensia (kepikunan) menyebabkan menurunnya dua kemampuan sekaligus yakni memori dan intelektual manusia.

"Selain memori, demensia ini akan menurunkan intelektual, kemudian ada perubahan perilaku, otak yang sebelumnya mudah menganalisa sesuatu kemudian menjadi tumpul," katanya di Sanur, Bali, Jumat (4/11) pagi.

Ditemui disela-sela konferensi ASEAN Neurological Association (ASNA) 2011, guru besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya itu menjelaskan bahwa semua penyakit itu akan memengaruhi baik sumber daya manusia, produktivitas, maupun efektivitasnya.

"Jadi kalau ditanya penyakit apapun namanya, apapun penyebabnya, itu akan menurunkan kemampuan sumber daya manusia termasuk demensia," kata Mohammad Hasan Machfoed yang baru saja terpilih menjadi Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Syaraf Indonesia (Perdossi) itu.

Hanya saja, katanya, khusus untuk demensia, selain memori juga akan menurunkan daya intelektual, yang kemudian ada perubahan perilaku, terkait fungsi otak dimaksud. Dalam kaitan tersebut, kata dia, seseorang sudah tidak bisa berfikir dan malahan kadang-kadang sudah tidak menyadari di mana dirinya. "Nah, kalau itu saja sudah sulit, apalagi kalau berfikir analitis," katanya.

Menjawab pertanyaan, apakah perlu ada kebijakan khusus menangani demensia karena berpengaruh kepada produktivitas manusia, ia menjelaskan bahwa hal itu memang diperlukan. Namun, katanya, dengan urusan masalah pemerintah yang disebutnya 'sudah luar biasa banyak', tuntutan semacam itu tidak bisa serta merta dapat diwujudkan oleh pihak berwenang, dalam hal iniKementerian Kesehatan.

"Yang bisa dilakukan, seharusnya adalah melalui pola hidup yang sehat, terutama yang sudah dianjurkan pemerintah," katanya.

Ia menyebutkan bahwa Pusat Intelegensia Kesehatan (PIK), suatu lembaga resmi di bawah Kemenkes telah mencanangkan 'Dekade Sehat Otak', sehingga sudah ada program-program yang baik. Program dimaksud, katanya, seperti bagaimana mengukur intelegensi seseorang, sehingga tentu akan berhubungan dengan lembaga PIK itu. "Jadi saya kira (programnya, red.) sudah ke arah sana," katanya.

Ia mengatakan bahwa kalau di negara-negara barat, mereka sudah mempunyai program yang sudah pasti untuk kelompok yang disebut 'old society' itu. Secara umum, katanya, kasus demensia di Indonesia mulai terjadi pada usia 45 tahun, meski juga ada kasus ditemukan pada usia sekitar 30 tahun.

"Namun umumnya bisa muncul pada usia 45 dan sudah terjadi karena 'life style' tadi," katanya.

Salah satu peserta konferensi ASNA 2011 yang juga ahli penyakit syaraf dr Andreas Harry, SpS (K) menyatakan bahwa konferensi dokter ahli syaraf dunia tentang penyakit Alzheimer di Paris, Prancis pada Juli 2011 memperkirakan bahwa penderita demensia di negara-negara berkembang akan meningkat drastis.

"Di negara-negara berkembang, jumlah penderita demensia akan meningkat lebih dramatis selama dekade berikutnya, diperkirakan tiga sampai kali lipat lebih tinggi daripada di negara maju," kata Andreas Harry, yang juga dosen pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) Jakarta.

Ia mengemukakan, secara epidemiologi, di Amerika Serikat maupun Eropa, prevalensi maksimal penderita demensia pada usia lanjut (demensia senilis) sebesar lima persen pada populasi yang berusia lebih 65 tahun. Persentase itu, kata dia, meningkat menjadi 20 persen pada populasi yang berusia lebih 80 tahun.

"Penyakit Alzheimer diperkirakan sebesar 60 persen dari seluruh penderita demensia," katanya.

Ia mengemukakan bahwa berdasarkan penelitian epidemiologi di Amerika Serikat, prevalensi penyakit Alzheimer sebesar tiga persen pada populasi berusia 60-74 tahun, 18,7 persen populasi berusia 75-84 tahun, dan 47,2 persen populasi berusia lebih dari 85 tahun.

"Sehingga diperkirakan pada tahun 2040 terdapat 14 juta penderita Alzheimer dan akan menjadi penyebab kematian nomor empat di Amerika Serikat," kata dosen luar biasa Fakultas Kedokteran Universitas Hassanudin (Unhas) Makassar 1996-2001 itu.

ASNA adalah forum dua tahunan para dokter ahli syaraf di Asia Tenggara, sebagai ajang komunikasi dan pertukaran pengetahuan di kalangan dokter ahli syaraf se-Asia Tenggara (ASEAN). Konferensi ASNA 2011, berlangsung sejak 2-5 November 2011 di Sanur, Bali, yang diikuti lebih dari 400 peserta se-ASEAN.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement