Ahad 28 Aug 2016 17:00 WIB

Pegangsaan TimurKaret Menapaki Jejak Chairil Anwar

Red:

Rumah di Jalan Pegangsaan Timur No 56, Jakarta, itu tak lagi ada. Hanya Tugu Proklamasi, patung Sukarno dan Hatta yang berdiri di depan mata. Para peserta tur bukan sedang menyimak pemandu bercerita tentang sejarah proklamasi, tapi napak tilas tentang Chairil Anwar, sastrawan pelopor Angkatan 45 yang membawa era puisi modern ke Indonesia.

Lelaki kelahiran Medan pada ini mulai menginjakkan kaki di Jakarta pada 1942 saat ia sudah mulai aktif menulis sajak. Selama tujuh tahun tinggal di Jakarta, ia meninggalkan jejak-jejak di sejumlah tempat yang banyak berkaitan dengan sajak yang ia buat. Salah satu tempat yang tidak asing dengan keberadaan Chairil ada di lokasi Tugu Proklamasi kini. Dari tempat inilah Walking Tour Chairil Anwar dimulai.

Bersama ibunya, Chairil sempat menumpang di rumah pamannya, Sutan Syahrir, di Jalan Pengangsaan Timur No 56. Rumah ini sempat ditempati Ir Sukarno dan istri ketiganya, Fatmawati, setelah dipulangkan dari tempat pengasingan di Bengkulu oleh Jepang.

Tempat kelahiran 'Krawang Bekasi'

Oleh Bung Karno dan Bung Hatta, rumah ini dijadikan tempat memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 silam. Di sini juga Bung Karno sempat menulis naskah pidato perumusan Pancasila yang kemudian ia bacakan dalam sidang BPU-PK.

"Syahrir jadi Perdana Menteri, ibu kota pindah ke Yogjakarta. Saat Sukarno pindah ke Yogja, rumah ini ditempati Syahrir. Chairil menumpang di sini, di tempat pamannya," ujar Hasan Aspahani, penulis buku Chairil Anwar: Sebuah Biografi.

Hasan menjelaskan, di sini Chairil membuat sebuah sajak bertema patriotisme kemerdekaan, berjudul 'Krawang Bekasi'. Dalam sajaknya itu, ia mengabadikan nama tiga bapak bangsa yang sangat ia kagumi, Sukarno, Hatta, dan Syahrir.

"Ia baru bikin sajak 'Persetujuan Dengan Bung Karno' tahun 1949 setelah menyaksikan pidato Sukarno di Lapangan Ikada pada 9 september 1945. Awalnya para pemuda ingin naskah proklamasi dibacakan di Lapangan Ikada," jelasnya.

Mesti sarat akan sejarah, rumah di Jalan Pengangsaan No 56 itu tidak terawat dengan baik. Pada peristiwa G30S/PKI, rumah tersebut bahkan dirobohkan dan diratakan dengan tanah.

Baru pada 1980, Presiden Soeharto meresmikan Tugu Proklamasi yang dibangun tepat Jalan Pengangsaan No 56 (saat ini menjadi Jalan Proklamasi). Dalam Tugu Proklamasi terdapat patung Bung Karno dan Bung Hatta yang membacakan naskah proklamasi.

Pelanggan Bioskop Metropole

Setelah tak lagi dibiayai oleh ayahnya dari Medan, Chairil mulai keluar dari rumah Syahrir dan mencari pekerjaan. Berbagai pekerjaan serabutan ia lakukan untuk menyambung hidup, termasuk menjual barang-barang bekas hasil jarahan rumah orang-orang Belanda.

Namun ia tetap memantapkan diri sebagai seniman. Hobi membaca buku dan menonton film membuat wawasannya terbuka dan kosakata bahasanya luas di usianya yang cukup muda. Kesenangannya menonton film bahkan dituangkan dalam sajak berjudul Aku Berkisar Antara Mereka.

Salah satu gedung bioskop bersejarah di Jakarta yang sering ia kunjungi adalah bioskop Metropole di Menteng, Jakarta Selatan. Gedung bioskop ini berdiri setelah Indonesia merdeka dan diresmikan langsung oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta.

"Metropole sampai sekarang jadi tempat nonton pejabat penting, dulu Sukarno suka nonton di sini," ujar Ira Latief dari Jakarta Good Guide, dalam acara Walking Tour Chairil Anwar.

Saat ini Metropole masih menjadi gedung bioskop dengan nama Metropole XXI (dulu Megaria 21). Bangunan gedung bioskop ini masih terlihat asli dengan gaya bangunan khas Belanda, yang telah ditetapkan sebagai gedung Cagar Budaya Nasional.

Semasa hidupnya Chairil pernah satu kali menikah dengan seorang wanita bernama Hapsah Wiradiredja. Mereka dikaruniai seorang anak perempuan bernama Evawani Alissa. Namun pernikahan tersebut hanya bertahan selama tiga tahun. Hapsah menceraikan Chairil karena penyair itu tidak memiliki pekerjaan tetap.

"Chairil menikah dengan gadis Karawang bernama Hapsah, tapi mereka sering berantem karena Chairil kerjanya serabutan," tutur Ira Latief dari Jakarta Good Guide, dalam acara Walking Tour Chairil Anwar.

Setelah bercerai, Chairil banyak menumpang tinggal di rumah sahabat-sahabat dekatnya. Hidupnya semakin tidak terurus, ia terjangkit sejumlah penyakit, seperti infeksi paru-paru, infeksi usus, tifus, hingga sifilis. "Hidupnya memang gak teratur, suka begadang, ngerokoknya kuat, dan sering ke rumah bordil juga," kata Ira.

Berakhir di Karet

Pada 22 April 1949 ia dibawa rekan-rekannya ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Setelah berjuang melawan penyakit selama tujuh hari, ia mengembuskan napas terakhir di usia 27 tahun.

RSCM, yang dulunya bernama Rumah Sakit Centrale Burgelijke Ziekenhuis (CBZ) menjadi saksi bisu pertemuan Hapsah dengan jenazah Chairil setelah sebelumnya mereka hilang kontak pasca perceraian. Kepada Hapsah, Chairil hanya mewariskan sepotong baju dan celana, sebuah dompet, dan setumpuk kertas berisi sajak-sajak yang ia tulis.

Tempat pemakaman umum (TPU) Karet Bivak menjadi tempat peristirahatan terakhir sang pelopor angkatan 45. Chairil sebelumnya telah meramalkan kematiannya dalam sajak berjudul 'Yang Terampas dan Yang Putus', yang ia tulis tiga bulan sebelum pergi. Dalam sajak tersebut ia menyebutkan lokasi Karet, sebagai tempat ia kembali.

"Di era Gubernur Wiyogo Atmodarminto, makam Chairil Anwar dipugar. Makamnya dibikin tugu menyerupai pena," ucap Ira. Semasa hidup, Chairil hanya menulis 70 buah sajak. Sajak-sajak tersebut baru didokumentasikan dan dibukukan oleh HB Jassin, setelah Chairil meninggal dunia.

Sajak yang dibuat dari tulisan tangan Chairil masih disimpan rapi dalam pusat dokumentasi sastra (PDS) HB Jassin. PDS HB Jassin yang didirikan pada 28 Juni 1976 ini berlokasi di Taman Ismail Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta Pusat.

"HB Jassin adalah sahabat dekat Chairil meski usianya lebih tua. Mereka pernah bertengkar karena tuduhan plagiarisme Jassin kepada Chairil, namun Jassin yang berjasa mengenalkan sajak Chairil setelah meninggal," ungkap Ira.

Jassin yang juga senang menulis sajak seperti Chairil, pada awalnya ingin mendokumentasikan karya-karya sastra agar tidak hilang. Jasanya yang besar pada kesusastraan Indonesia meluluhkan hati Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin, yang kemudian memberikannya tempat di TIM.

PDS HB Jassin dibuka untuk umum. Pengunjung bisa melihat ribuan karya sastra dalam bentuk buku fiksi, nonfiksi, naskah, makalah, audio, dan video. Oleh Fira Nursya’bani, ed: Nina Chairani

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement