Ahad 07 Feb 2016 15:10 WIB

Menyusuri Jejak Preanger Planters

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Menikmati Bandung lewat factory outletdan pesona kulinernya mungkin kini menjadi `mainstream'. Mengarungi dimensi waktu lebih dari seabad silam di kota yang bergerak dalam kekinian menjadi sesuatu yang menyegarkan.

Bumi Sunda dulu identik dengan perkebunan, pundi-pundi kekayaan negeri penjajah. Adalah orang-orang Eropa di era penjajahan Belanda yang membuka perkebunan di sana. Pada masa itu seorang bangsawan bisa memiliki ratusan hektare areal perkebunan mulai kawasan Lembang hingga Ciwidey. Para juragan perkebunan dikenal dengan sebutan Preanger Planters. Artinya, pemilik perkebunan di Bumi Priangan.

Nama seperti Karel Albert Rudolf Bosscha, RE Kerkhoven, Adrianus de Wilde, hingga KF Holle tak asing bagi dunia sejarah Priangan. Mereka merupakan bagian dari deretan juragan perkebunan teh di Jawa Barat.

"Kami ingin mengajak untuk menyusuri jejak juragan teh yang tenyata berjasa pada pembangunan Kota Bandung. Jadi, nggak semua penjajah itu cuma jadi parasit tapi ada lhoyang dermawan dan berjasa," kata Arya Vidya Utama, koordinator Komunitas Aleut. Sebuah komunitas yang dibentuk sejumlah warga Bandung peduli pada sejarah dan budaya, khususnya Jawa Barat.

Republika ikut menapaki jejak-jejak peninggalan Belanda bersama Arya dan kawan- kawan. Ngaleut Preanger Planters, begitu rute perjalanan waktu itu. Tema ini membawa kami fokus pada peninggalan para juragan teh yang berperan pada pembangunan kota Bandung.

Pencipta tenaga teknik

Penyusuran dimulai dari kampus ternama di Kota Bandung, Institut Teknologi Bandung (ITB) yang dibangun pemerintah Belanda. Awalnya bernama Techniche Hoogeschool te Bandung (THS) ini dibangun dengan sum - bangan besar dari para Preanger Planters. Salah satunya Karel Albert Rudolf Bosscha,

Gagasan mula hadirnya ITB dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga teknik yang menjadi sulit karena terganggunya hubungan antara negeri Belanda dan wilayah jajahannya di kawasan Nusantara. Kala itu masyarakat Indonesia harus pergi ke Belanda untuk bersekolah. Technische Hoogeschool te Bandoeng ini resmi berdiri pada 3 Juli 1920. THS juga merupakan tempat Presiden Indonesia Pertama, Sukarno meraih gelar insinyurnya dalam bidang teknik sipil.

Beranjak sedikit, di seberang ITB terdapat sebuah ruang terbuka hijau bernama Taman Ganesha. Dulu saat dibuat pertama kalinya taman ini lebih dikenal dengan nama Ijzer - manpark. Nama seorang tokoh besar dalam pemerintahan kolonial Belanda.

Ijzerman adalah penggagas utama pembangunan ITB. Karenanya taman di depan ITB diberikan sesuai namanya. Bahkan, awal- awalnya terdapat patung dada dirinya yang kini disimpan baik oleh Rektorat ITB.

Taman ini dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada 1919 di atas area seluas kurang lebih 9.607 m2. Sayangnya kini taman yang masih asri dan hijau itu tidak dapat dinikmati seluruhnya secara bebas. Pengelola dari ITB mewajibkan jika ada yang ingin masuk atau membut acara di Taman Ijzerman harus meminta izin lebih dulu.

Habibie pun sekolah di situ

Menyusuri bangunan bersejarah tidak sebosan pelajaran sejarah di sekolah. Dengan berjalan kaki perjalanan ini berlanjut ke Jalan Ir H Juanda atau dikenal dengan Dago. Di kawasan yang kini menjadi pusat perbelanjaan dan tongkrongankawula muda terdapat satu bangunan yang menyimpan sejarah.

Sebuah sekolah menengah dibangun pada 1927. Sebuah bangunan dengan nama Vila Tan yang diubah pemerintah kolonial Belanda menjadi sekolah Christelijk Lyceum bernama Het Christelijk Lyceum (HCL). Bangunan itu kini lebih dikenal dengan nama SMAK Dago.

Gedung yang pernah menjadi tempat menimba ilmu Presiden Indonesia ketiga BJ Habibie ini dibangun untuk memenuhi kebutuhan sekolah. Dengan menyekolahkan rakyat pribumi, pemerintah Belanda tidak perlu repot membawa tenaga kerja dari negara asal untuk urusan administrasi seperti juru ketik atau keuangan.

Bangunan sekolah di Dago direnovasi oleh arsitek YS Devis pada 1939. Gedung Lyceum diakuisisi Jepang 30 September 1942 dan dijadikan tempat penampungan bagi perempuan dan anak-anak yang sakit.

Kami lalu beranjak ke Jalan Rangga Gading dan Ranggamalela. Di tempat ini terdapat sebuah taman yang dikenal sebagai `taman surga'. Sebuah julukan bernada ledekan lantaran sekarang banyak orang yang mabuk atau tellerdi taman ini. Dikenal dengan Taman Flexi, tumbuh menjulang tinggi besar sebuah pohon beringin. Keberadaan pohon ini membuat suasana terasa sejuk.

Pembangunan taman ini dulu didedikasikan kepada Bosscha. Sosok saudagar kaya yang amat dermawan, berperan besar pada pem bangunan Kota Bandung. "Bosscha meski bagian dari penjajah Belanda, dia sangat dermawan dan berperan besar pada sumbangan untuk pembangunan Kota Bandung kala itu," ujar Arya kepada peserta Ngaleut.

Kami melewati Jalan LL RE Martadinata, menemukan sebuah toko kue, Holland Bakery. Bangunan toko ini dulunya merupakan rumah sementara salah satu Preanger Planters, RE Kerkhoven. Ia mendiami rumah itu sembari menunggu rumahnya yang diinginkannya selesai dibangun di tanah yang kini menjadi kantor besar PT Kereta Api Indonesia. Sayangnya, ia meninggal sebelum sempat menempati rumah harapannya.

Sakolah Raja dan Kebon Raja

Markas Kepolisian Resor Kota Besar (Mapolrestabes) Bandung juga bagian dari bangunan bersejarah. Pada 23 Mei 1866 bangunan itu diresmikan sebagai sekolah guru (Kweekschool Voor Inlandsche Onderwijers). Gedung tersebut didirikan atas inisiatif seorang kebangsaan Belanda yang bernama KF Hole. Sekolah ini disebut sebagai Sakolah Raja karena para murid merupakan anak-anak dari bangsawan ataupun tokoh-tokoh penting kala itu.

Kami melangkah ke Kantor Wali Kota Bandung atau Balai Kota. Bangunan ini ternyata dulunya merupakan gudang kopi milik Andreas De Wilde, seorang tuan tanah yang menjadi asisten residen Priangan pada 1812. De Wilde dahulu menguasai tanah Parahyangan lebih dari setengah luas wilayah Kota Bandung. Sayang, kiprahnya sebagai tuan tanah berakhir tragis. Pada era pemerintahan Gubernur Jenderal Van der Capellen, kepemilikan tanahnya dibatalkan. De Wilde jatuh miskin dan kembali ke Belanda.

Gudang kopi ini juga dihiasi taman-taman yang menjadi tempat nongkrongmurid-murid di Sakolah Raja. Taman sendiri dibangun pada 1885 untuk mengenang jasa Pieter Sitjhoff, asisten residen Priangan yang berjasa besar bagi pembangunan Kota Bandung. Artinya, Taman Balai Kota ada sebelum pembangunan kantor wali kota. Pada saat jam istirahat, siswa Sakolah Raja sering berkumpul di taman hingga taman identik dengan taman Kebon Raja.

Kota Bandung tentu tidak lepas dari Jalan Braga yang menjadi ikon Bandung Tempo Doeloe. Jalan Braga yang menjadi akses perdagangan juga menjadi pusat berkumpulnya bangsawan-bangsawan Belanda untuk memperlihatkan mobil atau kekayaannya. Sambil minum bir mereka bersenda gurau di sana.

Bukan hanya sekolah atau sentra perdagangan, pemerintah Belanda kala itu juga membangun sebuah panti untuk penyandang tunanetra. Panti Sosial Bina Netra (PSBN) Wyata Guna Bandung lahir atas keprihatinan seorang dokter Belanda Cha Westhoff terhadap kaum pribumi yang tunanetra. Lewat yayasan ini, para pribumi penyandang tunanetra bisa belajar membaca dan beraktivitas lebih mandiri.

Hingga kini panti ini tetap digunakan oleh Pemerintah Kota Bandung. Raut wajah puas para peserta Ngaleut saat menuntaskan perjalanan. Walaupun peluh mengucur lantaran menyusuri jalan-jalan dengan berjalan kaki.

"Sebelumnya saya benci dengan sejarah. Tapi dengan datang langsung ke tempatnya ternyata lebih menyenangkan dan langsung ingat," kata salah seorang peserta saat sesi sharingusai Ngaleut.

Ternyata, selain membawa hasil bumi Tanah Parahyangan, ternyata Belanda berperan pada pembangunan kota kembang Bandung.  c26, ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement