Senin 05 Jan 2015 16:29 WIB

Rekreasi ke Kota Tua

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, Dewasa ini Kota Tua dan sekitarnya makin banyak diminati pengunjung. Seperti pada malam pergantian tahun yang baru lalu. Begitu banyaknya pendatang, hingga Wakil Gubernur DKI H Djarot Saeful Hidayat keesokan harinya turut bergabung dengan petugas kebersihan untuk membersihkan sampah di halaman muka Museum Jakarta di Jalan Fatahillah, Jakarta Barat.

Museum ini telah berusia sekitar tiga abad dan pernah dikagumi Ratu Elizabeth ketika pada 1970-an berkunjung ke Indonesia. Beliau diperkenalkan dengan museum ini oleh Gubernur Ali Sadikin.

Di museum ini banyak kita dapati benda-benda bersejarah, terutama sejak masa VOC. Museum berlantai tiga ini pernah menjadi tempat tahanan sementara bagi pejuang Pangeran Diponegoro dan Tjut Nyak Dien selama beberapa waktu itu sebelum mereka diasingkan.

Yang paling banyak menarik perhatian di museum yang pernah ditempati sebagai Balai Kota Batavia adalah penjara bawah tanah. Penjara itu dilapisi tembok-tembok dan batu-batu sebesar bola kaki untuk mengikat pergelangan kaki para narapidana.

Dalam sejarahnya, hanya seorang tawanan yang berhasil meloloskan diri, yaitu Untung Surapati, seorang budak dari Bali yang kemudian menjadi pahlawan nasional. Budak belian ini berhasil meloloskan diri berkat bantuan Suzana di tempat ia bekerja yang jatuh cinta dengan budak berwajah tampan.

Di sekitar museum, yakni di Jalan Kali Besar yang diapit dua jalan besar, Kali Besar Timur dan Kali Besar Barat, mengalir Kali Ciliwung hingga ke Pelabuhan Sunda Kalapa. Belanda kemudian menjadikannya pelabuhan penting. Juga, Sunda Kalapa oleh VOC dijadikan sebagai pusat perdagangan, militer, dan pemerintahan. Dari pelabuhan yang berada di Teluk Jakarta inilah VOC mengirimkan hasil rempah-rempah ke berbagai negara.

Dahulu di depan museum terdapat tiang gantungan untuk mengeksekusi mereka yang dihukum mati. Di antara mereka terdapat Oey Tambah Sia, seorang playboy dan juga penjahat.

Bang Puase, jagoan Kwitang yang dituduh menjadi pembunuh Nyai Dasima, juga dipancung di tempat ini.

Beberapa waktu lalu di sana, kita masih dapat melihat apa yang disebut “pedang keadilan” yang panjangnya sekitar satu meter yang digunakan untuk memancung  mereka yang dijatuhi hukuman mati. Dinas Museum dan Sejarah DKI juga menetapkan gedung-gedung dan kantor di Jalan Kali Besar Timur dan Kali Besar Barat sebagai cagar budaya yang bagian luarnya tidak boleh diubah.

Di kedua jalan Kota Tua Jakarta ini banyak gedung peninggalan sejarah yang berusia di atas 100 tahun. Pada 1869 ketika Terusan Suez di Mesir dibuka, yang memperpendek jarak hubungan laut antara Eropa dan Asia, banyak yang menghawatirkan kantor-kantor di Kali Besar akan tutup.

Alasannya karena Pelabuhan Sunda Kalapa yang semakin dangkal dipindahkan ke Tanjung Priok. Tapi, nyatanya, sekitar 80-an perusahaan yang beroperasi di Kota Tua tetap jalan. Di antara perusahaan sebanyak itu ada yang bergerak dalam bidang perkapalan dan angkutan, perbankan, ekspor dan impor, serta jasa.

Di antara gedung tua yang bersejarah terdapat Gedung Merah yang pernah ditempati oleh perusahaan ekspor impor Jakarta Lloyd. Juga di sekitar sini masih kita dapati gedung Bank Mandiri yang pernah menjadi rumah sakit umum dan gedung Chartered Bank yang masih tampak megah meski sudah berusia mendekati satu abad.

Meski keasliannya di bagian depan tidak boleh diubah, Pemprov DKI Jakarta memberikan kesempatan untuk yang berminat membangun tempat-tempat wisata, pertokoan, dan restoran serta hotel-hotel. Juga boleh dibangun tempat-tempat hiburan dan galeri.

Batavia yang dibangun oleh JP Coen setelah menaklukkan Jayakarta merupakan kota jiplakan Amsterdam di negeri Belanda yang dialiri oleh Sungai Amstel. Kota yang awalnya dikelilingi oleh tembok-tembok pertahanan juga merupakan kota Garnizun.

Batavia kala itu jalan-jalan dibangun lebar-lebar dan lurus saling menyilang dengan banyaknya kanal-kanal yang kiri kanannya berupa pohon-pohon rindang. Jalan utama yang menjadi sumbu Kota Batavia adalah Prinsenstraat (kini Jalan Cengkeh) dan menjadi kawasan kumuh.

Pada masa Belanda sebelum Marsekal Herman Daendels (1811) memindahkan  kota ke selatan, kawasan Kota Tua disebut Batavia Centrum. Sedangkan, Kota Baru sekitar Harmoni,  Lapangan Banteng, dan Gambir disebut Weltevreden. oleh: alwi shahab ed: dewi mardiani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement