Senin 24 Oct 2011 17:24 WIB

Berburu Lumba-Lumba di Teluk Kiluan

Lumba-lumba di Teluk Kiluan
Foto: Foto-foto: Nyanyu/PicnicHolic
Lumba-lumba di Teluk Kiluan

Malam pukul 22.30 kami beranjak dari Jakarta menuju Merak.  Tujuan trip kali ini adalah Teluk Kiluan yang berada di Tenggamus, Lampung. Teluk yang merupakan jalur migrasi lumba-lumba jenis mulut botol ini begitu membuat kami penasaran. Selama ini daerah yang kami tahu jika ingin melihat lumba-lumba di laut, dengan jarak yang terdekat adalah Lovina, Bali.

Rasa penasaran, mengabaikan semua ketakutan akan jalanan yang dilalui. Menurut info yang kami dapat, jalan menuju Kiluan sangat terjal, dan sulit dilalui oleh kendaraan roda empat.

Selama 3,5 jam menyeberang Merak-Bakauheni, kami  melanjutkan perjalananan menuju Lampung Selatan. Rencananya Pemandu kami akan menjemput di sana. Butuh waktu sekitar 3 jam dari Bakauheni untuk sampai di Lampung Selatan. Pemandu kami, Pak Maimun sudah tiba terlebih dahulu. Pak Maimun merupakan penduduk asli Lampung yang mengelola penginapan di Pulau Seberang, Pulau yang akan kami tempati nanti. Karena jalan menuju Teluk Kiluan cukup sulit, Pak Maimun lantas memutuskan untuk memandu perjalanan kami dari Lampung Selatan.

Hamparan sawah yang menghijau, pantai yang landai, gradasi warna perbukitan, menyapa mata kami selama 3 jam perjalanan menuju Tenggamus. Meskipun ini bukan kunjungan yang pertama, namun tetap saja rasa takjub saat berada di tempat ini menyelimuti hati kami. Indonesia negeri yang cantik, sungguh tak diragukan lagi.

Adventure road

Sepanjang 1,5 jam berikutnya merupakan adventure road buat kami semua. Dan memang benar, jalan untuk menggapai Teluk Kiluan sangatlah berat. Dari Desa Bawang, seharusnya kami naik ojek motor, sekitar 1,5 jam. Namun saat itu kami naik ELF 15 seater dan pemandu meyakinkan bahwa kendaraan kami bisa melewati jalur yang akan dilalui

Betapa sulitnya akses untuk menuju Kiluan. Jalanan yang meliuk-liuk, licin, berbukit, naik turun dan sangat sempit harus kami lewati. Mobil yang mengantar kami harus jalan pelan-pelan karena banyak tikungan tajam. Meskipun ini bagian dari petualangan, namun setiap langkah harus dilakukan dengan cermat. Beruntung kami mendapatkan supir yang handal. Salah hitung, jurang di bahu jalan siap menerima kami.

Pada saat tertentu kami sengaja turun dari mobil untuk menikmati pemandangan yang ada. Bahkan pada suatu bukit yang kami lewati, terlihat Teluk Kiluan dengan pulau-pulau kecilnya. Kami yang melihatnya dari atas bukit, seperti dihadapkan pada suatu lukisan terindah dari Sang Maestro. Bukit, pantai, laut awan dan langit menjadi komposisi yang sempurna, tanpa cela. Cuaca cerah menyempurnakan lukisan itu. Teluk Kiluan yang tersembunyi di antara barisan pegunungan dan perbukitan, saat itu terlihat jelas.

Tiga jam bercengkrama dengan pemandangan cantik dan 1,5 jam berpetualang dengan jalan yang horror, akhirnya kami sampai di Desa Kiluan. Terlihat bahwa Desa ini banyak dihuni oleh para transmigran.

Beberapa rumah dengan gaya Bali nampak bersanding dengan rumah panggung milik penduduk asli Lampung. Dialek kental orang Jawa berbaur dengan aneka ragam dialek dari daerah lain menjadikan Desa Kiluan begitu hidup.

Keluarga Pak Maimun menyambut kami dengan ramah. Makan siang siang dengan menu ikan segar berbumbu pedas menjadi sangat nikmat karena kami santap di pinggir pantai. Lidah dan mata dimanjakan pada saat yang bersamaan. Rasa lelah akibat perjalanan panjang, berangsur-angsur luruh. Ya, rumah Pak Maimun memang berada di pinggir pantai. Halaman belakangnya langsung pantai landai. Tak perlu menginap di hotel berbintang untuk mendapatkan sea view terbaik di tempat ini. Tak perlu bayar mahal.

Pantai Pasir Putih dan Pulau Seberang

Setelah makan siang, kami lalu melanjutkan perjalanan ke Pantai Pasir Putih. Trekking sekitar 20 menit, melewati hamparan sawah, jembatan gantung dan semak-semak. Pantai Pasir Putih mempunyai ombak yang besar dan menggulung. Beberapa teman sibuk berfoto di batu-batu karang yang sangat besar. Bahkan batu karang tersebut bisa mencapai tinggi sekitar 5 meter.

Puas bermain-main di Pantai Pasir Putih, kami kembali ke rumah Pak Maimun untuk menyeberang ke Pulau Seberang dengan menggunakan jukung (perahu yang sangat langsing). Tak sampai 15 menit, kami sudah tiba di Pulau Seberang dengan pemandangan yang tak kalah cantiknya. Pasir putih dan warna laut turquoise menjadi perpaduan yang sempurna. Suara monyet dan aneka burung liar turut mewarnai pulau tempat kami tinggal.

Sebelum masuk ke homestay, bangunan dari bambu yang mempunyai 3 kamar tidur, kami leyeh-leyeh sejenak di gazebo. Semilir angin membuat beberapa peserta tertidur. Sementara peserta yang lain, tidak mau melewatkan waktunya begitu saja. Mereka berenang dan bersnorkling menikmati keindahan bawah laut. Beberapa peserta justru lebih asyik mengabadikan gambar di sekitar pulau. Sungguh cantik Pulau Seberang ini.

Malamnya kami membuat api unggun dan membakar ikan. Seekor Ikan  (yang saya tidak tau namanya) seberat kurang lebih 7 kg itu langsung kami habiskan begitu selesai dibakar. Malam menjelang, beberapa peserta tertidur di homestay, beberapa lagi memilih tidur di gazebo dan pinggir pantai. Menyatu dengan alam, mendengarkan suara ombak dan binatang malam, sungguh sulit sekali kami temukan bagi kami warga Jakarta yang sudah sangat padat dengan berbagai aktifitas.

Tarian lumba-lumba menyambut pagi

Pagi menjelang. Setelah sarapan, pukul 06.00 kami bersiap untuk berburu lumba-lumba di Teluk Kiluan. Berburu di sini maksudnya melihat langsung lumba-lumba dari jarak yang paling dekat, di lautan lepas. Lima jukung telah siap mengantar kami. Masing-masing jukung hanya boleh diisi tidak lebih dari 3 orang.

Dua puluh menit kemudian kami telah tiba di Teluk Kiluan. Lautan lepas berwarna biru pekat dan ombak besar menyambut kami. Rasanya mustahil sekali jukung kecil ini bisa bertahan di ombak yang besar ini. Kami sempat was-was juga, karena saat itu tak ada pelampung, dan tak ada yang menyewakan (kalau sekarang sudah bisa sewa pelampung).

Ombak yang besar membuat beberapa peserta trip jackpot. Namun beberapa peserta justru menganggap itulah petualangan mereka. Duduk di perahu yang sangat kecil sambil menjaga keseimbangan badan karena ‘harus’ mendapatkan foto lumba-lumba.

Lumba-lumba di Teluk Kiluan merupakan jenis lumba-lumba mulut botol. Teluk kiluan yang berbatasan dengan Samudra Hindia, mempunyai kedalaman dan suhu tertentu yang membuat lumba-lumba sering berenang di daerah ini. Atraksi lumba-lumba inilah yang membuat para backpacker penasaran untuk datang ke Teluk Kiluan. Karena selain jumlah lumba-lumba yang banyak, keindahan Teluk Kiluan juga tidak di ragukan lagi. Kemunculan lumba-lumba yang banyak, mampu menghilangkan rasa was-was kami berpetualang di laut lepas dengan perahu yang sangat kecil dan tanpa pelampung. Yang terpikirkan justru bagaimana agar bidikan kamera bisa tepat, karena merupakan momentum yang sangat singkat.

Tiga jam berada dalam jukung dan puas mengabadikan foto lumba-lumba, kami melanjutkan perjalanan dengan mengunjungi Pulau Kelapa. Pulau yang mempunyai pasir bersih dan pantai indah ini juga menawarkan pesona lain. Dengan trekking sekitar 15 menit, kita bisa menemukan laguna cantik yang aman untuk berenang. Namun sayang, saat itu air laut sedang pasang sehingga kami tidak jadi berenang.

Tempat berlibur orang Eropa

Pak Budi, orang yang mengendalikan jukung kami, bercerita bahwa dulu pada tahun 80-90an Teluk Kiluan banyak didatangi wisatawan asing, terutama dari Eropa. Jalur yang dipilih tentu saja jalur laut, bukan jalur darat. Mereka membawa yacht-yacht pribadi mereka untuk berlibur di Teluk Kiluan. Pak Budi menunjukkan beberapa pulau tak berpenghuni yang masih menyisakan bangunan-bangunan lama.

Selain berlibur, wisman tersebut juga berburu penyu hijau dan penyu sisik. Sangat mudah bagi mereka mendapatkan penyu hijau dan penyu sisik dalam jumlah ratusan, karena saat itu para nelayan rela berburu kedua jenis binatang tersebut dan tidak memikirkan resikonya.

Namun kini, semua nelayan sudah sadar akan dampak buruk perburuan tersebut. Kedua jenis penyu tersebut hampir punah dan jika tidak dijaga akan mengganggu keseimbangan alam. Para wisman pun sudah tidak banyak lagi yang datang semenjak tsunami tahun 2004. Para nelayan kini bergerak untuk memajukan kembali geliat wisata di Kiluan dengan menyewakan jukung-jukung mereka dan menjadi pemandu.

Puas menjelajahi Pulau Kelapa, kami kembali ke Pulau Seberang. Beberapa teman kembali berenang dan snorkeling. Hingga tiba saatnya kami harus meninggalkan pulau cantik ini. Kembali menuju rumah Pak Maimun untuk santap siang. Menu ikan segar, makan di pinggir pantai, kembali kami nikmati sensasi kedua kalinya. Kenangan indah mengenai Teluk Kiluan benar-benar tak terlupakan hingga kami kembali ke Jakarta.

Nyanyu Partowiredjo, pelaku wisata

[email protected]

Rubrik ini bekerja sama dengan PicnicHolic

www.picnicholic.webs.com

@PicnicHolic

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement