Kalimat apa yang tepat selain adanya upaya untuk melemahkan gerakan pemberantasan korupsi di Tanah Air dalam hari-hari terakhir ini? Sebanyak empat puluh lima anggota DPR dari enam fraksi mengajukan usul revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Mereka resmi mengusulkannya dalam Rapat Badan Legislasi DPR pada Selasa (6/10) pekan lalu. Keenam fraksi tempat puluhan anggota Dewan tersebut bekerja adalah Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, PPP, Nasdem, Hanura, dan PKB.
Entah apa yang ada di benak ke-45 ang gota DPR itu sehingga mendorong mereka meneken usulan untuk dilakukannya revisi terhadap UU KPK. Setelah mendapat reaksi keras dan meluas dari masyarakat, Baleg DPR pun dalam lanjutan rapatnya pada Senin (12/10) lalu memutuskan menunda pembahasan revisi terhadap UU KPK. Sebelumnya beberapa anggota DPR yang menandatangani usulan tersebut menyata kan membatalkan dukungannya dan menga ku belum membaca draf yang diajukan.
Pemerintah bersikap ambigu. Walau masyarakat meminta agar Presiden menolak usulan revisi UU tersebut, namun usai ditemui pimpinan DPR, Selasa (13/10), pemerintah hanya menyatakan pembahasan terhadap hal itu ditunda sampai waktu yang belum ditentukan. Fokus pemerintah saat ini, kata Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan, adalah pada sektor ekonomi yang secara global sedang melemah.
Sayang sekali dukungan publik yang menolak pelemahan KPK masih ditanggapi dengan keraguan oleh pemerintah. Mestinya pemerintah, terutama Presiden Joko Wido do, mengambil sikap tegas dengan menolak revisi UU KPK, bukan sekadar menunda pembahasannya dengan DPR. Bila peme rintah bersedia membahas revisi UU tersebut maka akan bertentangan dengan Agenda Na wacita Presiden Jokowi untuk memper kuat KPK.
Tolak pelemahan KPK
Apa pun upaya yang dilakukan untuk melemahkan pemberantasan korupsi sudah seharusnya ditolak. Bangsa ini masih sarat dengan penyelenggara negara yang bergelimang harta dari hasil korupsi. Tak heran bila Majelis Permusyawaratan Rakyat pada awal pecahnya reformasi politik di bulan Mei 1998 memprioritaskan keluarnya Ketetapan MPR tentang penyelenggaraan negara yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sebab, diakui seluruh komponen masyarakat kala itu, korupsi telah menjadi penyakit akut dan menahun sejak negara ini berdiri. Praktik KKN itulah yang ikut menjadikan bangsa kian terpuruk tatkala badai krisis moneter menyerang. KPK pun lahir dari rahim Reformasi.
Berdasarkan amanat Tap MPR tentang pemberantasan KKN itulah lembaga antirasuah ini berdiri dengan payung hukum UU KPK yang dibuat di periode pertama DPR era Reformasi. Kehadiran KPK diharapkan mampu menjangkau koruptor-koruptor kelas kakap yang selama ini bebas berkeliaran.
Hasil kerja KPK dapat dibilang bagus dan sesuai dengan harapan –meski tentu saja masih ada kekurangan di sana-sini. Tercatat, sudah banyak penyelenggara negara baik di pusat maupun daerah berhasil dibawa ke pe ng adilan dan telah dipenjarakan karena terbukti melakukan korupsi –mulai dari kepalakepala dinas sampai kepala daerah, pemimpin partai politik, dan menteri kabi net. Puluhan kasus korupsi yang lain sudah me nunggu giliran untuk disidangkan dan beberapa lagi bahkan masih dalam persidangan, seperti kasus korupsi yang didakwakan kepada mantan menteri agama Suryadarma Ali.
Oleh karenanya agak aneh bila anggota Dewan yang menjadi penyambung aspirasi rakyat malah ingin merevisi UU KPK. Padahal, jelas-jelas masyarakat memberi dukungan kepada keberadaan KPK dan menolak segala upaya untuk melemahkan lembaga ini. Kalaupun harus direvisi, maka tidak pada hal-hal yang melemahkan. Na mun, sebaliknya yakni justru yang memper kuat peran KPK dalam menjalankan tugas nya sebagai lembaga pemberantas korupsi.
Membaca draf revisi UU KPK yang sudah beredar luas di masyarakat, sedikitnya ada 13 pasal yang isinya akan melemahkan tugas dan kewenangan lembaga antikorupsi tersebut. Ini karena pasal-pasal tersebut justru membatasi kewenangan KPK. Seperti pada Pasal 13 yang menyebutkan KPK menangani perkara dengan kerugian negara di atas Rp 50 miliar saja. Selain itu, tugas KPK dibatasi selama 12 tahun sejak RUU diundangkan (Pasal 73).
Selain itu, pelemahan KPK berupa penyadapan terduga korupsi yang nantinya harus memiliki bukti permulaan. Penya dapan tersebut juga harus dengan izin ketua Peng adilan Negeri (Pasal 14). Selanjutnya, Pasal 42 menyebutkan KPK berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan un dang-undang KPK yang berlaku sekarang ini.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDIP, Masinton Pasaribu, mengungkapkan alasannya mengapa UU Nomor 30/2002 itu perlu direvisi. Kata dia, itu demi menata dan membenahi sistem penegakan hukum Indonesia. "Saya sebagai salah satu inisiator (revisi UU KPK), semangatnya yaitu pena taan dan pembenahan penegakan hukum," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Rabu (7/10), seperti dikutip Antara.
Mengenai usul usia KPK hanya 12 tahun, Masinton berkilah bahwa tujuannya agar ada tolok ukur waktu transisi dalam pemberantasan korupsi. "Tahun depan sudah 18 tahun reformasi, lalu apabila usia 12 tahun disetujui maka 30 tahun. Itu cukup bagi KPK menggenjot institusi lain seperti Kejaksaan dan Kepolisian melakukan hal yang sama," kata aktivis LSM ini.
Alasan soal pembatasan waktu bagi keberadaan KPK tentu saja rada aneh. Sebab, seharusnya pemberantasan korupsi tidak mengenal pembatasan waktu. Selama masih ada korupsi, sudah seharusnya lembaga pem berantasan korupsi –apakah itu KPK, po lisi, kejaksaan—tetap bekerja. Sebab, ko rupsi dan para koruptornya pun tidak me nge nal batasan waktu. Begiu peluang ada dan terbuka lebar maka mereka akan beraksi.
Masinton menegaskan revisi UU KPK itu bukan untuk memperlemah KPK karena akan bersamaan dengan revisi UU Kejaksaan dan UU Kepolisian. Revisi, kata dia, melainkan untuk memperbesar porsi-porsi penanganan dan pencegahan kasus korupsi dan pencegahannya.
Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter, mendesak agar revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK dibatalkan, bukan ditunda, karena berpotensi melemahkan lembaga tersebut. "ICW meminta agar seluruh fraksi di DPR untuk membatalkan rencana pembahasan revisi Undang-Undang KPK di DPR," kata Lola (Antara, Rabu, 7/10).
Menurut ICW, sedikitnya ada 15 hal penting dalam naskah revisi UU KPK di DPR yang berpotensi melemahkan KPK. Salah satu hal krusial itu adalah KPK dibatasi hanya sampai 12 tahun sejak RUU tersebut disahkan sebagai undang-undang sebagaimana tercantum pada Pasal 5 dan Pasal 73. Upaya pelemahan KPK juga terlihat pada Pasal 53, yaitu KPK tidak lagi memiliki tugas dan wewenang melakukan penuntutan.
Selain itu, KPK juga akan kehilangan tugas dan kewenangan dalam melakukan monitoring. Pada naskah revisi UU tersebut juga disebutkan bahwa KPK lebih diarahkan kepada tugas pencegahan korupsi daripada penindakan. Bila pada Pasal 16 Undang-Undang KPK yang saat ini berlaku, KPK memiliki kewenangan untuk membentuk kantor perwakilan di daerah, naskah RUU KPK menghilangkan kewenangan tersebut.
Selain itu, masih ada beberapa hal krusial yang berpotensi melemahkan KPK seperti dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi, serta tidak bisa merekrut pegawai secara mandiri. Kemudian, KPK juga diwajibkan melapor ke kejaksaan dan polisi ketika menangani kasus, tidak bisa mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri, serta adanya dewan kehormatan dan dewan eksekutif.
Upaya-upaya pemberantasan korupsi di negeri ini dapat dikatakan sedang dalam bahaya bila melihat adanya usaha-usaha untuk melemahkan peran KPK. Yang memprihatinkan justru upaya pelemahan itu datangnya dari partai politik yang mengaku sebagai wakil rakyat. Padahal, rakyat sendiri tak ingin KPK dilemahkan. Untuk pelemahan pemberantasan korupsi, hanya satu kata: tolak!
***
NAMA-NAMA PENGUSUL REVISI UU KPK
FRAKSI PDIP
1. Masinton Pasaribu
2. Ichsan Soelistio
3. Marinus Gea
4. Arteria Dahlan
5. Abidin Fikri
6. N. Falah Amru
7. Junimart Girsang
8. Ihsan Yunus
9. Adisatrya S Sulistio
10. Darmadi Durianto
11. Risa Mariska
12. Irini Yusiana
13. Charles Honoris
14. Imam Suroso
15. Dony Maryadi
F-NASDEM
1. Taufiqulhadi
2. Amelia Anggraini
3. Choirul Muna
4. Ali Mahir
5. Donny Imam Priambodo
6. Hasan Aminuddin
7. Tri Murny
8. Yayuk Sri
9. Achmad Amins
10. Hamdhani
11. Sulaiman Hamzah
F-GOLKAR
1. Tantowi Yahya
2. Adies Kadir
3. Dodi Reza
4. Bambang Wiyogo
5. Daniel Mutaqien
6. Kahar Muzakir
7. Dito Ganinduto
8. Hamka Baco
9. Misbakhun
F-PPP
1. Aditya Mufti
2. Amirul Tamim
3. Elviana
4. Arwani Thomafi
5. Dony Ahmad
F-HANURA
1. Djoni Rolindrawan
2. Fauziah H. Amro
3. Inas Nasrullah
F-PKB
1. Irmawan
2. Rohani Vanath
Sumber: berbagai sumber