Jumat 05 Feb 2016 17:00 WIB

Jepang Mitra Utama

Red:

 

Oleh Rakmat Hadi Sucipto

 

Bagi Indonesia, Jepang men jadi mitra strategis dalam transaksi perdagangan mau pun investasi. Pada beberapa tahun terakhir, Jepang men jadi mitra dan sekaligus pasar utama ekspor Republik Indonesia (RI).

Pada periode Januari-November 2015 saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Perdagangan, Jepang menjadi negara terbesar ketiga yang memberikan surplus neraca perdagangan bagi Indonesia dengan nilai 4,2 miliar dolar AS setelah India (8,3 miliar dolar AS), dan Amerika Serikat (7,95 miliar dolar AS). Bah kan, pada 2014 nilai surplusnya lebih besar lagi, mencapai 5,5 miliar dolar AS. Artinya, hubungan dagang RI dengan Jepang sangat menguntungkan.

Meski demikian, RI perlu segera berbenah karena nilai surplus neraca perdagangannya dengan Jepang menunjukkan tren menurun. Pada 2010, RI mencatat surplus neraca perdagangan sebesar 8,8 miliar dolar AS dengan Jepang. Lalu, setahun berikutnya angka surplusnya melejit menjadi 14,2 miliar dolar AS. Sayangnya, pada 2012 angka surplus dari Jepang merosot nyaris setengahnya menjadi 7,4 miliar dolar AS.

RI mampu mempertahankan tren positif dalam menjalin kemitraan dengan Jepang. Surplus perdagangan Indonesia dengan Jepang naik tipis menjadi 7,8 miliar dolar AS pada 2013. Tapi, lagi-lagi RI lengah sehingga terjadi penurunan surplus menjadi 6,1 miliar dolar AS pada 2014. Diperkirakan sepanjang 2015, RI hanya mencatat surplus di bawah 5,0 miliar dolar AS dari Jepang.

Berdasarkan data yang dirilis Japan External Trade Organization (JETRO), surplus neraca perdagangan barang RI dari Jepang lebih besar ketimbang data dari BPS maupun Kementerian Perdagangan RI. Sebagai contoh, surplus neraca perdagangan minyak dan gas (migas) serta nonmigas Indonesia dari Jepang pada 2011 sesuai data JETRO mencapai 16,2 miliar dolar AS, tetapi data BPS menyebut 14,3 miliar dolar AS.

Pada 2012, JETRO menyebut RI menda pat kan surplus perdagangan sebesar 12,0 mi liar dolar AS, sementara BPS menyebut surplusnya 7,4 miliar dolar AS. Terjadi selisih ang ka yang sangat besar antara data JETRO dan BPS.

Surplus perdagangan RI menembus 11,9 miliar dolar AS pada 2013 sesuai data JETRO. Tapi, BPS menyebut nilainya 7,8 miliar dolar AS. Kemudian, pada 2014 JETRO mengumumkan Indonesia mendapatkan surplus 10,9 miliar dolar AS pada 2014, sementara BPS menyatakan angka surplus RI dari Jepang mencapai 6,1 miliar dolar AS. JETRO menyebut angka surplus RI dari Jepang pada 2015 turun menjadi 8,3 miliar dolar AS. Kemungkinan besar, angka versi BPS maupun Kementerian Perdagangan di bawah 5,0 miliar dolar AS karena sepanjang Januari- November 2015 surplusnya hanya menyentuh angka 4,2 miliar dolar AS.

Terlepas dari perbedaan data tersebut, Indonesia benar-benar meraih keuntungan besar dari transaksi perdagangannya dengan Jepang. Bila pemerintah bisa berbenah diri, tak mustahil RI bisa kembali menggenjot pertambahan kontribusi produk domestik bruto (PDB) dari nilai ekspor yang besar ke Jepang.

Dibandingkan dengan sesama negara anggota ASEAN lainnya, Indonesia menempati urutan kedua setelah Malaysia sebagai negara yang paling banyak meraih keuntungan kerja sama perdagangan dengan Jepang. Indonesia mampu meraih surplus neraca perdagangan sebesar 8,3 miliar dolar AS di bawah Malaysia yang berada pada posisi pertama dengan total nilai surplus mencapai 9,6 miliar dolar AS.

Pada 2015, ekspor barang Indonesia ke Jepang bernilai 19,8 miliar dolar AS, sedangkan nilai impornya 11,6 miliar dolar AS. Bila dilihat dari total nilai ekspor, Indonesia berada pada urutan ketiga setelah Malaysia (21,6 miliar dolar AS) dan Thailand (20,4 miliar dolar AS). Namun, Thailand mengalami defisit neraca perdagangan dengan Jepang karena nilai impornya sangat tinggi, mencapai 28,0 miliar dolar AS. Bahkan, nilai impor Thailand dari Jepang tertinggi dibandingkan negara ASEAN lainnya.

Nilai surplus neraca perdagangan RI de ngan Jepang di atas rata-rata surplus ASEAN sebesar 3,2 miliar dolar AS pada 2015. Singa pura menjadi negara paling banyak mencatat defisit, mencapai 11,96 miliar dolar AS. Negara lain yang mengalami defisit adalah Thailand, Filipina, Myanmar, dan Laos.

Pemerintah mengakui selama ini ada ketidakteraturan dan ketidakakuratan data. Ini terjadi hampir di seluruh departemen atau instansi pemerintah. "Data yang tidak beres membuat kita bingung juga dalam membuat kebijakan," jelas Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, beberapa waktu lalu, mengakui kelemahan yang terjadi di lini pemerintah.

Menteri Koordinator Bidang Perekono mian Darmin Nasution mengakui masalah data masih berantakan. Ini terjadi karena wa risan yang turun-temurun sejak lama. Ironis nya, belum ada upaya optimal dari pemerintah untuk memperbaiki data ekonomi nasional. Padahal, data yang akurat dan valid sangat penting, apalagi bila ingin bersaing dalam pasar global. "Barang saja kita tidak punya record yang baik, apalagi jasa. Banyak yang lebih nggak jelas," ungkap Darmin.

Lalu, bagaimana hubungan Indonesia dengan Jepang dari sisi investasi? Tentu Indonesia berharap negara ini tetap menjadi sumber utama penanaman modal asing (PMA). Berdasarkan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), sepanjang 12 bulan 2015, Jepang menempati posisi ketiga dalam daftar jumlah realisasi nilai PMA tertinggi di Indonesia dengan nilai total mencapai 2,9 miliar dolar AS atau 9,8 persen dari total nilai PMA sebesar 29,3 miliar dolar AS.

Nilai investasi tersebut untuk mendanai 2.030 buah proyek dan mampu menyerap 115.400 tenaga kerja. BKPM menyebut kontribusi utama investasi Jepang masih didominasi sektor manufaktur, khususnya sektor otomotif, elektronika dan permesinan, serta sektor kimia dan farmasi.

Komitmen investasi Jepang pada 2015 nilainya mencapai 8,1 miliar dolar AS atau meningkat 95 persen dari tahun sebelumnya. Komitmen ini berada pada peringkat ketiga teratas dari daftar negara sumber komitmen investasi. Komitmen terbesar berasal dari Cina sebesar 22,2 miliar dolar AS atau naik 42 persen dibandingkan periode sama 2014. Singapura menyusul, dengan nilai komitmen naik 69 persen menjadi 16,3 miliar dolar AS. Korea Selatan di bawah Jepang juga mencatatkan kenaikan komitmen investasi hingga 86 persen menjadi 4,8 miliar dolar AS.

Dalam enam tahun terakhir, realisasi PMA dari Jepang cenderung berfluktuasi. Pada 2010, total nilai realisasi PMA Jepang di Tanah Air hanya 0,7 miliar dolar AS. Lalu, pada 2011 melonjak drastis hingga 114 persen menjadi 1,5 miliar dolar AS. Setahun kemudian, nilainya naik lagi menembus 2,5 miliar dolar AS, naik 67 persen dari tahun 2011.

Realisasi investasi Jepang pada 2013 mencatat nilai tertinggi, mencapai 4,7 miliar dolar AS, atau melonjak 88 persen dari 2012. Na mun, pada 2014 nilai investasi dari Jepang me nurun 43 persen menjadi 2,7 miliar dolar AS. Sepanjang 2015 lalu, investasi Jepang kem bali meningkat menjadi 2,9 miliar dolar AS, bertambah 7,0 persen dari tahun sebelumnya.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani menyatakan, dalam kegiatan roadshow pemasaran investasi di Jepang pada 25-28 Januari lalu, pihak nya berhasil menjaring rencana investasi dari negara itu sebesar 4,48 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 60,5 triliun dengan nilai kurs Rp 13.500 per dolar AS. Nilai tersebut ter diri atas minat untuk melakukan perluasan investasi sebesar 40 juta dolar AS, minat in vestasi baru 1,725 miliar dolar AS, serta ko mitmen investasi ditandai dengan telah memiliki izin prinsip (IP) sebesar 2,719 miliar dolar AS.

Yang menarik, menurut Franky, minat investasi tersebut tidak lagi didominasi oleh sektor-sektor tradisional investor Jepang, seperti sektor otomotif dan elektronik. Ada juga minat di sektor properti dan pembangunan terminal di bandara NTB. "Diharapkan diversifikasi melalui sektor-sektor baru ini akan terus berlanjut," jelas Franky.

Berdasarkan data JETRO, Indonesia menjadi negara terbesar ketiga yang mampu menarik investasi dari Jepang. Pada periode Januari-September 2015, total nilai investasi dari Jepang ke Indonesia mencapai 2,6 miliar dolar AS. Singapura masih menjadi negara paling menarik bagi investor Jepang yang berani menaruh investasi sebesar 6,7 miliar dolar AS pada periode tersebut. Thailand berada pada urutan kedua dengan nilai 2,7 miliar dolar AS.

Data JETRO juga menunjukkan, investasi Jepang di Indonesia menunjukkan tren positif sejak 2010. Sementara, Thailand yang menjadi kompetitor paling berat Indonesia justru mengalami fluktuasi, bahkan menunjukkan gejala menurun. Thailand pada 2011 mampu menyedot PMA dari Jepang sebesar 7,1 miliar dolar AS. Tetapi, setahun kemudian angkanya merosot drastis, hanya mampu menarik investasi sebesar 0,547 miliar dolar AS. Lalu, pada 2013 nilai investasi Jepang ke Thailand kembali melejit menjadi 10,2 miliar dolar AS.

Pada 2013, total investasi Jepang ke Thailand nyaris turun hingga setengahnya menjadi 5,2 miliar dolar AS. Pada 2015 diperkirakan kembali menurun karena hingga sembilan bulan pertama 2015 baru masuk PMA sebesar 2,7 miliar dolar AS.

Stabilitas politik dan keamanan yang lebih terjamin seharusnya membuat Indone sia lebih menarik ketimbang Thailand. Apa lagi, daya saing Indonesia juga mulai mening kat, termasuk kemampuan sumber daya manusianya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement