Selasa 03 Mar 2015 17:29 WIB

Menggugat Batas Usia Nikah Perempuan

Red: operator

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

REPUBLIKA.CO.ID, Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) mengajukan gugatan tentang batas usia menikah minimal 16 tahun ke Mahkamah Konstitusi (MK). YKP meminta Mahkamah mengubah Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Apa yang menjadi dasar alasan gugatan ini? Berikut wawancara wartawan Republika Ira Sasmita dengan Ketua Dewan Pengurus Harian YKP Zumrotin K Susilo.

Apa yang melatarbelakangi YKP mengajukan uji materi soal batas usia pernikahan ke MK?

YKP lebih dari lima tahun kerjanya itu di kabupaten-kabupaten. Sebetulnya di kabupaten itu program kami lebih kepada membentuk kader-kader untuk sosialisasi tentang kesehatan reproduksi. Itu yang biasanya kami latih guru SMA, guru SMP untuk bikin peer educater bagi anak-anak SMA, SMP. Kemudian sampai kami lihat mereka praktik. Dalam pengalaman kami dari kabupaten ke kabupaten, kami melihat loh kok angka perkawinan anak kok tinggi sekali.

Realitas di lapangan, program kami di Kebumen, Kampar, Soid, Sambas, Bondowoso, Batang, Cianjur, Tasik, Bogor, dan Jakarta. Kami melihat ini kalau UU Perkawinan tetap menyatakan anak usia 16 tahun boleh dinikahkan, kan baru lulus SMP. Kualitas SDM seperti apa. Makanya kami pikir ini harus ada peraturan perundang-undangan yang memperkuat. Bahwa perempuan tidak boleh menikah di usia 16 tahun.

Apa yang menjadi cantolan hukum atas gugatan uji materi itu?

Pertama, dia tidak sesuai dengan UU Perlindungan Anak. Karena, batas usia anak dalam UU itu di bawah 18 tahun. YKP ajak beberapa lembaga swadaya masyakarat yang bergerak di bidang perempuan dan kesehatan untuk mengajukan judicial review ke MK khusus untuk menaikkan batas usia perkawinan.

Pertimbangan YKP mendatangi daerah-daerah di atas?

Daerah-daerah yang YKP kunjungi yang angka pernikahan usia anaknya tinggi. Setelah kami tahu datanya, kami dekati pemdanya.

Apa yang menyebabkan angka pernikahan dini di daerah tersebut tinggi?

Ternyata setelah kami teliti, antardaerah itu berbeda-beda. Ada yang alasan perkawinan karena kemiskinan. Ada yang karena interpretasi agama. Kalau sudah menstruasi berarti sudah akil baligh. Kalau menurut Quraish Sihab menstruasi itu bukan akil baligh. Menstruasi itu baru baligh karena akalnya belum seperti anak dewasa. Baru balighnya saja. Tapi, banyak umat Islam yang menginterpretasikan kalau sudah menstruasi itu sudah boleh dinikahkan.

Bagaimana dengan latar belakang budaya?

Karena budaya juga. Misalnya, di Madura kalau istilah mereka Pacangan. Anaknya masih kecil, kenal ibunya ngajak besanan atau anaknya kalau lahir nanti besanan sama saya. Itu budaya. Atau di Indramayu, kalau dia di atas 15 tahun belum kawin dianggap perawan tua.

Apa dampak pernikahan dini di daerah tersebut?

Kami melihat pernikahan anak sangat berdampak pada kesehatan reproduksi. Karena mereka usianya masih tumbuh. Kalau dia menikah lalu hamil, akan berdampak pada kesehatannya. Gizi yang dia makan berebut dengan bayinya. Kalau ibunya menang, anaknya berat badannya akan kurang atau dia akan otak kosong. Kalau ibunya yang kalah, dia akan mengalami anemia, pendarahan. Itu kalau dari sisi kesehatan.

Dari sisi psikologis dampaknya apa?

Dari sisi psikologis, anak yang dinikahkan, dia kehilangan masa kanak-kanaknya. Yang harusnya bebas bermain, tapi sudah dibebani sebagai kepala rumah tangga atau ibu. Dia yang masih anak-anak itu kan akan mengalami stres, mengisolasi diri, apalagi kalau dia miskin. Ini ironis secara ekonomi, alasan kawin karena kemiskinan. Ketika dia dinikahkan dini akan berdampak pada kemiskinan yang semakin ruwet.

Contoh konkret dampak ekonominya itu seperti apa?

Data di Bondowoso, setelah satu tahun pernikahan dini sebanyak 48,9 persen pada 2011. Pernikahan muda ini 50 persen pernikahan dininya satu tahun kemudian cerai. Setelah punya anak satu, dia tidak punya ijazah, tidak punya modal sehingga dia semakin miskin. Akhirnya dia menjadi tenaga kerja wanita (TKW) atau terjebak menjadi pekerja seks komersial (PSK). Anaknya ditinggal sama nenek atau kakeknya yang miskin dan tidak berpendidikan.

Pendekatan seperti apa yang YKP lakukan di daerah tersebut?

YKP melakukan pendekatan melalui bupatinya. Kami jelaskan, misalnya kalau menginginkan angka kematian ibu tidak terus melonjak, maka di antara yang bisa dilakukan adalah menghindari pernikahan anak. Caranya memberikan informasi yang benar tentang kesehatan reproduksi perempuan. Bahwa menikahkan anak itu juga mengakibatkan kanker serviks. Kami diskusikan ke bupati.

Bagi bupati yang sudah paham, bikin MoU (nota kesepahaman) dengan kami. Setelah program kami selesai maka pemda harus mereplikasi, melanjutkan program ini dengan APBD.

Apakah dengan semua Pemda daerah-daerah tadi sudah diteken MoU-nya?

Belum semuanya. Harus kami akui yang paling berhasil di Bondowoso, Tasik. Susahnya kan gini, misalnya di Kabupaten Bogor, baru akan ditandatangani, bupatinya tertangkap korupsi. Program terkatung-katung.

Keberhasilan seperti apa yang terlihat di Bondowoso?

Akhirnya Dinas Agamanya menyatakan persyaratan kawin tidak pakai surat keterangan usia. Tapi pakai ijazah. Ijazah kan susah dipalsukan. Serta akta kelahiran. Kan bisa dibandingkan akta kelahiran dengan kelulusan. Susah untuk dimanipulasi. YKP mencarikan terobosan-terobosan untuk setiap daerah.

Tidak mengupayakan kerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri?

Iya, sangat bisa. Di Bappenas kami sampaikan, misalnya saya mengalami kesulitan melakukan pendekatan ke bupati bagaimana caranya. Ada Kemendagri juga dalam pertemuan itu. Mereka bilang kalau mengalami kesulitan tinggal lapor ke mereka. Supaya mereka bisa yakinkan ke bupati program itu bisa dilakukan. Kalau mau bagus, karena ini kaitannya dengan kemiskinan, pendidikan, kesehatan, bagi bupati yang punya komitmen harusnya ditambahkan dananya untuk itu. Sehingga, semua tertarik melakukannya.

Kerja sama dengan legislatif setempat bagaimana?

Memang akan sangat ideal bila dalam satu kabupaten kita juga koordinasi dengan anggota DPRD. Sehingga, mereka mengerti dan dalam pengalokasian anggaran bisa diakomodir.

Dalam mengajukan gugatan ke MK apakah YKP berkoordinasi dengan kementerian terkait perempuan dan anak?

Tentu iya. Pertama, kami lakukan ke BKKBN, Kementrerian Kesehatan, Kementeriaan Pendidikan, dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dan juga Kementerian Agama. Itu kita lakukan pendekatan.

Bagaimana tanggapan mereka?

BKKBN jelas menginginkan usia pernikahan itu minimal 21 tahun. Dibandingkan dengan kami yang masih sangat konvensional. Karena, kalau judicial review ke MK kan harus ada kaitan hukumnya. Kami kaitan hukumnya selain menggunakan UUD 45, kita juga gunakan UU Perlindungan Anak. Maka batas usia menikah setelah 18 tahun.

BKKBN sangat mendukung kalau usia pernikahan didewasakan. Setidaknya masa usia perempuan subur itu tidak lain. Kalau usia 18 tahun setidaknya dia punya pengetahuan bagaimana setidaknya merencanakan keluarga. Kemenkes juga karena kaitannya dengan angka kesehatan, kematian ibu, berat bayi rendah. Maka dia mendukung.

Respons Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bagaimana?

Kementerian Pendidikan nggak jelas. Mereka selalu ngomong pendidikan kesehatan reproduksi (kespro) sudah ada dalam kurikulum. Di materi pendidikan melalui pelajaran biologi, agama, dan olahraga. Selalu ngomong gitu, susah sekali. Yang kita permasalahkan materinya itu benar atau tidak. Nah, masalahnya pernyataannya selalu berbeda-beda di setiap kesempatan. Institusi tidak punya satu kebijakan. Itu yang saya lihat di Kemenag dan Kemendiknas. Tapi, kalau di BKKBN, Kemenkes, Kemen PP-PA sama.

Dalam persidangan di MK, perwakilan Kementerian Agama justru tidak mendukung pembatasan. Sebenarnya bagaiman respons Kemenag?

Kalau termasuk dengan Biro Hukum Kemenag dan Kemenkumham tidak banyak bicara. YKP sudah pernah audiensi dengan Pak Lukman (Menteri Agama). Beliau sangat progresif. Hanya kadang-kadang apa yang menjadi policy Pak Lukman nggak sampai ke bawah. Sehingga, yang dikirim ke MK ya seperti itu. Sama dengan Kemenkumham juga. Biro Hukumnya karena dia berada di pihak yang digugat dia memohon gugatan YKP tidak dikabulkan.

Ormas keagamaan saat memberikan keterangan di MK menolak mendukung gugatan YKP. Alasannya?

NU pada saat YKP ketemu Pak Said Aqil dia setuju dinaikkan setelah dia tahu bahayanya. Tapi, yang pergi ke MK memberikan keterangan lain. Ini yang menarik Muhammadiyah. Saat sidang dia merujuk pada UU Perlindungan Anak. Jadi, dia menurut saya seperti Jaka Sembung. Dia bicara soal perlindungan anak, tapi pas kesimpulannya dia minta permohonan tidak diterima. Nasyiatul Aisyiah-nya marah-marah. Karena, mereka setuju kenaikan usia menikah. MUI tidak setuju. Tapi, semua agama lain setuju.

Ada upaya lain agar putusan MK nanti mengabulkan gugatan YKP?

Kami minta MK supaya mendatangkan departemen yang mengetahui substansinya. Kemenkes, BKKBN, Kemen PP-PA. Tapi, MK menyatakan usulan diterima tapi hanya keterangan tertulis melalui Kemenkumham. Sampai sekarang sudah dua bulan sejak sidang terakhir, tapi belum ada putusan.

Apa rencana YKP jika gugatan ditolak MK?

Kami tetap bekerja seperti saat ini. Melakukan sosialisasi, menyampakan dampak negatif pernikahan anak. Anak SMP harus kita berikan masukan, apa rencana kamu masa depan. Apa cita-citamu. Apa bisa kamu misalnya ingin jadi dokter kalau kamu sudah hamil duluan. Lalu kalau anak SMP sudah tertarik lawan jenis apa yang bisa kamu lakukan. Kirim pantun, puisi, salam di radio, kirim makanan. Itu yang kami lakukan dari satu daerah ke daerah lainnya.

Pendekatan seperti apa saja yang bisa dilakukan ke anak untuk mencegah pernikahan dini?

Memang menyelesaikan hal ini tidak cukup hanya dengan peer educater. Makanya sekarang YKP melakukan pendekatan Toga (Tokoh agama) dan Tomas (Tokoh masyarakat). Kami adakan pertemuan dengan ustaz dan kiai se-Jawa. Kami presentasikan. Akhirnya mereka bilang anak itu aset. Turunannya harus berkualitas. Tapi juga ada yang masih berpandangan kolot.

Kalau pendekatan kepada orang tua harusnya seperti apa?

Orang tua juga harus diberikan padangan bahayanya nikah muda dan belajar pskologi anak. Anak SMP mulai tertarik lawan jenis, dia lebih senang bersama temannya ketimbang orang tua. Kita biarkan tapi amati. Jangan dilarang karena nanti malah bentrok. Kalau di desa kan masih belum memadai pendidikan orang tua. Di desa tidak akan ada orang tua bertanya ke anaknya tentang mimpi basah, sperma, dan pengetahun reproduksi lainnya.

Apa sebenarnya masalah utama perempuan saat ini di Indonesia?

Keadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan. Kalau bicara dan lihat data di Komnasham tinggi sekali, naik terus setiap tahun kekerasan terhadap perempuan. Apa yang dimaksud kekerasan terhadap perempuan. Mulai dari pelecehan mengganggu, mencubit, memerkosa. Menikahkan anak juga masuk kekerasan terhadap perempuan. Kita harus bisa melebarkan definisi kekerasan terhadap perempuan, menikahkan saat usia anak itu juga kekerasan terhadap perempuan. n ed: andri saubani

***

Anak Selayaknya Harus Menikmati Masa Bermainnya

Pernikahan yang dilakukan pada usia anak tidak hanya berdampak buruk dari sisi kesehatan dan psikologis. Pernikahan dini merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap anak, khususnya anak perempuan. Demikian opini Ketua Dewan Pengurus Harian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Zumrotin K Susilo. “Perempuan yang dinikahkan di usia anak-anak itu kekerasan. Menikahkan anak usia 16 tahun ke bawah itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” kata Zumrotin kepada Republika, belum lama ini.

Zumrotin mengungkapkan, selama ini kekerasan terhadap perempuan hanya didefinisikan sebatas kekerasan fisik, psikologis, dan ekonomi. Padahal, menurutnya, menikahkan perempuan yang usianya masih dalam batas usia anak-anak juga termasuk kekerasan. “Kita harus bisa melebarkan definisi kekerasan terhadap perempuan, menikahkan saat usia anak itu juga kekerasan terhadap perempuan,” ujarnya.

Anak perempuan berusia 16 tahun ke bawah, lanjut Zumrotin, merupakan anak usia sekolah. Mereka selayaknya harus menikmati masa bermain dan belajar sebagai anak. Jika dipaksakan menikah, apalagi hamil setelah itu, hak asasi anak otomatis terampas. Dalam usia begitu muda, anak harus bertransformasi sebagai ibu dan kepala rumah tangga.

Karena itu, Zumrotin berpandangan, pemerintah harus menunjukkan keseriusan dan komitmen yang tegas dalam melindungi hak anak, khususnya menyangkut usia pernikahan. YKP pun telah mengajukan gugatan tentang batas usia menikah minimal 16 tahun ke Mahkamah Konstitusi (MK).

YKP meminta Mahkamah mengubah Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Setidaknya usia nikah anak disesuaikan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang menyebutkan usia anak adalah 18 tahun ke bawah.

Sensus nasional pada 2012 hasil kerja sama pemerintah dengan Badan PBB urusan anak-anak UNICEF menunjukkan, satu dari empat anak perempuan menikah sebelum usia 18 tahun. Bahkan, di sejumlah daerah anak perempuan berusia 15 tahun sudah menikah. Provinsi dengan angka pernikahan dini yang tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Jawa Barat.

Kementerian Kesehatan mencatat, perempuan yang melahirkan usia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal saat hamil maupun bersalin dibandingkan dengan kelompok usia 20-24 tahun. Angka risiko itu meningkat jika pernikahan dilaksanakan pada usia 15-19 tahun.

UNICEF juga merilis 70 ribu kematian tiap tahun pada anak perempuan usia 15-19 tahun yang disebabkan oleh komplikasi yang berhubungan dengan kehamilan dan persalinan. Sementara, hasil penelitian UGM menunjukkan, sekitar 14 persen bayi yang lahir dari ibu berusia remaja di bawah tujuh tahun lahir prematur.  ed: Andri Saubani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement