Selasa 28 Apr 2015 15:00 WIB

Mengungkap Keterlibatan Paman Sam

Red:

Keberadaan organisasi militan bersenjata seperti Al Qaeda maupun ISIS tidak terlepas dari peran AS di Timur Tengah. Negara adidaya itu sangat berkepentingan untuk memecah belah bangsa Arab dan mengantisipasi potensi Iran yang dapat menjadi ancaman Barat. AS memiliki sejarah panjang dalam keterlibatannya dengan kelompok bersenjata di kawasan kaya minyak tersebut. Tentunya, dengan kepiawaiannya berdiplomasi, AS mampu mengejutkan siapa pun di berbagai belahan dunia atas apa yang terjadi di Timur Tengah tanpa memperhatikan sejarah pada masa lalu.

Salah satu keterlibatan AS di Timur Tengah ditandai dengan hadirnya dinas rahasia pusat CIA ketika era perang musim dingin berlangsung. Saat itu AS hanya melihat adanya Uni Soviet yang didukung negara dunia ketiga sebagai perpanjangan tangan negara komunis tersebut. Di sisi lain, ada sejumlah negara pro Barat dan kelompok militan yang bisa menjadi sekutu AS dalam melawan dominasi Uni Soviet yang berhaluan komunis.

"Dengan segala pertimbangan, AS telah menggunakan aksi teror," kata pemimpin Lembaga Keamanan Nasional (NSA) di masa kepemimpinan mendiang Presiden AS Ronald Reagan, Jenderal William Odom. Namun, sepanjang tahun 1978 hingga 1979, Senat AS mencoba mengesahkan ketentuan internasional terkait larangan aksi teror.

AS juga tidak lupa memanfaatkan peran salah satu sekutu terdekatnya, Mesir, sebagai benteng utama dalam menghadapi ekspansi ideologi Marxis di kawasan Arab yang disokong Uni Soviet pada 1970-an. Hal yang sama juga dilakukan AS di Indonesia dengan mendukung kelompok Islam melawan kepemimpinan mendiang Presiden Sukarno. AS juga mendukung kelompok militan di Pakistan yang berupaya menggulingkan mendiang Perdana Menteri Zulfikar Ali Bhuto, sebelum akhirnya AS memiliki andil atas lahirnya kelompok militan Al Qaeda.

Lahirnya kelompok militan pimpinan Osama bin Laden itu tidak terlepas dari kerja sama yang dirintis AS bersama Al Qaeda tahun 1980-an. Mantan Menteri Luar Negeri Inggris Robin Cook pernah menyatakan, tidak diragukan bila Al Qaeda merupakan produk dari lembaga intelijen Barat. Al Qaeda secara harfiah berarti singkatan dari "database" dalam bahasa Arab. Awalnya database komputer dari ribuan ekstremis yang dilatih CIA dan didanai Arab Saudi untuk mengalahkan Rusia di Afghanistan. Hubungan antara Al Qaeda dan AS sendiri kerap diwarnai situasi pasang surut. Tergantung dari tingkat kepentingan kedua belah pihak. Namun, kelompok militan ini kerap menjadi bagian dari strategi menjalankan kebijakan luar negeri Negara Paman Sam tersebut.

Produk terbaru yang dilancarkan AS adalah lahirnya kelompok ISIS. Nama kelompok ini menjadi sorotan dunia setelah berhasil membunuh para sanderanya dengan berbagai cara yang keji. Mereka juga merekrut anggota dari berbagai belahan dunia dengan janji manis memperoleh kehidupan yang lebih baik. Kini, kelompok bersenjata itu telah menguasai wilayah sebesar negara Inggris.

Instrumen teror

Sosok ISIS yang menjelma menjadi kekuatan menakutkan banyak negara di Timur Tengah tidak terlepas dari invasi militer AS ke Irak tahun 2003. Saat itu, hadirnya AS bersama sekutunya menjadi peluang bagi bangkitnya kelompok radikal seperti ISIS. Hancurnya rezim Saddam Hussein dan digantikan dengan pemerintahan Shiah telah memicu keresahan banyak kalangan di Irak. Pendudukan AS telah mendorong munculnya penolakan paham sosial dan janji ekonomi pasar yang mampu menciptakan lapangan kerja. Namun, penutupan sejumlah pabrik akibat perang hingga munculnya pengangguran terutama di kalangan warga Sunni tetap tidak terhindarkan.

Warga Sunni yang kaya telah kehilangan aset mereka dan tidak memiliki peran politik di pemerintahan. Kebijakan AS di Irak memperburuk perpecahan sektarian dan menciptakan lahan subur bagi ketidakpuasan Sunni, di mana Al Qaeda di Irak berakar. ISIS yang menguasai sebagian wilayah Irak dan Suriah merupakan nama lain dari Al Qaeda di Irak. Setelah tahun 2010 kelompok ini berupaya mengonsolidasikan diri dengan berfokus di wilayah Suriah. Persoalan pelik lainnya yang mencuat di Suriah adalah konflik yang melibatkan pemerintah dan pemberontak, konflik dengan Iran dan Arab Saudi, serta pengaruh hegemoni AS dan Rusia di kawasan tersebut. Barangkali ini merupakan neocold war yang mendorong kebijakan luar negeri AS untuk mempersenjatai kelompok militan di Suriah guna melawan Presiden Bashar al- Assad yang merupakan sekutu utama Rusia di Timur Tengah. Kelompok militan Suriah itu belakangan diketahui menjadi anggota ISIS yang menggunakan senjata M16 buatan AS.

Secara umum, kepentingan AS di kawasan ini tidak terlepas dari masalah minyak mentah dan Israel. Aksi penyerbuan ke Irak, selain dapat memenuhi kebutuhan minyak mentahnya, AS juga dapat melancarkan serangan udara ke markas ISIS di Suriah dan sanksi ekonomi terhadap Iran yang sangat membantu kepentingan politik Israel.

Kebijakan itu diharapkan dapat menghilangkan peran musuh abadi Israel, yakni kelompok Hizbullah  dan Hamas yang didukung Suriah maupun Iran. ISIS sendiri bukan hanya sebagai instrumen teror yang diciptakan AS untuk menjatuhkan pemerintahan di Suriah, melainkan juga menjadi alat penekan pemerintahan Iran yang sesungguhnya bukanlah ancaman serius bagi Washington. Iran telah menghentikan program nuklirnya sejak 2003. Tudingan adanya senjata pemusnah massal Iran yang dilancarkan Barat selama ini tidak mendasar dan hanya dilandasi sikap permusuhan Barat.

AS memanfaatkan ISIS untuk menyerang musuhnya di Timur Tengah sebagai dalih untuk membenarkan bahwa kehadiran AS di kawasan ini penting. Alasan lain adalah memelihara kepercayaan publik dalam negeri akan adanya ancaman bagi AS dari kawasan ini. Terorisme menjadi alat pembenaran untuk melakukan pengawasan di wilayah yang luas, sekaligus alat dalam menciptakan gejolak di suatu wilayah.

Penggunaan istilah perang melawan teror yang dicanangkan pemerintahan mantan presiden George W Bush tidak lama setelah tragedi penyerangan gedung kembar WTC 11 September 2001 merupakan upaya untuk mempertahankan adanya ancaman atas kepentingan AS. Lobi Israel atas kebijakan luar negeri AS sangat dominan, khususnya atas wilayah Timur Tengah.  Pencanangan perang melawan teror mampu meraih pajak hingga 6,6 triliun dolar AS, meski harus dibayar dengan meregangnya nyawa ribuan prajurit AS. Namun, perang juga telah memperkaya sejumlah petinggi militer di Washington. Industri militer AS juga diuntungkan dari konflik yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Menurut studi Center for Public Integrity, lebih dari 70 perusahaan AS dan individu telah memenangkan hingga 27 miliar dolar AS kontrak bekerja pascaperang Irak dan Afghanistan selama tiga tahun terakhir. Menurut penelitian, hampir 75 persen dari perusahaan kontraktor tersebut memiliki keterkaitan dengan anggota dewan, kalangan eksekutif di Partai Republik dan Demokrat, anggota Kongres, hingga tingkat tertinggi militer.

Pada 1997, dalam sebuah laporannya, Departemen Pertahanan AS menyatakan adanya korelasi yang kuat antara keterlibatan AS di luar negeri dan peningkatan serangan teroris terhadap AS. 

Satu-satunya cara AS memenangkan perang terhadap teror adalah dengan berhenti memberikan teroris motivasi dan sumber daya untuk menyerang. Terorisme adalah gejala, sedangkan imperialisme Amerika di Timur Tengah adalah kanker. Sederhananya, perang melawan teror adalah terorisme. Pada skala yang lebih besar, aksi itu dilakukan orang dengan menggunakan jet tempur dan rudal. global research. Oleh  Ratna Ajeng Tejomukti ed: Hiru Muhammad

***

Perusahaan yang Diuntungkan Saat Invasi Irak

Selama Invasi Irak, sedikitnya 25 perusahaan diuntungkan dari perang yang terjadi. Tidak menutup kemungkinan dibentuknya ISIS merupakan kelanjutan bisnis dari 25 perusahaan tersebut.

1.    Halliburton KBR, mendapatkan keuntungan 17,2 miliar dolar AS.

2.    Exxon Mobile melalui Dyn Corp, keuntungan 1,44 miliar dolar AS.

3.    The Washington Group International untung 931 juta dolar AS.

4.    Environmental Chemical, untung 878 juta dolar AS.

5.    Aegis, untung 430 juta dolar AS.

6.    International American Product, mengumpulkan 759 juta dolar AS.

7.    Erinys London, mengumpulkan 136 juta dolar AS.

8.    Fluor mencetak 1,1 miliar dolar AS.

9.    Perini, untung 650 juta dolar AS.

10.    URS Corp, untung 792 juta dolar AS.

11.    Parsons, 540 juta dolar AS.

12.    Kontraktor dan Perdagangan Umum Pertama Kuwait, untung 500 juta dolar AS.

13.    Armor Holdings, pendapatan mencapai 634 juta dolar AS.

14.    L3 Communications, mendapat 359 juta dolar AS.

15.    AM General, mendapatkan keuntungan hingga 92 persen.

16.    Bank HSBC, mengumpulkan 91 juta dolar AS.

17.    Cummins, mendapat 45 juta dolar AS dari pembangkit listrik.

18.    Merchant Bridge, mendapat aset 61 juta dolar AS.

19.    Global Risk Strategies, mendapat 24,5 juta dolar AS.

20.    Control Risk, mendapat 37 juta dolar AS.

21.    CACI kerja sama memberikan tim interogator.

22.    Bechtel, mendapat bagian 2,6 miliar dolar AS.

23.    Custer Battles, mendapatkan 10 juta dolar AS.

24.    Nour USA mendapat 400 juta dolar AS.

25.    General Dynamics, tak disebut jumlah pendapatannya.

Sumber: Huffington Post dan Businesspundit.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement