Selasa 14 Apr 2015 15:55 WIB

Menyusup Ke Israel

Red:

Enam pesawat tem pur Jupiter Aerobatic Team (JAT) melakukan atraksi me ne gang kan dengan melakukan manuver bebas di udara. Keenam pesawat KT-1B Wong Bee itu kembali menun jukkan kehebatannya pascadua buah pesawat mengalami kecela kaan di Langkawi, Malaysia be berapa hari lalu.

Di atas langit Halim Perda nakusuma, Jakarta, pada pe ri ngat an hari ulang tahun ke 69 TNI Angkatan Udara, Kamis (9/4/2015), keenam pesawat ter bang dengan berbagai formasi. Antara lain, membentuk formasi piramida dan terbang sambil ber putar 360 derajat. Kemudian ter bang bersama dan berpencar. Menegangkan.

Namun ada hal yang lebih me negangkan lagi. Tepatnya pa da 34 tahun lalu. Ya, pada awal hingga pertengahan 1980. TNI, dulu masih disebut ABRI, mela kukan Operasi Alpha atau Alpha Operation. Pembelian secara rahasia 32 pesawat tempur A4 Skyhawk dari Israel.

"Inilah operasi clandestine (rahasia) terbesar yang dila kukan oleh ABRI. TNI AU me latih pilot dan melakukan pembe lian 32 pesawat A-4 Skyhawk dari Israel," kata Marsekal Muda (Purn) Djoko F Poerwoko (al mar hum) dalam buku biografinya "Me nari di Angkasa", 2007.

Rencana pembelian pesawat tempur terbaru dilakukan, ka rena kondisi pesawat tempur F- 86 Sabre dan T-33 Thunderbird sudah tua. Sehingga tidak bisa diandalkan untuk menjaga ke daulatan udara Indonesia. Pe me rintah mencari negara produsen yang menjual pesawatnya dengan segera. Amerika Serikat bisa mem berikan 16 pesawat F-5 E/F Tiger II. Namun hal itu masih belum cukup.

Hasil pengamatan intelijen, Mabes ABRI mendapatkan infor masi, Israel bermaksud melepas kan armada pesawat tempur A- 4. Namun ada masalah, karena Indonesia dan Israel tidak me miliki hubungan diplomatik. Ka re na dipandang sangat perlu pe ngadaan pesawat tempur itu, ujar Djoko Poerwoko, maka pembe lian dilakukan secara clandestin, supaya tidak menjadi polemik di masyarakat.

Operasi Alpha dimulai de ngan memberangkatkan para tek nisi Skadron Udara 11. Sete lah tujuh gelombang teknisi, lan jut Djoko Poerwoko, berang kat lah rom bong an terakhir yang ter diri dari sepuluh penerbang un tuk belajar mengoperasikan pe sawat.

Sebagai tim terakhir, mereka mendapatkan pembekalan secara langsung di Mabes TNI AU. Awal nya hanya mengetahui bah wa para penerbang akan be rang kat ke Amerika Serikat untuk belajar terbang. Tidak lebih dari itu. Para penerbang sama sekali tidak mengetahui ada operasi alpha ke Israel.

Dari Jakarta, para penerbang dikirim ke Bandara Paya Lebar, Singapura. Saat makan malam, salah seorang perwira Badan In telijen Strategis (BAIS) ABRI meminta paspor, dan kemudian mengganti dengan Surat Perintah Laksana Paspor (SPLP). Saat itu lah Kepala BAIS ABRI Mayor Jen deral Benny Moerdani, mem berikan perintah.

"Misi ini adalah misi rahasia, maka yang merasa ragu-ragu, silah kan kembali sekarang juga. Kalau misi ini gagal, negara tidak akan pernah mengakui kewar ganegaraan kalian. Namun, kami tetap akan mengusahakan kalian semua bisa kembali dengan jalan lain. Misi ini hanya akan diang gap berhasil, apabila ‘sang mer pati ‘telah hinggap…"

Malam itu juga sepuluh pe ner bang diganti identi tas nya. Bu kan dengan nama In do nesia dan bukan sebagai ten tara warga negara Indonesia. Ke mudian mereka diterbangkan ke Bandara Frankfurt, Jerman. Sampai di situ mereka juga tidak mengetahui perjalanan selanjut nya. Sampai akhirnya menerima boarding pass untuk penerbang an berikutnya, menuju Bandara Ben Gurion di Tel Aviv, Israel.

Israel? Ya, Israel! Sampai di ban dara, mereka ditangkap dan di giring petugas keamanan ban dara Ben Gurion. Para petu gas itu ternyata agen rahasia Mossad dan membawa ke ruang bawah tanah. Di ruang itu sudah ada para per wira BAIS ABRI. "Ru panya kami sengaja di-ske nario-kan untuk ditangkap dan bisa lewat ‘jalur khusus’ guna meng hin dari per hati an masyarakat apabila ha rus ke luar lewat jalur umum."

Di situ mereka diajarkan meng hapal sejumlah kalimat ba hasa Ibrani. "Ani tayas mis Si nga pore". Artinya: aku pener bang dari Singapura. Ada sapaan "boken tof " berarti selamat pagi. Selanjutnya melakukan perjalan an darat menuju selatan, menyu suri Laut Mati. Setelah dua hari perjalanan, sampai di kota Eliat.

Seolah Arizona

Perjalanan dilanjutkan kem bali di tengah padang pasir. Se telah melewati beberapa pos jaga, akhirnya masuk ke sebuah pang kalan tempur besar di barat kota Eliat. Pangkalan tidak pernah memiliki nama pasti. Nama pangkalan hanya berupa angka dan bisa berubah setiap waktu.

Sesuai kesepakatan, tempat ini disebut ‘Arizona’. Sebab da lam skenario awal pendidikan, dalam surat perintah disebutkan berlatih terbang di Arizona, Amerika Serikat. Mabes TNI AU pun mengetahui kalau perso nelnya melanjutkan pendidikan di Arizona selama empat bulan.

Masalah utama adalah ba hasa, sebab tidak semua pe ner bang Israeli Air Force (IAF) bisa berbahasa Inggris. Sedang kan penerbang tempur AU In donesia tidak diajari bahasa Ibra ni secara detail. Masalah lain ada lah sangat ketatnya penga wasan.

Salah satu yang harus dila kukan adalah perintah terbang dalam format sama, tetapi ber beda rute. Sebuah peta disodor kan lengkap dengan titik-titik ru te. Ada sebuah garis merah yang wajib diterobos masuk dan dalam waktu dua belas menit harus kembali ke luar. Garis merah itu adalah garis perbatasan antara Israel dan Suriah.

"Kami diperintahkan untuk menembus wilayah Suriah dan menembus sistem radar udara Suriah. Jika tertembak, mereka tidak bertanggungjawab!" ung kap Djoko Poerwoko.

Latihan terbang itu berakhir pada 20 Mei 1980. Mereka pun men dapat brevet penerbang tem pur A-4 Skyhawk dari IAF. Na mun setelah itu brevet dan ijazah nya langsung dibakar oleh para per wira BAIS ABRI yang ber tin dak sebagai perwira peng hubung.

Kemudian seluruh barangbarang kami disita dan dibakar. Termasuk brevet, peta navigasi, catatan pelajaran selama di pangkalan. "Tidak boleh ada be kas atau bukti kalau kalian per nah ke sini (Israel). Maka hapal kan saja di kepala semua pela jaran yang pernah diperoleh!" ujar perwira intelijen itu. Menyusup Ke IsraelSelesai pendidikan di Israel, tidak langsung dibawa menuju Indonesia, tetapi diterbangkan ke New York. Di situlah mereka boleh berfoto, seolah-olah telah me ngikuti pendidikan di Amerika Serikat.

Kemudian di Yuma, Ari zona, diskenariokan masuk la tih an di pangkalan US Ma rine Corps (USMC), Yuma Air Sta tion. Tiga hari dibekali penge ta huan penerbangan A-4 USMC, area latihan dan me ngenal instruk turnya. Terma suk berfoto, se olah diwisuda sebagai pener bang A-4, seka ligus menerima ijasah versi USMC. Inilah kamuflase intelijen.

Pada 4 Mei 1980, persis se hari sebelum pesawat C-5 Ga laxy USAF mendarat di Lanud Iswahyudi Madiun yang meng angkut F-5 E/F Tiger II, paket A-4 Skyhawk gelombang pertama, terdiri dua pesawat single seater dan dua double seater tiba di Tanjung Priok.

Pesawat-pesawat diangkut dengan kapal laut langsung dari Israel, dibalut memakai plastik pembungkus, cocoon berlabel F-5. Seakan-akan menjadi satu pa ket proyek kiriman pesawat ter bang, namun diangkut de ngan alat transportasi berbeda.

"Saya kira tadinya kamu belajar A-4 di Israel, enggak ta hunya malah di Amerika. Kalau begitu isu tersebut enggak be nar ya?" kata seorang koman dan kepada Djoko Poerwoko.

Saat F-5 datang ke Indo nesia, masih belum dilengkapi dengan persenjataan. Sedang kan A-4 justru sudah dipersen jatai dan langsung bisa diguna kan dalam tugas-tugas opera sio nal. Sehingga apa saja ke giat an TNI AU, baik operasi mau pun latihan selalu identik de ngan F-5, walau kadang-ka dang yang melakukannya ada lah pesawat A-4.

Oleh Selamat Ginting

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement