Senin 30 Nov 2015 15:00 WIB

Adat Manjaga Hutan

Red:

Pada 10-13 November 2015, Republika melakukan perjalanan jurnalistik ke Kaluppini, Kabupaten Enrekang, untuk melihat penyusunan peraturan daerah perlindungan masyarakat adat. Masyarakat adat yang masih setia menjalankan hukum adat itu menerapkan norma napassuun sima na (mengeluarkan bayaran) untuk setiap pemanfaatan hasil hutan.

Mereka pernah ramai-ramai menolak rencana tambang di hutan yang menjadi kawasan adat. ''Pada zaman bupati sebelumnya, dilakukan survei, ditemukan kandungan emas di tanah ongko kami,'' ujar Abdul Halim, pemangku adat Kaluppini yang menduduki posisi imam.

Penolakan mereka berpangkal pada kelestarian hutan yang menjadi hak adat mereka. Masyarakat adat Kaluppini itu berpendapat, tambang akan merusak segalanya. ''Bukan saja merusak tanah ongko yang ada emasnya, tambang juga akan memorakporandakan tatanan, lingkungan, dan lainnya,'' kata Halim.

Di ketinggian 800 meter dari permukaan laut, Kaluppini--yang berjarak sembilan kilometer dari Kota Enrekang--berada di kawasan hutan lindung di Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Kaluppini artinya awal. Legenda mereka, peradaban manusia berawal dari Kaluppini, kemudian menyebar ke berbagai wilayah, termasuk masyarakat Toraja yang juga berawal dari Kaluppini.

Masyarakat adat Kaluppini memiliki tanah ongko sa'pulo tallu (13 kawasan pilihan) yang menjadi hak adat mereka. Tak semuanya berupa hutan karena sudah ada yang menjadi kebun atau lainnya.

Ada tanah ongko bernama Pesapoan. Rumah adat (sapo) dulunya pernah hendak dibangun di kawasan yang ada di Dusun Samma, Desa Lembang, itu. Tapi, selalu roboh sehingga rumah sapo dibangun di tempat yang sekarang, di samping masjid di atas bukit di Desa Kaluppini. Pohon besar yang ada di samping masjid dipertahankan tetap tumbuh.

Tinggal dikelilingi hutan, masyarakat adat Kaluppini--yang tersebar di lima desa: Kaluppini, Tokkonan, Rosoan, Tobalu, dan Lembang--tahu benar cara menjaga hutan. Hukum adat mereka memberikan persyaratan ketat dalam pemanfaatan hasil hutan. ''Misalnya, ada yang akan mengambil kayu di hutan yang menjadi sumber mata air, yang mengambil harus menggantinya dengan menanam pohon penyerap air,'' ujar Halim.

Pemanfaatan hutan untuk kebun baru di luar tanah ongko memiliki syarat-syarat tertentu pula. ''Tak boleh ditebang habis, kayu keras harus dipertahankan, ketika membuka lahan, ternyata di situ ada mata air, pembuka lahan harus menanam kayu penyerap air, tak boleh menghilangkan fungsi hutan,'' tutur Halim.

Sebelum pengambilan hasil hutan pun, rencana pengambilan itu akan dibahas di lembaga adat, dilihat seberapa pentingnya pengambilan itu. Bahkan, untuk mengambil sebatang bambu pun harus sepengetahuan lembaga adat. Demikian juga halnya untuk pengambilan madu, memasang jerat, dan sebagainya memerlukan persetujuan dari lembaga adat. Jika keputusan musyawarah adat tidak mengizinkan, ya berarti tidak ada pengambilan hasil hutan.

Untuk pemanfaatan hasil hutan, berlaku norma napassuun sima na. ''Artinya, mengeluarkan bayaran, konotasinya bagi hasil yang diatur oleh adat,'' jelas Halim.

Hasil yang didapat dibagi tiga. Pertama, untuk warga pengambil, kedua, untuk kepentingan bersama yang diatur pemanfaatannya oleh lembaga adat, dan ketiga, untuk pemangku adat.

Jika warga yang mengambil tidak meminta izin dulu ke lembaga adat, mereka akan kena peringatan dan denda. ''Jenis dan besaran dendanya dimusyawarahkan di lembaga adat, setimpal dengan jenis pelanggarannya, dan yang akan diberi denda tak bisa menawar,'' kata Halim seraya menyebut jenis sanksi bisa berupa kewajiban menyediakan segala kebutuhan upacara adat.

Dengan aturan adat ini, tak ada masalah serius yang tak tertangani di Kaluppini. Tapi, mereka masih harus berhadapan dengan Dinas Kehutanan yang masih mengklaim hutan mereka sebagai hutan negara. ''Tanah ongko kami saja, sebagian diklaim Dinas Kehutanan sebagai miliknya. Ini lucu, persawahan saja, sebagian sudah dianggap kawasan milik Dinas Kehutanan,'' ujar Halim.

Hutan di luar tanah ongko juga dianggap masyarakat adat Kaluppini sebagai milik mereka secara turun-temurun. Luasnya, kata Kepala Desa Kaluppini Suhardin, bergantung pada kemampuan leluhur mereka bekerja keras atau tidak semasa membuka lahan dulu.

Menurut Halim, masyarakat adat Kaluppini tidak bisa berbuat banyak jika berhubungan dengan Dinas Kehutanan. Tapi, tegas Halim, jika Dinas Kehutanan akan menggarap tanah ongko, masyarakat Kaluppini pasti akan melawan.

''Masyarakat Kaluppini yang saya amati patuh sama undang-undang negara selama undang-undang itu tidak merongrong keutuhan adat tradisi,'' kata Halim.

Selama ini, yang telanjur berkebun di dalam hutan lindung tidak dilarang. Tetapi, tetap diawasi oleh Dinas Kehutanan agar tidak membuka hutan yang lain,'' ujar Suhardin.

Kini, warga Kaluppini juga tengah berhadapan dengan rencana pelaksanaan kontrak pemanfaatan lahan di hutan lindung. Ada program hutan kemasyarakatan dari Dinas Kehutanan. ''Baru tahap sosialisasi,'' kata Suhardin.

Di berbagai daerah, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) getol menjalankan program community base forest management (hutan kemasyarakatan) dengan sistem kontrak selama 35 tahun. Kementerian LHK optimistis program ini dapat menjamin masyarakat adat dapat mengelola hutan untuk kesejahteraan, tapi tidak merusak lingkungan.

Di Kecamatan Enrekang, Kaluppini hanya menjadi salah satu desa dari tujuh desa yang ada di kawasan hutan lindung. Di Kecamatan Anggeraja juga ada tujuh desa. Di Kecamatan Masalle dan Maiwa, masing-masing ada dua desa yang berada di kawasan hutan lindung.

Secara keseluruhan, sekitar 5.000 hektare kawasan hutan lindung di Kabupaten Enrekang telah menjadi permukiman. Luas itu mencakup 18 desa yang tersebar di empat kecamatan, termasuk di antaranya desa-desa yang ditinggali masyarakat adat Kaluppini.

Perlindungan

Pemkab Enrekang pun ingin melindungi mereka. ''Masyarakat adat butuh perlindungan karena sudah tergeser oleh kemajuan karena adat bisa dianggap menghambat kemajuan,'' kata Bupati Enrekang H Muslimin Bando di rumah dinasnya di Enrekang.

Kini, ada dua kabupaten yang memperjuangkan peraturan tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, yaitu Enrekang dan Bulukumba. Di Enrekang, kata Muslimin, pemda bersama lembaga swadaya masyarakat menyusun rancangan peraturan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu. ''Adat perlu dilestarikan dan dikenalkan kepada bangsa ini kepada pewaris sejarahnya dan kepada masyarakat luas,'' jelas Muslimin.

Di Kabupaten Bulukumba, kata Armansyah Dore, ketua Biro I AMAN Sulawesi Selatan, perda yang dirancang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, dan pengukuhan masyarakat adat. Di Bulukumba, ada komunitas masyarakat adat Kajang yang juga masih menjaga keberadaan adat mereka.

Menurut Muslimin, Enrekang berpenduduk sekitar 252 ribu jiwa, tercakup di 129 desa/kelurahan yang ada di 12 kecamatan. Masyarakat adat yang terdata di pemda mencapai 48 komunitas. Jumlah ini mengalami perkembangan yang luar biasa karena menurut catatan AMAN, hanya ada 18 komunitas masyarakat adat. ''Jumlah yang terdaftar di pemda jadi banyak lantaran ketika ada rencana pembuatan perda perlindungan, banyak yang mendaftarkan diri sebagai komunitas adat,'' ujar Ketua PD AMAN Massenrempulu Paundanan Embung Bulan.

Maka, nanti dalam pemetaan partisipatif, keberadaan mereka akan terverifikasi betul tidaknya mereka adalah komunitas adat yang berdiri sendiri atau tergabung dengan komunitas adat yang sudah ada. Dalam undang-undang, yang dapat dikatakan masyarakat adat memiliki tiga syarat, yaitu ada sejarahnya, lembaga adat, dan pranata adat, yang menjadi kearifan lokal masyarakat adat. 

Saat ini, berbarengan dengan pembahasan rancangan peraturan daerah, dimatangkan pula program pemetaan partisipatif. ''Kaluppini termasuk dalam proses survei bersama lima komunitas adat lainnya, yaitu Orong, Pana, Baroko, Mundan, dan Tallu Bamba,'' ujar Mus Mulyadi, ketua Unit Kerja Pelayanan Pemetaan Partisipatif Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulawesi Selatan.

Demi mendapat pengakuan hak-hak masyarakat adat, Kepala Desa Kaluppini Suhardin termasuk yang ikut dalam rombongan survei, didampingi Kemitraan, AMAN, dan Sulawesi Community Foundation. Wilayah berbukit dan jauh membuat rombongan survei yang terdiri atas 20 orang sering bermalam di lokasi. ''Pukul 14.00 berangkat, ada yang pukul 21.00 baru masuk kampung lokasi yang kita tuju,'' ujar Suhardin.

Dari 18 komunitas adat di Kabupaten Enrekang, baru tiga desa yang selesai pemetaannya, yaitu Tapong dan Baringin di Kecamatan Maiwa dan Patongloan di Kecamatan Baroko. Desa Ranga, Pasang, Matajang, Marena, Buntu Batu, Buntu Pema, Batu Noni, Talungora, dan Bole dalam proses perencanaan.

Kendati UU Desa mengakomodasi desa adat, dalam penyusunan raperda di Enrekang, masyarakat adat menolak pembentukan desa adat. Penolakan dilatari oleh adanya komunitas adat yang tersebar di beberapa desa. ''Kalau hanya salah satu desa yang ditetapkan sebagai desa adat, tidak adil bagi desa-desa yang lain yang masih satu komunitas adat dengannya,'' ujar Dore.

Bupati berharap, perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu sudah disahkan pada Desember 2015. Langkah selanjutnya adalah menyelesaikan pemetaan partisipatif untuk kemudian dibuatkan peraturan bupati untuk pengukuhannya.

''Dengan adanya perda itu nanti, hak masyarakat adat Kaluppini menjadi terlindungi,'' ujar Suhardin.

Dengan begitu, kisah yang diceritakan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Enrekang Syamsudin (Republika Online, 16/10/2015), tak akan terjadi lagi karena lindung yang mereka tinggali sudah menjadi hak mereka. Syamsudin menceritakan kerapnya petugas menangkap warga yang menggarap lahan hutan lindung. Selama ini, masyarakat di 18 desa yang desanya berada di kawasan hutan lindung menganggap hutan adalah kepunyaan mereka.

Data Dinas Kehutanan Enrekang menyebutkan, dari sekitar 72 ribu hektare hutan lindung di Kabupaten Enrekang, sekitar 3.000 hektare sudah dibuka warga. Banyak warga yang menjadikan lahan tersebut untuk bertani dan berkebun. ''Mulai dari tanaman hortikultura hingga tanaman kopi dan cengkih,'' ujar Syamsudin (Republika Online, 16/10/2015).

Jika perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat sudah disahkan dan diberlakukan, Bupati Enrekang tidak khawatir jika hal itu akan membuat hutan Enrekang menjadi rusak atau dijual kepada pengembang. Ia meyakini, masyarakat adat mempunyai mekanisme tersendiri dalam menjaga wilayah adatnya.

Hal yang diakui oleh Suhardin. ''Jika ada yang menjual ke orang luar, secara adat kita ada sanksinya,'' ujar Suhardin.

Bagi Bupati Muslimin, rasanya tidak mungkin hutan di Enrekang akan dijual masyarakat adat untuk menjadi kebun sawit, misalnya. Ia pun tidak setuju jika sawit masuk ke Enrekang. ''Kita punya produksi andalan yang telah menjadi ikon Enrekang, yaitu kopi arabika tipika,'' ujar Bupati.

Muslimin menegaskan perlunya menjaga hutan di Enrekang. Dengan sumber air di Pegunungan Latimojong, selama ini Sulawesi Selatan telah menjadi lumbung padi di Indonesia Timur. Dari Latimojong yang berada di Kabupaten Enrekang mengalir tiga sungai besar, yaitu Sungai Sadang, Sungai Mataallo, dan Sungai Mamasa.

Sungai-sungai itu berikut anak sungainya mengalir ke kabupaten lain di sekitar Enrekang, yaitu Pinrang, Sidrap, Wajo, dan Luwu. Maka, perlindungan terhadap hutan di Enrekang mutlak dilakukan sehingga kebutuhan air juga terlindungi. ''Jika hutan Enrekang terganggu, Pinrang, Sidrap, Wajo, dan Luwu akan terganggu pasokan airnya, terganggu panen padinya,'' ujar Muslimin. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement