Kamis 07 Aug 2014 12:00 WIB

Berwisata di Wilhelmina Park

Red:

Setelah Lebaran, kini giliran tempat-tempat wisata di Jakarta didatangi wisatawan, terutama pada Sabtu dan Ahad. Jakarta, sejak masih bernama Batavia oleh pemerintah kolonial, banyak dibangun tempat-tempat wisata berupa gedung-gedung hiburan dan taman-tamana luas yang disebut park. Salah satu yang terkenal adalah Wilhelmina Park yang kini menjadi lokasi Masjid Istiqlal, masjid termegah di Asia Tenggara.

Wilhelmina Park dibangun untuk mengabadikan nama Ratu Wilhelmina yang lahir 31 Agutus 1898. Dia adalah ibu dari Ratu Juliana dan nenek Ratu Beatrix. Selama empat generasi, Belanda tidak memiliki raja dan diperintah oleh seorang ratu.

Ratu Wilhelmina hari kelahirannya diperingati dengan meriah di Jakarta ketika masih bernama Batavia. Untuk menghormatinya sebuah gedung dan taman diberi nama Wilhelmina Park. Masih untuk menghormatinya, saban tahun di Jakarta diadakan kegiatan Pasar Malam di Lapangan Gambir (kini Monas), yang selanjutnya disebut Pasar Gambir. Pasar Gambir berlangsung selama dua pekan, mulai 1920. Pasar ini terhenti sejak masa pendudukan Jepang (1942-1945).

Tapi, nama Pasar Gambir tetap melekat dimasayrakat, terutama berbagai hiburannya yang diisi berbagai atraksi termasuk para artis terkenal kala itu seperti Rukiah dan suaminya Kartolo, Miss Dja, yang kemudian memimpin sandiwara dan teater keliling nusantara dan luar negeri.

Sukses Pasar Gambir ini setelah bertahun-tahun terhenti akibat pendudukan Jepang, kemudian diteruskan Gubernur Ali Sadikin. Terinspirasi dengan sukses Pasar Gambir, hanya beberapa tahun setelah ia dilantik (1966), Ali Sadikin pun membuka Jakarta Fair di tempat yang sama. Begitu suksesknya Bang Ali dengan  Jakarta Fair hingga berlangsung lebih dari satu bulan.

Wilhelmina Park sebelum pendudukan Jepang merupakan taman yang luas seluas seluruh bagian masjid Istiqlal sekarang. Taman ini penuh dengan pepohonan rindang. Terutama pohon kenari. Wilhelmina Park dinamakan 'Gedung Tanah' dan orang Betawi menyebutnya Gedung Tane.

Disebut demikian karena masyarkat meyakini jika di bawah tanah dibangun 'gedung' oleh Belanda, yaitu sebuah bunker lengkap dengan terowongannya. Dipakai untuk kepentingan militer dan tembus sampai ke pelabuhan Pasar Ikan. Menurut cerita, bila ada bahaya di Batavia, pasukan Belanda bisa memasuki terowongan untuk kemudian melarikan diri dengan kapal.

Tapi sejauh ini, belum dapat dibuktikan keberadaan terowongan ini karena gedungnya sudah tertutup tanah. Yang jelas, ketika Wilhelimna Park dibongkar untuk membangun Masjid Istiqlal, diperlukan berbulan-bulan untuk menghancurkannya dengan dinamit oleh pasukan Arteleri ABRI.

Di sebelah utara gedung Taneh ada dua bioskop kelas I masing-masing Capitol yang saling berhadapan dengan Bioskop Astoria. Saya sering nonton di Astoria karena satu-satunya bioskop di Jakarta yang main pada pagi hari hingga ada kesempatan untuk membolos sekolah.

Dinding Bioskop Capitol yang kini jadi pertokoan, berbatasan dengan Kali Ciliwung, dipenuhi oleh tukang binatu (dobi). Usaha ini memerlukan tenaga yang kuat karena pakaian harus dibanting ke papan-papan penggilasan atau ke dinding kali.

Sampai 1950, suasana Kota Jakarta masih sepi. Hawanya teduh dan udaranya bersih. Tentu saja hampir tidak dikenal polusi yang sekarang ini penuh dengan asap motor dan mobil. ep:alwi shahab ed: karta raharja ucu

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement