Jumat 27 May 2016 17:00 WIB

ICW: Diskresi Ahok Tabrak Hukum

Red:

 

Antara/Reno Esnir               

 

 

 

 

 

 

 

 

JAKARTA -- Langkah Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok melakukan perjanjian dengan pengembang swasta terkait kontribusi tambahan dengan menggunakan hak diskresi dipermasalahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Fariz mengatakan, Ahok tidak bisa melakukan diskresi melalui tindakan sewenang-wenang dalam proyek pulau reklamasi. Karena, kalau hal itu diteruskan, kata dia, dapat berdampak buruk pada pemerintahan di daerah lainnya.

"Tentu, setiap tindakan pemerintah itu harus ada dasar hukumnya. Tindakan preman atau perjanjian preman itu kan bisa berarti negatif dan positif," jelas Donal saat dihubungi Republika, Kamis (26/5).

Donal mengatakan, jika tindakan diskresi menarik dana kontribusi tambahan kepada perusahaan dianggap tidak apa-apa, nanti bisa diikuti kepala daerah lainnya. Dengan begitu, nantinya bisa jadi banyak kepala yang memanfaatkan hak diskresi untuk memperkaya diri sendiri atau kelompok dengan meminta kepada perusahaan. Karena itu, ia mengingatkan Ahok untuk tidak bisa seenaknya menafsirkan aturan sesuai kehendaknya.

"Bayangkan kalau justru ada tindakan yang diikuti oleh kepala-kepala daerah yang lain? Memungut sesuatu, tetapi kemudian memanfaatkan pihak swasta dalam memperkaya dirinya sendiri dan orang lain. Ini kan sebuah pelanggaran hukum tentunya," jelasnya.

Donal menegaskan, hak dikresi Ahok yang memungut dana ke perusahaan pemilik izin reklamasi tidak memiliki landasan hukum. Seharusnya, kata dia, KPK bisa melihat tindak pidana korupsi atas proyek reklamasi tersebut. Dia melanjutkan, KPK dapat menelusuri juga apakah Ahok telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan maksud untuk memperkaya diri atau orang lain dalam proyek reklamasi tersebut.

"Dari kasus kontribusi tambahan ini tentu alat yang akan diverifikasi tentu apakah Ahok akan menerima manfaat atau ada upaya untuk meminta kontribusi tambahan kepada pihak swasta. Itu yang akan dielaborasi oleh KPK," jelasnya.

Menurut Donal, KPK mesti mencari tahu adanya pihak tertentu yang diuntungkan oleh Ahok dalam penerbitan izin reklamasi di Teluk Jakarta. Karena, tidak mungkin izin yang diberikan itu tak menguntungkan pengembang swasta.

"Itu yang menjadi unsur yang harus paling dicari oleh KPK. Kalau saja dia tidak menguntungkan diri sendiri atau orang lain tentu ini hanya akan berujung pada stagnasi. Tapi, kalau sebaliknya, tentu ini bisa menjadi jalur pidana," ucapnya.

Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riadmadji mengatakan, sebenarnya kepala daerah memiliki hak diskresi dalam membuat kebijakan. Hanya saja, ia mengingatkan, diskresi diperbolehkan untuk dilakukan jika ada kaitannya dengan persoalan membuat inovasi dengan tetap berada dalam koridor aturan berlaku.

Menurut Dodi, jika kepala daerah menggunakan hak diskresi dan kemudian menghasilkan keuntungan maka keuangan harus dimasukkan ke dalam APBD. Dalam kasus Ahok, ia mengingatkan, dana yang diberikan pengembang swasta harus tercatat sebagai pemasukan Pemprov DKI.

"Seperti itu sebenarnya artinya diskresi diberikan kepada seorang kepala daerah itu untuk mewadahi kreativitas, mewadahi inovasi. Lalu, kemudian, tidak bisa menabrak-nabrak hukum. Kira-kira kayak gitu lah," kata Dodi.

Dodi tidak ingin berbicara lebih jauh terkait diskresi Ahok yang cacat hukum yang saat ini dipermasalahkan KPK. Dia tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah dengan menunggu putusan dari penyidik KPK. Meski begitu, Dodi menegaskan, kalau Ahok dibenarkan menarik kontribusi tambahan, nanti akan dijadikan dasar kepala daerah lain untuk melakukan tindakan pengutan ke perusahaan swasta.

Dodi mengatakan, sebenarnya setiap kepala daerah menghadapi konteks berbeda-beda dan tidak bisa begitu saja mengikuti langkah Ahok. "Ooo… tidak bisa (mencontoh Ahok). Setiap daerah itu kan memiliki persoalan yang berbeda-beda, sehingga penggunaan diskresi yang diberikan itu sesuai dengan konteks daerah masing-masing. Misalnya begini, kalau dia di Jakarta melakukan seperti itu, kemudian di Papua seperti apa, apakah seperti itu juga?"

Secara spesifik, Dodi menilai, sepanjang ada kesepakatan dengan perusahaan swasta dan laporan keuangannya benar-benar tercatat dalam kas Pemprov DKI, langkah Ahok itu tidak menjadi masalah. Tapi, menjadi persoalan hukum kalau dana itu digunakan untuk kepentingan lain dan tidak masuk APBD DKI 2016. Karena itu, pihaknya kini menunggu proses hukum yang dilakukan KPK untuk menelusuri aliran dan pertanggungjawaban dana itu. "Kalau diambil itu tidak boleh karena itu pasti oleh penegak hukum kena," ujar Dodi.

Anggota Komisi D DPRD DKI Prabowo Soenirman mempertanyakan kewenangan diskresi yang dijadikan alasan Ahok untuk menetapkan nilai kontribusi tambahan bagi perusahaan pemegang izin reklamasi. Dia berharap, diskresi semacam itu tidak ditiru daerah lain karena bisa dijerat hukum.

Prabowo heran dengan sikap Ahok yang berlindung di bawah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan yang baru terbit pada September 2014. Padahal, ketika Ahok menggelar rapat bersama pengembang reklamasi pada Maret 2014, baru diputuskan pengenaan kontribusi tambahan. Sehingga, ia menilai, kewenangan diskresi yang dijalankan Ahok tak bisa dipertanggungjawabkan.

"Dasar hukumnya apa sampai dia bilang tidak ada yang salah? Ini jangan jadi satu percontohan bagi provinsi lain dan daerah-daerah lain ya," kata politikus Partai Gerindra itu.

Prabowo malah menuding Ahok selama ini bertindak sendiri dengan tidak pernah berkonsultasi dengan DPRD DKI yang memiliki fungsi pengawasan kepada Pemprov DKI. Karena itu, jika Ahok menetapkan keputusan berdasarkan diskresi, tentu itu dilakukan tanpa sepengetahuan DPRD.

"Coba kalau semua dilakukan, dampaknya kan DPRD tidak akan ada gunanya. Bayangkan kalau DPRD tidak tahu semua yang dikerjakan oleh Pak Gubernur, bagaimana mengawasinya? Kalau semua dikerjakan secara diskresi tadi, DPRD kan tidak dilibatkan," ujarnya.

Sebelumnya, Ahok mengaku heran dengan kemelut kontribusi tambahan sebesar 15 persen yang diterapkannya kepada pengembang swasta. Dia merasa, seharusnya pengembanglah yang keberatan dengan kebijakan itu ketimbang DPRD. Ahok juga merasa keputusannya itu sudah benar dan tak perlu digugat.

"Sekarang, saya tanya kalau kamu (pengembang reklamasi) sudah sepakat berjanji dengan saya, seharusnya yang keberatan itu pengusaha atau DPRD? Saya kan buat perjanjian sama Anda, soal Kalijodo, tahu-tahunya meledak sampai Rp 30 miliar sampai Rp 40 miliar. Yang keberatan pengusaha dong," kata Ahok.    rep: Muhyiddin, Rizky suryarandika, ed: Erik Purnama Putra

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement