Kamis 22 May 2014 13:11 WIB

Sekilas Sore di Taman Waduk Pluit

Red:

Rendahnya budaya bertaman masyarakat menjadi tantangan terbesar keberlanjutan taman-taman di Jakarta

Sabtu sore, 17 Mei, Jakarta Utara berpayung langit kelabu. Gerimis kemudian turun membubarkan orang-orang yang sedang beraktivitas santai di Taman Waduk Pluit. Sebagian merapat ke bawah pohon, sisanya berhamburan ke tenda-tenda.

Sejumlah tenda memang sengaja didirikan di sana ketika itu. Satu acara bertema lingkungan akan di gelar pada malam harinya. Kehadiran Republika di taman urban itu pun tak lepas dari undangan panitia kegiatan tersebut.    

Beruntung, gerimis tak lantas menjadi hujan. Orang-orang kembali keluar dari tempat bernaung mereka. Ada yang berjalan-jalan, ada yang memilih duduk di bangku-bangku taman.

Benar, seperti banyak diberitakan, kawasan yang dulu kumuh itu kini begitu asri. Taman seluas 10 hektare itu menyuguhkan pemandangan lain dari Ibu Kota. Hamparan Waduk Pluit terbentang luas berlatar gedung-gedung pencakar langit. Sejenak kita diajak bernapas lega melupakan sesaknya Kota Jakarta.

Seiring tumbuh dan merimbunnya pepohonan yang ditanam, ruang terbuka publik itu niscaya akan semakin asri. Apalagi, jika instalasi pengolahan air limbah yang tengah dibangun bisa menjernihkan air waduk.

Namun, benar apa yang sering dikatakan Nirwono Joga, pegiat lingkungan komunitas Peta Hijau, rendahnya budaya bertaman masyarakat menjadi tantangan terbesar keberlanjutan taman-taman di Jakarta.

Seperti kami saksikan, masih ada saja mereka yang meninggalkan botol-botol plastik wadah minuman di bangku taman. Sebagian orang kami lihat berjalan menginjak rumput tanpa terlihat merasa bersalah.

Tak seperti taman-taman di pusat kota yang umumnya dipenuhi wajah muda-mudi necis, pengunjung Taman Waduk Pluit memang terlihat didominasi warga dari kampung-kampung sekitar. Perubahan lansekap di area tersebut, dari kumuh menjadi asri, agaknya masih menyisakan gegar budaya di kalangan warga. Tanpa mengurangi rasa hormat, pemerintah tentu harus lebih gencar mengampanyekan aturan main hidup bertaman kepada mereka.

Dua titik pintu masuk, di barat dan utara juga sudah mulai ramai dipenuhi pedagang kaki lima. Dari pedagang rokok, hingga penjaja satai lengkap ada di sana. Keramaian dan PKL memang sepertinya sudah menjadi dua sisi mata uang di negeri ini.

Persoalan mulai kami lihat dari ekses keberadaan mereka. Para pedagang itu tampak tak hirau dengan taman yang menghidupi mereka itu. Para pedagang itu menggelar karpet dari terpal di atas rerumputan. Hal yang jelas mengancam kehidupan rumput di sana.

Menjelang petang, kami singgah di area PKL berharap mendapat satu dua informasi. Sekadar basa-basi, kami memesan burger yang dijual seorang bapak berusia 50 tahunan. Lelaki yang kemudian diketahui bernama Ali itu mengaku berasal dari Pemalang, Jawa Tengah. Ali mengaku, sudah menjadi penjaja burger gerobak sejak 20 tahun lalu.

Kata dia, sebelumnya dia biasa berkeliling menjajakan dagangannya di kampung-kampung sekitar. Dibangunnya Taman Waduk Pluit membuat dia bersyukur karena tak harus lagi berkeliling mengayuh gerobak burgernya.

Sejak pertengahan tahun lalu, Ali memulai peruntungannya di taman itu. Menurut Ali, para pedagang makanan berat akan mulai merapat menjelang sore dan bertahan hingga tengah malam. Karena, pada waktu-waktu tersebut utamanya taman ramai dikunjungi.

Sambil berbagi cerita, kami menikmati burger buatan Ali. Burger sederhana seharga Rp 7.000 itu berisi irisan tipis daging olahan, daun selada, mentimun, dan dibubuhi sedikit saus dan mayones. Lumayan mengganjal perut menghadapi lembapnya udara Jakarta sore itu. n c54 ed: dewi mardiani

sumber : http://pusatdata.republika.co.id/detail.asp?id=737603
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement