Jumat 28 Nov 2014 11:00 WIB

Belajar Mencintai Budaya Sendiri Sejak Dini

Red:

Derasnya arus informasi mancanegara yang masuk ke Indonesia telah membawa budaya asing yang memengaruhi perubahan budaya masyarakat. Secara perlahan tetapi pasti rasa cinta maupun pemahaman terhadap budaya tradisional mulai luntur terutama di kalangan generasi muda. Tergantikan oleh budaya Barat yang tidak seluruhnya sesuai dengan norma etika bangsa Indonesia.

Secara perlahan kemajuan ini mampu mengikis kesadaran masyarakat dalam mencintai seni budaya tradisional. Padahal, kesenian tradisional merupakan bagian dari kebudayaan yang menjadi ciri sebuah bangsa dan patut dijaga kelestariannya.

Budayawan Jose Rizal Manua menjelaskan, budaya asing, khususnya dari Barat, berhasil memengaruhi pelajar Indonesia. Itu terlihat dari kamar pribadi hingga ruang-ruang privasi mereka yang dihinggapi budaya luar negeri. Budaya asing yang serbainstan tersebut akhirnya mampu menggantikan budaya tradisional yang seharusnya dipegang teguh para pelajar.

Untuk membentengi perkembangan budaya luar, pendidikan seni dan budaya sejak usia dini wajib diberikan kepada setiap pelajar. Hakikat manusia adalah mencerna dan mengingat apa yang mereka kerjakan untuk pertama kali dan terus berulang. Layaknya belajar berdiri dan berbicara bagi seorang balita, pelajar muda baik sejak PAUD maupun sekolah dasar alangkah bagusnya mulai diperkenalkan seni dan budaya negaranya sendiri.

Dengan pembekalan sejak dini, para penerus bangsa ini diharap mampu membentengi diri mereka guna menghidupkan kesenian dan kebudayaan tradisional. "Kita mempunyai sejarah yang amat kuat dalam hal tradisi, seni dan kebudayaan yang harus dijaga," ujar Jose.

Salah satu cara untuk menerapkan seni budaya di tubuh para penerus bangsa yaitu memperbanyak pelajaran mengenai hal ini di sekolah. Seniman teater ini juga menilai  kurikulum yang dibangun pemerintah masih kurang dalam mempertahankan nilai seni budaya tradisional. Lebih banyak memakan porsi teori ketimbang praktik sehingga belum membuahkan hasil maksimal.

Selain itu masih minimnya sosok guru yang mempunyai visi dan misi dalam mempertahankan seni budaya bangsa. Hal itu menjadi salah satu penyebab anak muda Indonesia tak begitu peduli terhadap  budaya tradisional.

Kurikulum sekolah

Susilo Adinegoro, ketua Yayasan Anak Akar Indonesia, juga menjelaskan peran kurikulum yang diterapkan pada pendidikan sangat berpengaruh terhadap erosi seni budaya tradisional. Pendidikan dasar maupun menengah hanya menekankan prestasi di bidang akademik. Masih jarang kegiatan yang disengaja diadakan untuk menilai kelihaian seni budaya di sekolah masing-masing.

Bahkan, sedikit sekali lembaga pendidikan formal yang menghidupkan seni budaya. Orang tua siswa yang memang mempunyai latar belakang seni memilih untuk menyekolahkan anak mereka di sanggar-sanggar kesenian.

Selain kurikulum pendidikan di sekolah, para orang tua kecuali mereka yang berlatar belakang seni, kurang memberikan pengetahuan seni budaya kepada sang anak. Masih jarang ditemukan orang tua yang menginginkan anaknya kelak menjadi seorang penari, dalang, dan ahli seni lainnya. Mereka merasa derajat keluarga akan lebih terangkat ketika anak-anaknya menjadi seorang dokter atau ilmuan eksakta. Warga sendiri tidak meregenarisakan seni budaya melalui berbagai kegiatan, mereka tidak menciptakan kebiasaan. "Jadi jika seni budaya kita akan habis," tutur Susilo.

Peneliti dan konsultan pendidikan Doni Koesoema bahkan berpendapat jika sistem kurikulum mengenai seni budaya seharusnya segera direvisi. Di sekolah dasar dalam pelajaran kesenian, murid kebanyakan hanya diajarkan melukis dan membuat prakarya saja. Sedangkan, untuk ekstrakurikuler, mereka kurang banyak mempraktikkan budaya daerah masing-masing.

Padahal, untuk meningkatkan minat murid dalam seni budaya, akan lebih baik bila setiap sekolah di setiap daerah memberikan mata pelajaran yang terkait dengan kekhasan budaya di daerah tersebut. Misalkan di daerah Jawa, murid diajarkan memainkan wayang dan menjadi dalang. Atau di kawasan DKI Jakarta mengembangkan budaya Betawi. Dari hal sekecil itu, murid diharap semakin mengenal budaya tradisional meski baru terpaku pada daerah sendiri.

Bagi guru seni, mereka juga seharusnya diberikan keleluasaan untuk memberikan pengajaran seni budaya. Meski harus melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan setempat, tetapi guru seni baiknya mengajarkan berbagai kesenian bukan hanya mengikuti program kurikulum yang diberikan pemerintah pusat dan daerah.

Efek media massa

Pola pendidikan di Indonesia hingga saat ini memang belum mampu mendorong para penerus bangsa bangga dengan seni budaya mereka sendiri. Hasilnya kesenian dan budaya tradisional semakin hari semakin menipis. Tapi di balik itu semua, efek perkembangan teknologi, khususnya media massa elektronik menjadi faktor penunjang para pelajar kehilangan keinginan untuk belajar lebih dalam mengenai seni budaya.

Berbagai stasiun televisi nasional maupun lokal lebih banyak mengusung acara hiburan yang mengacu pada budaya asing. Mulai dari musik, film, hingga program anak kecil tak banyak menyentuh nilai seni dan budaya lokal. Tak mengherankan bila akhirnya pola perkembangan anak saat ini lebih mengacu kepada budaya luar.

Padahal, budaya Timur banyak mengajarkan arti gotong royong, keselarasan, hingga toleransi tinggi. Bersinggungan dengan budaya luar yang lebih terbuka dan lebih banyak mengandalkan kerja keras untuk diri sendiri. "Setiap hari tayangan televisi menyerang otak anak-anak, mereka lebih banyak mendapatkan sisi negatif dari tayangan tersebut," tutur Susilo.

Selain itu, semakin minimnya sarana lahan untuk bermain anak juga disebut menjadi faktor yang membuat mereka kesulitan mengenal seni dan budaya sendiri. Ini juga membuat pemahaman mereka terhadap budaya maupun seni lokal menjadi berkurang. n c56 ed: hiru muhammad

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement