Selasa 21 Apr 2015 17:38 WIB

Simulakra, Pertemuan Dunia Nyata dan Maya

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID,  Alunan suara saluang menggambarkan kesedihan saat menyaksikan pertunjukan tari yang bertajuk “Simulakra” di Auditorium Galeri Indonesia Kaya, Jakarta Pusat, Sabtu (18/4). Dari atas panggung, tampak kelebatan bayangan perempuan berbaju putih sedang menari dengan tarian tradisi Minang, tari piring.

Gerakan sang penari, Lora Vianti, di Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang tersebut diikuti oleh Mugiyono Kasido yang menari langsung di atas panggung Galeri Indonesia Kaya. Di atas panggung yang sama dengan Mugiyono Kasido, Mila Rosinta yang berbaju merah menyala menari seraya menggeliatkan tubuhnya. Tak lama kemudian, I Wayan Adi Gunarta di Bali pun merespons tarian Mila dengan gerakannya yang khas dengan tradisi Bali.

Pementasan tari ini cukup membuat penonton terkesima. Panggung disulap sedimikian rupa agar para penari di tiga tempat berbeda dapat bertemu dalam medium gerak. Pementasan Simulakra memang mengaplikasikan sistem telepresensi video call dan teknik holografis pepper's ghost untuk menghadirkan penari yang berada di tempat yang saling berjauhan. Dua penari dalam dunia maya ini dipertemukan dan berinteraksi dengan tiga penari nyata dalam wujud citra tiga dimensi.

Koreografer sekaligus penggagas pertunjukan tari Simulakra, Martinus Miroto, awalnya terinspirasi dari pengalaman pribadinya berkomunikasi pada masa kini dengan menggunakan teknologi cyberspace yang semakin maju. Fakta kemajuan teknologi menantang pria yang kerap disapa Miroto ini untuk merespons teknologi itu sendiri. Ia kemudian mencoba menggunakan sistem telepresensi untuk keperluan berekspresi di dunia seni tari.

Seperti tari-tari lain yang memiliki alur cerita dalam setiap adegan geraknya, Miroto juga menampilkan 'Simulakra' dengan alur cerita yang tidak linier dan terkesan acak. Menurut Miroto, yang menjadi konsep tema dalam karya ini, yaitu makna tentang pengalaman keberadaan yang sekaligus juga keabsenan.

Miroto mencoba mengulik bagaimana sejatinya pengalaman hidup antara dunia nyata dan maya. Dalam dunia maya, seperti Facebook atau Skype, biasanya yang muncul adalah perasaan jauh tapi dekat, perasaan ada tapi tiada, hadir tapi absen, perasaan nyata, tetapi maya.

Perasaan-perasaan itu didiskusikan dan dibagi kepada teman-teman. Kemudian, muncullah koreografi, puisi, tembang, dan berbagai produk seni. Lalu, setelah keseluruhannya itu disambung, maka yang muncul kemudian adalah perasaan cinta, cinta yang jauh, tapi dekat.

“Apakah perasaan itu hanya bisa dialami ketika memasuki dunia maya, atau sebenarnya ketika dalam dunia nyata kita sering mengalami keberadaan kita dalam keabsenan,” kata Miroto.

Istilah tiga dimensi dalam dunia tari bukanlah hal baru. Pada 1996, sebuah model pertunjukan tari yang dikenal dengan digital performance atau digital koreografi pernah dilakukan sebuah grup tari di Jepang. Namun, yang baru bagi Miroto dalam pengalaman ini adalah teknik teleholografi. Sejumlah penari yang tampil di daerah berbeda bisa dihadirkan dalam satu pertunjukan bersama-sama, seperti yang dia praktikkan dalam Simulakra.

Pertunjukan digital memang memberikan hasil lebih bagus karena dibantu pencahayaan yang sudah diatur sedemikian rupa. Namun, bagi Miroto, teleholografi lebih manusiawi dibandingkan dengan pertunjukan digital yang menggunakan teknik rekaman. Berbeda dengan pertunjukan digital, ada ruang negosiasi dan komunikasi yang terjalin antarpenari yang berekspresi menggunakan teknik teleholografi.

“Ini pengalaman baru bagi kami dalam seni tari,” kata Miroto. Teknologi teleholografis ini baru pertama kalinya diaplikasikan di Indonesia. Pendekatan ini memungkinkan penonton menyaksikan penari virtual dalam satu tempat dan waktu.  c16 ed: Erdy Nasrul

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement