Kamis 04 Feb 2016 15:00 WIB

Emas Hitam Dan Kekhawatiran Global

Red:

Permintaan melemah, suplai terus membumbung. Tak pe lak harga minyak mentah du nia pun anjlok. Saat ini harga minyak mentah jenis brent, yang menjadi standar minyak dunia, sudah mendekati angka di bawah 28 dolar AS per barel. Angka tersebut merupakan angka terendah sejak 2003. Sebagai perbandingan, harga minyak pada Juli 2014 mencapai 107 dolar AS per barel. Sejak itu, harga minyak terus merosot.

Penyebabnya? Lengkap. Di sisi permin taan, melemahnya perekonomian dunia an tara lain dampak proses transisi perekonomian di Cina ikut menyeret turun permintaan minyak. Di sisi suplai, pasokan minyak men tah terus melimpah. Dalam lima tahun terakhir, ketika level harga masih di kisaran 110 dolar AS per barel, pengeboran minyak shale (minyak hasil ekstraksi dari minyak fosil yang terserap batuan bumi) di Amerika Serikat (AS), bagai jamur di musim hujan. Sedangkan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) tidak pula memangkas produksi.

AS, sejak produksi minyak shale terus mem bumbung, tidak lagi tergantung pada minyak Timur Tengah dan yang diproduksi OPEC. Lantaran ini, negara-negara pengekspor minyak OPEC harus mencari pasar (pem beli) baru di belahan lain dunia. Ber samaan dengan itu, sanksi ekonomi Iran dicabut pertengahan Januari lalu setelah negara itu mencapai kesepakatan dengan International Atomic Energy Agency (IAEA) terkait pe ngem bangan tenaga nuklir. Menyusul pencabutan sanksi itu, Deputi Menteri Per mi nyak an Iran Amir Hossein Zamaninia, dikutip Kantor Berita Shana, langsung menyatakan Iran siap meningkatkan ekspor minyak sebe sar 500 ribu barel per hari. Masalahnya, permintaan negara-negara lain melemah akibat perlambatan perekonomian. Pasokan minyak meluber, permintaan me lemah, harga pun merosot tajam.

Lalu sejumlah pertanyaan pun bermunculan. Mengapa terjun bebasnya harga minyak dunia justru mengkhawatirkan? Kekha watir an itu bahkan muncul di antara sederet risiko global yang dipublikasikan dan mencuat di ajang World Economic Forum (WEF) pertengahan bulan lalu. Bukankah harga minyak yang rendah bisa berarti stimulus bagi pertumbuhan ekonomi karena biaya energi (ba han bakar) menjadi lebih murah. Biaya bahan bakar dan transportasi distribusi industri menurun, daya beli konsumen pun terang kat. Sepintas, terkesan janggal kalau menurunnya harga minyak justru mengkha watir kan bagi pertumbuhan ekonomi. Apalagi ada anggapan lama; harga minyak tinggi diasosiasikan dengan resesi dan harga minyak ren dah diasosiasikan dengan pertumbuhan ekonomi.

Anggapan lama tersebut, mungkin kurang tepat jika dihadapkan dengan situasi dan kondisi perekonomian global saat ini. Pasal nya, merosotnya harga minyak dunia yang terjadi sekarang ditengarai lebih mencermin kan melemahnya perekonomian global ketimbang kelebihan pasokan. Tak kurang dari lembaga sekelas Dana Moneter Inter nasional (IMF) juga melontarkan kekhawatiran serupa. Dalam World Economic Outlook (WEO) yang dipublikasikan IMF pertengahan Januari lalu, disebutkan merosotnya harga minyak diperkirakan lebih banyak menghambat perekonomian global ketimbang memberikan stimulus.

Tekanan Keuangan

Negara-negara eskportir minyak hampir pasti mengalami tekanan keuangan terkait penerimaan negara yang justru membebani prospek pertumbuhan ekonomi. Terus menurunnya harga minyak juga berpeluang memaksa pengurangan investasi produksi minyak, termasuk di perusahaan-perusahaan minyak. Ini, menurut IMF, merupakan faktor negatif bagi pertumbuhan ekonomi. Selain itu, meskipun harga minyak dunia sudah merosot sangat jauh, namun IMF menilai di sisi permintaan ternyata juga tidak meningkat, bahkan cenderung melemah. Kondisi ini justru mencerminkan terus melemahnya perekonomian di negara-negara pengimpor minyak. Apalagi menurunnya harga minyak seringkali menyeret turun pula harga komoditas lain yang justru jadi andalan sejumlah negara, termasuk negara berkembang.

Faktor-faktor itulah yang menurut IMF bukan mustahil justru membuyarkan dampak positif rendahnya harga minyak dunia, baik di negara maju maupun negara berkembang. Indonesia misalnya. Menteri Keuangan Bam bang Brodjonegoro sudah berencana menurunkan asumsi harga minyak Indonesia dari 50 dolar AS per barel menjadi 30 dolar AS sampai 40 dolar AS per barel dalam Rancangan APBN Perubahan 2016. "Iya, kita lihatlah nanti apakah ke 30 atau 40 (dolar AS per barel)," katanya dilansir Kantor Berita Antara, Kamis (28/1).

Rencana perubahan asumsi harga minyak itu, diakui Bambang, dipicu anjloknya harga minyak dunia di pasar global. Menurutnya penurunan harga minyak dunia akhir-akhir ini sudah pasti akan menurunkan pendapatan negara, khususnya dari sektor minyak dan gas bumi. Pendapatan negara dari sektor migas itu meliputi Pajak Penghasilan (PPh) migas, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) migas, dan PNBP lainnya dari kegiatan hulu migas. Turunnya pendapatan negara tersebut juga bisa berdampak pada belanja pemerintah.

Meski Bambang masih enggan memastikan berapa besaran penurunan postur fiskal akibat penurunan harga minyak dunia tersebut, namun dipastikan turun. "Pasti turun (penerimaan negara sektor migas), tetapi nanti kita berhitung dululah," katanya. Bam bang memastikan pemerintah akan mengajukan Rancangan APBN-P 2016 ke parlemen dengan target pembahasan akan selesai pada kuartal pertama 2016. Dalam asumsi makro APBN, penurunan harga minyak dunia akan berimbas pada perubahan asumsi harga minyak mentah Indonesia (ICP) dan lifting minyak dan gas. Dalam APBN 2016, ICP diasumsikan sebesar 50 dolar AS per barel, sedangkan lifting migas sebanyak 830 ribu barel per hari.

Sedangkan di negara maju seperti AS merosotnya harga minyak menghadirkan kekhawatiran tersendiri. Desmond Lachman, ekonom di American Enterprise Institut, dalam paparannya di Newsweek, menyebut bukannya mampu mendukung proses pemulihan perekonomian AS, anjloknya harga minyak justru memunculkan kecemasan. Sejak ditemukannya minyak shale sekitar lima tahun lalu, produksi minyak AS melonjak dari enam juta barel per hari menjadi sembilan juta barel per hari saat ini. Masalahnya, dengan harga di kisaran 30 dolar AS per barel, industri minyak shale tidak lagi menguntungkan. Akibatnya investasi dan tenaga kerja di sektor minyak AS pun, yang jumlahnya sekitar dua persen dari total angkatan kerja AS, terpaksa dipangkas. Ancaman gelombang pengangguran itu diperkeruh dengan ancaman risiko default (macet) dari total 200 miliar dolar AS pinjaman yang dikucurkan bagi industri minyak shale AS selama ini.

Kekhawatiran global, menurut Lachman, juga muncul dari sejumlah negara berkembang utama dunia akibat merosotnya harga minyak dan komoditas. Brasil, Rusia, dan Afrika Selatan disebut-sebut sudah berada di ambang resesi. Ini jelas berimbas pada perekonomian global. Apalagi ketika ditambah dengan kondisi di Cina. Bank Dunia, tambah Lachman, sudah mengestimasikan satu persen penurunan pertumbuhan ekono mi di negara-negara Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan (BRICS) berdampak sebe sar 0,4 persen pertumbuhan ekonomi global. Kecemasan itu jadi makin serius ketika Lachman menyitir pula kemungkinan mele mah nya kemampuan korporasi di negaranegara berkembang membayar utang-utang dalam mata uang dolar AS. Dampaknya ham pir pasti berimbas ke hampir seluruh negara di dunia.

Semua itu bisa terjadi akibat rendahnya harga minyak dunia yang selama ini diasosiasikan sebagai peluang bagi pertumbuhan ekonomi. Paul Krugman, profesor ekonomi di Princeton University dan pemenang nobel ekonomi 2008, dalam blognya di New York Times menyebut ada perbedaan besar rendahnya harga minyak dulu dan sekarang. Dulu, negara-negara dan perusahaan produsen minyak dunia hampir tidak memiliki kesulitan keuangan sehingga bisa dengan mudah menghadapi sekaligus mengatasi fluktuasi harga minyak. Sebaliknya, manfaat penurunan harga minyak benar-benar menyebar ke hampir seluruh konsumen di dunia. Kini, logika seperti dulu tidak sesuai lagi lantaran sejak membanjirnya minyak shale, harga minyak terkait erat dengan belanja investasi yang relatif berjangka pendek dan karenanya mudah goyah.

Penurunan harga minyak 10 persen sampai 20 persen mungkin masih mampu berdampak positif seperti dulu. Tapi, menurut Krugman, penurunan sampai 70 persen jelas memilik dampak yang drastis bagi produsen minyak dunia. Arab Saudi kini sangat berhatihati mengambil kebijakan dan perusahaan pengebor minyak shale di AS menghadapi krisis likuditas dan ancaman jeratan utang, yang mungkin lebih besar dibanding konsumen. Pendeknya, Krugman menilai penurunan harga minyak dunia yang terlalu tajam bisa menghambat perekonomian dunia, terutama ketika hampir semua negara masih harus menghadapi atau berada di ambang kemungkinan krisis likuiditas.

Penurunan harga minyak dunia boleh jadi sulit diprediksi sampai berapa lama berlangsung. Negara-negara OPEC yang dimotori Arab Saudi agaknya belum akan memangkas produksi dalam waktu dekat. Begitu pula industri minyak shale di AS masih terus berproduksi. Di tengah perlambatan dan ketidakpastian perekonomian dunia dengan segala macam risikonya, harga emas hitam yang rendah barangkali memang tidak lantas berarti stimulus bagi pertumbuhan ekonomi; domestik, regional, maupun global.

Oleh Agung P Vazza

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement