Jumat 27 Mar 2015 20:07 WIB

Berharap pada DPR dan Pemerintahan Baru

Red: operator

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sudah sebelas tahun, sudah tiga kali periode DPR dan pemerintah, masih akankah DPR dan pe merintah melupakan janjinya, masih kah DPR dan pemerintah mening galkan tanggung jawabnya dan meninggalkan catatan gelap nasib PRT di Indonesia dan yang bekerja di luar negeri?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang membayangi benak Koordinator Nasio nal Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Lita Anggraini, menyikapi belum disah kannya RUU PPRT oleh DPR dan pemerintah. Untuk mengetahui harapanha rapan apa saja yang ditambatkan Jala PRT kepada DPR dan peme rintahan baru 2014-2019, berikut sebagian petikan catatannya:

Harapan akan perubahan situasi PRT dan buruh migran pada pemerin tahan dan DPR baru berubah menjadi kekecewaan dan kemarahan, manakala dalam 6 bulan pemerintahan dan 6 bulan DPR justru menunjukkan langkah sebaliknya, jauh dari harapan.

Setiap akhir tahun agenda DPR adalah menetapkan prioritas prolegnas tahunan dan untuk DPR periode ba ru sekaligus merupakan agenda penetapan prolegnas empat tahunan. Seperti biasa bagi kami masa tersebut adalah masa kritis untuk bisa melolos kan RUU PPRT sebagai bagian prolegnas dan prioritas prolegnas tahunan. Dan ini sudah memasuki tahun kesebelas.

Sejak Oktober 2014 kami sudah mengajukan dan mendesak DPR khususnya Komisi IX dan Baleg untuk menetapkan RUU PPRT dan Konvensi ILO 189 sebagai Prolegnas Prioritas 2015. De sakan tersebut semakin kuat ketika pada November, Desember 2014, dan ke mudian Januari-Februari 2015 masyarakat dikejutkan oleh terjadinya kasus kekerasan terhadap sejumlah PRT.

Masyarakat sipil melakukan beberapa aksi. Pertama aksi Mogok Makan 25-27 November 2014 yang kemudian membuat Baleg mau menerima kami pada tanggal 26 November 2014. Dalam pertemuan tersebut Baleg sepakat akan memasukkan RUU PPRT dalam prioritas Prolegnas 2015, tapi dengan catatan bahwa hal itu tetap tergantung pada Usulan Komisi IX.

Pada aksi lainnya tanggal 13 Januari 2015 kami diterima Komisi IX di mana Jala PRT menyampaikan Petisi Ibu Wagini, PRT dari SPRT SUMUT, bersama Change.Org yang telah ditan datangani oleh 17.500 orang yang mendesak agar Komisi IX menetapkan RUU PPRT dan Ratifikasi KILO 189 KL PRT sebagai Prolegnas Prioritas 2015.

Komisi IX juga menyampaikan bahwa RUU PPRT masuk dalam Proleg nas Prioritas 2015. Pada RDPU antara Baleg dan Jala PRT, JKP3, Asosiasi LBH APIK, dan Komnas Perempuan pada tanggal 28 Januari 2015, se kali lagi pimpinan rapat Baleg, Firman Subagyo, menyampaikan dan membacakan bahwa RUU Perlindungan PRT masuk dalam Prolegnas Prioritas 2015.

Namun, yang terjadi dalam Rapat Panja Baleg untuk penetapan Prolegnas Prioritas 2015 tanggal 5-6 Februari 2015, adalah dihapusnya RUU PPRT dari Prolegnas Prioritas 2015. Hal ini menunjukkan bahwa kasus-kasus Kekerasan PRT di dalam negeri, suara Ibu Wagini sebagai PRT, beserta 17.500 ribu warga negara tidaklah menjadi pertimbangan anggota Dewan yang mengikuti rapat saat itu.

Tanggapan DPR baik dari Komisi IX dan Baleg dalam beberapa per temuan, RDPU serta hasil rapat, yang menyatakan tekad untuk mem beri Perlindungan PRT melalui penetapan RUU PPRT sebagai prioritas Prolegnas 2015 hanya kebohongan terhadap publik. Janji palsu yang merupakan sandiwara politik yang tidak bertanggung jawab dan jauh dari keberpihakan terhadap rakyat kecil.

DPR sama sekali tidak memiliki sensitivitas atas Perlindungan PRT. Ini terbukti RUU PRT yang sejak tahun 2004 diperjuangkan dalam dua periode DPR dan pemerintah hingga memasuki tahun kesebelas di tahun 2015 tidak kunjung dibahas dan disahkan. Pemerintah setali tiga uang dengan DPR. Janji kampanye Jokowi-JK yang tertuang dalam visi misi resmi yang disampaikan ke KPU dan disarikan dalam Nawa Cita memasukkan UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) di dalam visi misi. Tak hanya itu, pada hari buruh 1 Mei 2014 Jokowi secara langsung menyatakan dukungan untuk disahkannya UU PPRT.

Perlindungan bagi PRT juga dicantumkan di halaman 23 dan halaman 33 misi misi, yang berbunyi: “Peraturan perundang-undangan dan langkah-langkah perlin dungan bagi semua PRT yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.”

Namun kenyataannya, dalam waktu 6 bulan, pemerintah dalam hal ini Menteri Hanif Dhakiri justru melakukan langkah sebaliknya yang keluar dari Visi Misi Jokowi-JK. Tentu saja 4 bulan bukan waktu yang cukup untuk membenahi atau memperbaiki sistem. Tetapi, langkah 100 hari adalah langkah awal menuju tercapainya visi misi. Setidaknya, yang harus dilakukan oleh Menaker adalah mempersiapkan peraturan perundangan yang sudah dinyatakan dalam visi misi, termasuk me neruskan langkah-langkah yang baik yang sudah dirintis dari pemerintah sebelumnya.

Negara wajib hadir dan melindungi warga negaranya sebagaimana tercantum di dalam Nawa Cita Jokowi- JK. Melindungi bukanlah membatasi apalagi mendiskriminasi. Dihentikannya penempatan PRT migran, terutama dalam kondisi pemiskinan struktural yang terjadi di Indonesia, menunjukan kemalasan pemerintah untuk hadir melindungi warga negaranya di mana pun mereka berada, termasuk warga negara yang bekerja sebagai PRT migran.

Kami mengingatkan dan mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak ingkar janji atas visi misinya yang disampaikan kepada rakyat untuk mewujudkan UU PPRT (bukan per menaker). Kami mendesak Presi den untuk memastikan arah langkah Menaker dalam perlindungan PRT dan buruh migran yang mayoritas adalah PRT perempuan. 

Oleh Nurul S Hamami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement