Senin 02 Nov 2015 18:00 WIB

Menguak Keuangan Partai

Red:

PDI Perjuangan Selasa (20/10) dua pekan lalu meluncurkan rekening khusus yang disebut Rekening Gotong Royong. Rekening ini dibuka untuk menampung sumbangan dana dari para kader dan simpatisannya. Diharapkan setiap kader menyumbang melalui rekening tersebut minimal sepuluh ribu rupiah per tahunnya.

Pembukaan rekening tersebut merupakan upaya PDIP membangun kemandirian dalam pendanaan partai. Ini karena partai memiliki tanggung jawab untuk melakukan pendidikan politik bagi anggota, pelaksanaan program kerakyatan partai, pemberdayaan perempuan, manejemen partai, serta program pemenangan pemilu.

Pada Juni lalu Mendagri Tjahjo Kumolo telah membatalkan usul kenaikan dana bantuan partai politik oleh pemerintah. Padahal, sebelumnya justru menteri asal PDIP ini yang mengusulkan dinaikkannya bantuan dana partai sebesar sepuluh sampai dua puluh kali lipat dari sekarang.

Selain berasal dari iuran anggota serta sumbangan pribadi dan lembaga yang sudah diatur dalam UU, dana partai juga berasal dari bantuan pemerintah. Penggelontoran dana bantuan partai dari negara selama ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang bantuan keuangan kepada partai politik. Penghitungannya, partai yang memperoleh kursi di DPR RI pada pemilu terakhir akan mendapat bantuan Rp 108 per suara setiap tahunnya.

Berpatokan pada PP tersebut, PDIP sebagai partai pemenang Pemilu 2014 dengan perolehan suara sah nasional sekitar 23,7 juta akan mendapat bantuan hampir Rp 2,6 miliar per tahun hingga 2019. Boleh jadi uang sebesar itu bagi PDIP jauh dari cukup untuk membiayai kegiatan partai. Apalagi bagi peringkat bontot dalam jumlah kursi dan suara di DPR, Partai Hanura, yang hanya memperoleh sekitar 6,6 juta suara atau setara dengan dana bantuan Rp 710 juta.

Oleh karenanya wajar bila kemudian partai-partai berteriak lantang agar pemerintah menaikkan bantuan dana bagi partai yang diberikan selama ini. Uang bantuan tersebut dirasakan tidak akan bisa menutupi anggaran kegiatan partai setiap tahunnya. Sementara, iuran anggota tidak pernah bisa terwujud.

Butuh dana besar

Seberapa besar sebenarnya uang yang dibutuhkan sebuah partai dalam setahun? Tak ada jawaban pasti. Partai politik selama ini tidak pernah terbuka untuk hal yang satu ini. Tapi, bila dihitung secara kasar, dana yang diperlukan mencapai Rp 50 miliar hingga Rp 75 miliar setahun. Katakanlah satu partai tingkat nasional memiliki 500 kantor di daerah-daerah kabupaten/kota.

Bila setiap kantor membutuhkan uang operasional senilai Rp 10 juta per bulan, maka partai tersebut membutuhkan Rp 5 miliar. Dalam setahun berarti partai tadi memerlukan Rp 60 miliar. Itu baru buat kesekretariatan saja. Belum lagi untuk menggelar kegiatan pengaderan ataupun pendidikan politik bagi masyarakat yang dalam PP Nomor 8 Tahun 2012 paling sedikit 60 persen dari dana bantuan yang diberikan oleh pemerintah.

Berdasarkan penelitian Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Kemitraan pada 2010, partai menengah sebesar PAN mengeluarkan dana sekitar Rp 51,2 miliar per tahun. Dengan hanya menerima bantuan keuangan Rp 677 juta per tahun kala itu, maka nilai bantuan itu sesungguhnya hanya 1,32 persen dari total kebutuhan PAN per tahun.

Besaran Rp 50 miliar hingga Rp 60-an miliar itu baru pengeluaran rutin. Kalau untuk penyelenggaraan lima tahunan berupa kongres, muktamar, ataupun musyawarah nasional dalam rangka memilih ketua umum baru, angkanya juga sangat besar. Taruhlah ada 500 pengurus daerah di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, yang memiiki hak suara dan akan datang ke kongres. Satu pengda mengirim tiga utusan yakni ketua, sekretaris, dan bendahara. Artinya, akan ada 1.500 orang peserta yang menghadiri kongres.

Bila setiap orang menghabiskan Rp 4,5 juta untuk akomodasi selama tiga hari, maka dana yang dikeluarkan untuk memilih ketua umum baru mencapai Rp 6,75 miliar. Ini belum pengeluaran lainnya sebagai "tanda mata" buat para pengurus daerah yang hadir un tuk memenangkan calon tertentu. Puluhan miliar rupiah dipastikan keluar untuk meng helat pemilihan ketua umum yang baru.

Siapa yang punya uang sebanyak itu untuk membiayai kegiatan partai yang rutin tahunan dan lima tahunan? Tak heran bila kemudian selama era Reformasi ini pemimpin-pemimpin partai adalah para pengusaha ataupun "konsorsium" pengusaha. Mereka didorong oleh para elite partai yang "biasabiasa" saja untuk menjadi pemimpin partai sekaligus menghidupi operasional partai sehari-hari. Merekalah yang banyak mewarnai karakter kepartaian nasional yang sangat materialis selama 17 tahun terakhir.

Untuk menutup defisit anggaran bagi kegiatan partai setiap bulannya, partai-partai juga mewajibkan anggotanya di DPR maupun DPRD menyumbangkan gajinya untuk kas partai. Besarannya berbeda-beda, namun ada yang sampai 40 persen dari gajinya di Dewan. Ini tentu saja berbahaya, lantaran anggota Dewan tersebut diduga akan mencari cara untuk mendapat penghasilan dari pos yang lain di luar gaji bulanan. Padahal, anggota DPR/DPRD telah keluar uang banyak untuk mendapat kursi sebagai legislator. Seorang anggota DPR saja perlu uang sekurang-kurangnya Rp 6 miliar bila ingin menempatkan saksinya di setiap TPS.

Bila dalam satu Dapil tedapat 6.000 TPS, maka dia membutuhkan 6.000 orang saksi. Sebut saja dana yang diperlukan untuk "meng garap" seorang saksi mencapai Rp 1 juta yang dimulai sejak tiga bulan sebelum pencoblosan, maka uang yang diperlukan sebanyak Rp 6 miliar. Pengeluaran sebanyak itu tidak akan ter tutupi oleh gajinya selama lima tahun seba gai anggota Dewan. Maka bila gaji sebagai ang gota DPR/DPRD dipotong lagi untuk kas par tai, bisa dibayangkan pusingnya kepala mereka.

Perlu bantuan negara

Merujuk besarnya anggaran yang diperlukan oleh setiap partai politik untuk menghidupi operasional dan kegiatan rutinnya, maka bantuan dari negara yang masuk dalam APBN dan APBD sangat wajar. Apalagi partai politik merupakan salah satu instrumen penting dalam pengelolaan bangsa dan negara berdasarkan asas demokrasi. Di negara-negara maju demokrasi, partai politik juga disubsidi oleh negara.

Dengan adanya bantuan dari negara, maka setiap partai sangat terbantu dengan urusan-urusan anggaran kesekretariatan dan pendidikan politik warga. Tak perlu besar lagi persentase kewajiban para anggotanya yang duduk di legislatif memberikan sebagian gajinya untuk partai. Sang anggota Dewan pun tak usah "kreatif" untuk mencari uang lewat cara-cara nakal demi untuk menyumbang kas partai. Akibatnya, mereka malah terseret dalam kasus-kasus korupsi proyek pemerintah. Dengan kata lain, potensi korupsi yang dilakukan oleh kaderkader partai yang duduk di legislatif maupun eksekutif dapat dicegah.

Selain itu, bantuan dana dari negara ditujukan agar partai-partai dapat mandiri dan terhindar dari dominasi kekuatan segelintir elite ekonomi yang memiliki banyak uang. Dengan kemandirian partai, ke depannya akan lahir pemimpin-pemimpin partai yang tangguh dan kapabel yang berasal dari hasil kaderisasi. Jangan lagi bermunculan pemimpin-pemimpin partai karbitan yang tampil ke muka karena mengandalkan kekuatan ekonomi dan tebar pesona karena sosoknya sebagai pengusaha.

Tentu saja transparansi dan akuntabilitas harus menjadi prinsip tegas dalam pengelolaan uang negara yang digelontorkan ke partai. Partai-partai yang menerima bantuan keuangan dari negara harus mau terbuka dan bertanggung jawab terhadap peruntukannya. Penggunaannya selalu dilaporkan berkala kepada publik dan diaudit oleh akuntan negara. Sanksi tegas harus diberi kan kepada partai yang mengorup pengguna an dana bantuan tersebut, misalnya dicabut haknya untuk mengikuti pemilu berikutnya.

Dana bantuan dari negara kepada partaipartai peraih kursi di DPR/DPRD selama ini memang sudah berjalan. Namun, jumlahnya harus diakui juga masih jauh dari cukup bila dibandingkan dengan keperluan rutin tahunan. Perlu dipikirkan untuk menaikkannya agar selisih kekurangannya tidak terlalu jauh. Tapi juga harus disiapkan sanksi tegas bagi partai yang menggarong bantuan dana dari negara. Uang negara adalah uang rakyat. Mengorupsi uang negara berarti mencuri uang rakyat. Hukumannya harus berat.

Para anggota partai juga harus terus didorong untuk membayar iuran yang nilainya sudah ditentukan. Kalau selama ini anggota tak mau membayar iuran, pastilah ada alasannya. Bisa jadi hal itu lantaran tingkat kepercayaan kepada partai sangat rendah. Ini yang harus dicari solusinya oleh pimpinan partai sehingga anggota tak sungkansungkan membayar iuran. Kalau satu juta saja anggota membayar iuran sepuluh ribu rupiah setiap tahunnya, maka dana yang terkumpul mencapai Rp 10 miliar! ¦

Infografis- Komposisi Besaran Bantuan Negara Dibanding Sumbangan Di Beberapa Negara

Infografis- Bantuan Keuangan Partai Politik DPR Hasil Pemilu 2014 (Rp 108 Per Suara)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement