Selasa 08 Sep 2015 12:00 WIB

'Jangan Biarkan Negara Ini Jadi Anak Haram!'

Red:

Batara Richard Hutagalung, lahir di Surabaya, 4 Desember 1944. Kini, dia menjabat sebagai ketua umum Komite Utang Kehormatan Belanda (KUB). Semenjak 15 tahun terakhir gencar menyerukan perlunya peninjauan kembali hubunga diplomatik Indonesia-Belanda karena Belanda sampai saat itu belum secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

''Kalaupun ada pengakuan, baru dari pemerintah Belanda hanya pengakuan lisan yang sifatnya facto bukan de jure. Situasi ini jelas tak bisa dibiarkan terus-menerus. Akibat sikap tak setara itu, kini sudah saatnya hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda diputuskan,'' kata Batara yang juga merupakan putra Wiliater Hutagalung, seorang perwira TNI yang dahulu ikut menyusun konsep perang gerilya dan sekaligus menjadi anggota tim dokter yang merawat Panglima Besar Jenderal Sudirman.

***

Sebenarnya apa yang terjadi di Belanda setelah ada koran pada 14 Agustus lalu menulis tentang peristiwa pascaIndonesia memperoklamasikan kemerdekaan?

Perkembangan terakhir adalah mengenai soal yang dilaporkan secara resmi oleh pemerintah Belanda pada tahun 1969 mengenai semua peristiwa yang terjadi di Indonesia yang terjadi antara tahun 1945-1950. Dalam dokumen tersebut termuat mengenai berbagai ulah tentara Belanda ketika melakukan agresi ke Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan atau dalam kurun waktu lima tahun itu.

Pada dokumen yang dikeluarkan pada 1949 itu, pemerintah Belanda memberikan judul "Catatan Ekses". Maksudnya adalah tindakan selama kurun itu adalah hal yang spontan, tidak terstruktur, dan tidak ada perintah. Namun, semenjak tahun 1969 tidak pernah ada penelitiian yang lebih lanjut mengenai soal tersebut.

Nah, belakangan ada sejarawan Swiss-Belanda Remy Lim yang mengadakan penelitian untuk sebuah disertasi mengenai soal itu. Dalam penelitian tersebut  dia berpendapat bahwa yang dinamakan pemerintah Belanda sebagai 'catatan ekses', itu sebenanrya tindakan struktural atau tidak spontan serta tentu saja dilakukan atas perintah dari pihak atasan para tentara Belnada yang saat itu berperang di Indonesia. Tentu saja, ini sangat mengejutkan. Apalagi, ini mengomentari buku 'Catatan Ekses' yang baru diterbitkan setelah selama 20 tahun (tahun 1949-1959) Belanda mengalami kebisuan ketika membahas soal perang yang mereka lakukan di awal kemerdekaan Indonesia itu.

Pada sisi lain, sebelumnya Remy Limpah, ada kajian dari seorang Belanda yang berprofesi sebagai guru besar psikologi, Joop Heuting memulai membuka tabir mengenai peristiwa yang terjadi dan langkah kelam pemerintah Belanda ketika melakukan agresi ke Indonesia itu, terutama pada 1945-1950.

Pemerintah Belanda sampai sekarang tampak ketakutan bila aksi mereka pada kurun lima tahun itu dibuka. Apakah mereka trauma dan takut ketika tindakan mereka disamakan dengan agresi Nazi Jerman ketika dahulu menyerbu dan memicu perang di Eropa?

Saya pernah tinggaldi Eropa selama 27 tahun. Dan, saya tahu memang ada sebagian orang di Belanda takut sekali bila soal ini dibuka. Namun, ingat sebagian besar orang di Belanda malah ingin membukanya. Patut diketahui begitu terbitan soal penelitian Remy Limpach, teman-teman saya di Belanda malah langsung mengirimkan tulisan ini. Perilaku ini sama persis dengan aktivis-aktivis HAM di berbagai belahan dunia lainnya yang tak sungkan membuka 'aib' dari negaranya. Dan, sikap berani ini juga dulu pernah dilakukan para aktivis Partai 'D 66' justru mendesak agar peristiwa antara tahun 1945-1950 di Indonesia dibuka ke publik. Mereka ingin agar dilakukan penelitian yang sangat mendalam dan lengkap mengenai apa yang terjadi dan dilakukan tentara dan pemeirntah Belanda selama periode itu.

Jadi, selama ini memang ada sesuatu hal yang ingin terus ditutupi. Dan, memang ada dua hal yang membuat Belanda secara de jure takut mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bila ini dilakukan, Belanda secara resmi mengakui bahwa mereka telah melakukan aksi militer ke sebuah negara yang merdeka dan berdaulat. Dan, dalam soal ini saya dengar langsung dari generasi muda di Belanda bahwa yang paling menentang pengakuan resmi seara de jure ini adalah para veteran.

Nah, mengapa terjadi seperti itu. Sebab, saya tahu akibatnya bisa  fatal untuk Belanda, yakni harus membayar pampasan perang dan akan membuat para veteran yang dulu berperang di sini sebagai penjahat perang. Inilah yang paling ditakuti. Apalagi kalau sekarang dibuka secara rinci aib-aib itu, misalnya bagaimana tentara Belanda bukan saja membunuh wara sipil, tapi juga soal pembunuhan para tawanan perang dan orang-orang  yang sudah diikat ketika ditangkap yang kemudian juga dibunuh tentara Belanda. Salah satu faktanya diantara banyak fakta itu adalah kasus pembantaian di Rawa Gede Jawa Barat. Selain itu ada juga kasus pembunuhan masal  di Sulawesi Selatan ketika Westerling membunuh warga sipil hingga ribuan orang.

Jadi, semua yang terjadi itu jelas pelanggaran yang nyata atas Konvensi Den Haag tahun 1889 dan kemudian diperkuat dengan Konvensi Den Haag 1907. Di dalam konvensi itu  diatur mengenai tata cara perang darat, di mana dijelaskan mengenai perlindungan terhadap penduduk sipil. Nah, ternyata Belanda sendiri yang melanggar konvensi itu. Bahkan pada 10 Desember 1948, Belanda ikut menandatangani pernyataan umum mengenai hak asasi manusia (HAM). Tapi, sembilan hari kemudian (19 Desember 1948) Belanda melakukan operasi militer besar-besaran yang mereka namakan 'Aksi Polisional II'. Korban dari pihak Indonesia banyak sekali, dan banyak di antara rakyat kita yang ditembak mati dan disiksa tanpa proses yang jelas.

Pada 20 Agustus lalu, mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bila Belanda semenjak 2005 sudah mengakui kemerdekaan Indonesia secara de facto. Apa komentar Anda soal ini?

Itu berarti dia tahu bahwa sampai 2005 Belanda tidak mengakui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dan adanya pengakuan itu, maka secara jelas menunjukkan Belanda memang tidak bermartabat. Dan, seharusnya Pak SBY juga menuntutnya agar pemerintah Belanda mengakui secara resmi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Sebab, antara pengakuan secara de facto dan de jure itu jelas ada beda konsekuensinya. Tapi, entah mengapa SBY tak menanyakan lebih jauh.

Padahal dalam hukum internasional, hubungan dua negara bisa berlangsung bila keduanya saling mengakui. Nah, kenapa ada salah satu pihak yang tidak mengakui dibiarkan saja. Jadi, seharusnya pada saat itu presiden putuskan hubungan saja dengan Belanda karena terjadi hubungan yang tidak setara. Ingat menurut Profesor Sugeng Sutanto, hak asasi negara itu ada tiga, yakni pertama punya hak kedaulatan, kesetaraan, mempertahankan diri. Nah, untuk soal 'kesetaraan' kan posisi kita tidak diakui Belanda secara penuh. Pertanyaannya kemudian mengapa itu dibiarkan oleh presiden? Bayangkan saja ada seorang anak yang hanya diakui keberadaannya, tapi tak diakui legalitasnya kok malah terus dibiarkan? Ini kan namanya membiarkan status anak haram terus terjadi!

Jadi, bila hingga dari tahun 1945 hingga tahun 2005 Belanda sama sekali tidak mengakui keberadaan Indonesia yang diporklamasikan 17 AGustus 1945 , sejak kunjungan menteri luar negeri Belanda ke presiden SBY itu, maka derajat Indonesia hanya dinaikkan sedikit, yakni dari 'status anak tanpa pengakuan' menjadi 'anak haram' karena tidak ada pengakuan hukumnya. Nah, kenapa Indonesia tidak berani bersikap seperti kepada Taiwan atau Israel yang sampai hari ini belum punya hubungan diplomatik yang resmi?

Nah, meski tidak ada hubungan resmi dengan Taiwan dan Israel kan tidak ada masalah. Ingat bila dibandingkan Taiwan investasi Belanda di Indonesia tidak ada apa-apanya. Posisi Taiwan adalah berada pada posisi sembilan terbesar. Sedangkan, Belanda jauh di bawah. Juga dengan Israel meski tidak ada hubungan diplomatik, rakyat Indonesia, baik yang Islam maupun Kristen, bebas berziarah ke Yerusalamen. Selain itu, Indoensia juga selama ini, pada 1980, bisa beli 30 buah pesawat tempur dari Israel.

Tapi bayangkan itu, meski punya hubungan diplomatik yang dilandasi pengakuan yang tidak setara, sikap Belanda tetap saja arogan. Ingat pembatalan pembelian Tank Leopard yang dibatalkan karena Belanda menganggap negara pelanggar HAM dan bisa digunakan untuk membunuh rakyatnya sendiri. Melihat fakta itu lalu jelas menjadi tidak bermasalah kalau sekarang Indonesia putuskan hubungan diplomatik dengan Belanda.

Beberapa pihak di Indoensia menanggap pemutusan hubungan Indonesia itu merugikan. Apa komentar Anda?

Sebenarnya kita butuh hubungan Belanda untuk apa sih? Ingat selama ini kita punya hubungan baik dengan seluruh negara di kawasan Eropa Barat. Semua berlangsung wajar, saling menghormati, dan saling mengakui keberadaan masing-masing. Justru, dengan Belanda yang pernah begitu lama menjajah, Indonesia dianggap sebelah mata. Apalagi, saya paham Belanda dari tahun 1950 hingga sekarang tetap tidak berhenti untuk memecah belah Indonesia. Mereka terus bermain dalam persoalan Aceh, Papua, Maluku, dan lainnya. Apakah melindungi separatis RMS (Republik Maluku Selatan) itu tindakan sebuah negara sahabat? Kini, mereka juga bermain dengan isu pelanggaran HAM.

Harap diketahui, para pejuang angkatan 45 menengarai secara kuat semenjak dahulu meyakini operasi militer secara besar-besaran di Indonesia --dalam aksi Kolonial I dan II-- dilakukan tanpa kesengajaan dan terencana dengan baik. Ingat pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda melakukan serangan masif dan serentak ke berbagai kota penting yang ada di Indonesia. Ini jelas dipersiapkan secara berbulan-bulan. Mereka pasti tahu dan paham akan segala ekses yang akan terjadi. Jadi, bukan aksi militer yang tanpa disengaja dan tidak terstruktur ke sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

Para petinggi TNI saat itu paham betul bahwa operasi militer besar-besaran tak bisa dilakukan tanpa perencanaan yang matang. Menyadari hal itu, semenjak Perjanjian Renvile ditandatangani, kalangan militer Indonesia pada Maret 1948, misalnya, sudah mengantisipasi agresi militer Belanda II. Termasuk dalam hal ini adalah membentuk negara darurat yang ada di Sumatra Barat itu.

Bahkan, kalangan angkatan 45 menyebutkan bahwa pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 juga terjadi karena campur tangan Belanda. Ini terdeteksi adanya kerja sama antara kaum aktivis partai komunis, Mr Amir Syarifudin, di Indonesia dan aktivis partai komunis yang ada di Belanda. Hubungan ini sudah dilakukan semenjak tahun 1942 atau dalam hubungan mereka ketika melakukan perlawanan terhadap fasisme Jepang.

Jadi, tidak tertutup kemungkinan pemberontakan PKI di Madiun juga bagian dari strategi Belanda ketika hendak melakukan serang militer besar-besaran ke Indonesia pada saat itu. Dari segi waktu, serangan itu benar-benar tepat karena pada saat itu di kalangan internal Indonesia sedang dalam posisi saling membunuh. Sikap 'menguasai dan memecah belah' inilah yang masih terus Belanda lakukan hingga sekarang meski dengan isu berlainan.

Kemudian, apa yang harus dilakukan Presiden Joko Widodo?

Bersikap tegas atas situasi yang tak setara antara Indonesia dan Belanda. Jangan contoh sikap presiden pendahulunya. Apalagi, Trisakti Bung Karno yang menjadi acuannya mengamanatkan berdaulat secara politik, ekonomi, dan budaya. Maka, sekarang jagalah kedaulatan negara itu. Ingat ada negara yang jelas-jelas tak mengakui eksistensi kita tapi kok dibiarkan melenggang terus.

Coba bandingkan dengan perlakuan kepada Taiwan. Meski tak ada hubungan diplomatik, tenaga kerja Indonesia di Taiwan mencapai 60 ribu orang, sedangkan pemegang paspor Indonesia di Belanda hanya 16 ribu. Artinya, sumbangan ekonomi Belanda kepada kita hanya 10 persen dari Taiwan. Dari data ini saja, tampak tak ada untungnya berhubungan secara ekonomi dengan Belanda.

Dan, kalau dikaitkan dengan hubungan budaya dengan Belanda, apa juga untungnya karena pemerintah mereka tak punya sikap yang tidak tulus. Juga kalau dikaitan dengan pendidikan, masih banyak universitas di negara Eropa yang lebih baik daripada Belanda. Inggris, misalnya, dengan sikap yang sangat baik, sudah meminta maaf atas agresinya ke Indonesia, misalnya, dalam peristiwa 10 November 1945 di Surabaya. Tapi, Belanda kan beda. Mereka tak punya iktikad baik.

Kalau sekarang Belanda kerap mengaku dirinya lebih beradab, saya tanya di mana beradabnya itu. Mereka menjajah dan membantai selama ratusan tahun nenek moyang kita. Memperbudak bangsa dan melakukan perdagangan opium di negari ini. Dan, mereka menguras kekayaan kita untuk memakmurkan negeri mereka. Jadi, apa yang perlu dicontoh dari Belanda? Dan, apa nilai penting ekonomi yang bisa diraih. Kehormatan bangsa adalah segala-galanya. Bila tidak tegas kepada sikap Belanda yang tetap seperti ini, kita kualat kepada para pejuang yang dahulu menyerahkan harta dan nyawanya demi tegaknya kemerdekaan 17 Agustus 1945 . n muhammad subarkah

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement