Jumat 05 Sep 2014 12:00 WIB

Zig-Zag Gus Dur vs TNI

Red:

Oleh: Selamat Ginting (Wartawan Republika) -- Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berbincang serius dengan Panglima TNI Laksamana Widodo AS, Wakil Panglima TNI Jenderal Fach rul Razi, Kepala Staf Ang katan Darat (KSAD) Jenderal Tyasno Sudarto, Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Achmad Sutjipto, dan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Hanafie Asnan. Turut menyaksikan di bangku belakangnya, Kepala Staf Teritorial TNI Letjen Agus Widjojo dan Kepala Staf Umum TNI Letjen Djamari Chaniago.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:EPA/STR

Sekilas terjadi keharmonisan antara Presiden Gus Dur dan petinggi TNI saat perayaan Hari TNI 5 Oktober 2000 di Mabes TNI di Cilangkap, Jakarta Timur itu. Namun, apa yang terjadi keesokan hari nya? Presiden Gus Dur memecat Sutjipto sebagai KSAL dan Tyasno sebagai KSAD.

Bahkan, rumor berkembang Widodo juga akan dipecat sebagai Panglima TNI dan digantikan KSAU Hanafie. Namun untuk pencopotan Panglima TNI tidak mudah, sebab harus melalui mekanisme di parlemen sehingga posisi Widodo relatif aman.

Sutjipto merasakan bahwa ada sesuatu yang janggal dari pencopotannya yang mendadak itu. Apalagi, Panglima TNI me nyatakan tidak tahu menahu alasan pen copotan tersebut. Ia kemudian menanya kan masalah itu kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri.

Megawati mengakui bahwa Gus Dur menceritakan alasan pencopotan itu, karena Sutjipto diketahui 11 kali bertemu dengan mantan Presiden Soeharto. Mendengar penjelasan Megawati, Sutijipto mengungkapkan bahwa dia terakhir kali berjumpa dan bersalaman dengan Presi den Soeharto ketika dia menjadi Panglima Armada Barat dalam sebuah upacara militer, empat tahun lalu, yakni pada 1996.

Sutijipto merasa difitnah dan men duga ada yang salah memberikan infor masi kepada Presiden Gus Dur. Namun beberapa hari kemudian, ia tetap harus menyerahkan jabatan KSAL kepada Laksdya Indroko Sastrowiryono, yang sebelumnya menjadi Wakil KSAL.

Belakangan diketahui nama Soeharto yang dimaksud, sebenarnya bukan man tan Presiden Soeharto, melainkan Letjen (Marinir) Suharto. Mantan komandan Korps Marinir itu memiliki kedudukan sebagai Inspektur Jenderal Departemen Pertahanan. Kedekatan Sutjipto dengan Suharto tentu saja wajar, karena kedua nya sama-sama lulusan AAL 1969.

Akhirnya, Sutjipto menduga bahwa pembisik Gus Dur soal dirinya justru berasal dari dalam Angkatan Laut juga. Dia adalah Letnan Kolonel Laut (Pelaut) Juanda Wijaya yang memiliki hubungan dekat dengan Gus Dur. Dia menjadi staf ahli Menteri Luar Negeri Alwi Shihab.

Akan tetapi, Gus Dur sudah telanjur me mecat Sutjipto. Selain KSAL, KSAD pun diganti. Tyasno akhirnya digantikan oleh Letjen Endriartono Sutarto yang sebelumnya menjadi Wakil KSAD setelah terjadi tarik menarik sengit antara Presiden Gus Dur dan petinggi TNI.

Tyasno pun tidak diberitahukan Pang lima TNI soal pencopotan mendadak oleh Presiden Gus Dur. Belakangan ia men dapatkan jawaban, dianggap tidak bisa mengamankan perwira yang sedang di rencanakan Gus Dur akan menjadi pim pin an Angkatan Darat. Perwira tinggi itu adalah Letjen Agus Wirahadikusuma atau dikenal dengan singkatan AWK.

Gus Dur memang menginginkan AWK yang dikenal sebagai perwira reformis untuk menjadi KSAD menggantikan Tyasno. Namun, upaya itu tidak mudah, bahkan menghadapi perlawanan dari perwira tinggi Angkatan Darat.

Dua bulan sebelumnya, pada 1 Agus tus 2000, justru AWK dicopot dari kursi Panglima Kostrad. Padahal, jabatan itu baru dipegangnya selama empat bulan setelah sebelumnya dia menjabat sebagai Panglima Kodam Wirabuana di Makassar, Sulawesi Selatan.

Kontroversi AWK

Mengapa KSAD Tyasno mengusulkan kepada Panglima TNI Widodo untuk mencopot AWK dari posisi Pangkostrad? Saat itu untuk mereformasi TNI, khu susnya Angkatan Darat, Gus Dur mem butuhkan dukungan dari dalam tubuh Angkatan Darat. Pilihan itu, antara lain, dipercayakan kepada AWK, Mayjen Saurip Kadi, dan Brigjen Romulo Sim bolon. Ketiganya teman satu angkatan dengan SBY, yakni lulusan Akmil 1973.

AWK memang dianggap kontroversial dan terlalu berani. Ia salah seorang per wira yang gencar mendorong terjadinya per ubahan dalam tubuh TNI. Tak heran kalau kemudian ia terlibat perselisihan pendapat dengan rekan-rekan, termasuk seniornya di TNI, Jenderal (Purn) Wiranto. AWK dengan lantang meneriakkan perlunya penghapusan dwifungsi TNI.

Karena baginya, itu adalah ‘anak haram’ rezim Orde Baru. Ia juga yang meng usulkan supaya komando teritorial diku rangi dengan menghapus Komando Rayon Militer (Koramil) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa). "Di Jawa tidak perlu ada lagi Kodam. Kodam hanya diperlukan di daerah-daerah yang jangkauan peme rintah dae rahnya masih terbatas," kata keponakan mantan Wapres Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusuma itu.

Ketika memegang jabatan Asisten Perencanaan Umum Panglima TNI, ia se tuju mulai tahun 2000 TNI tidak lagi pu nya wakil di DPR. Selain itu, TNI juga ti dak akan menolak UUD 1945 diamen de menkan bila memang sudah tidak sesuai.

"Kalau rakyat menghendaki dihapus, kita hapus wakil (TNI) di DPR," kata Agus saat menjadi pembicara seminar ten tang Hubungan Sipil-Militer di Indonesia. Menurutnya, TNI kini telah dan akan melakukan melakukan reformasi internal. Pada masa depan, keterlibatan TNI dalam bi dang politik hanya sebatas tingkat penentuan policy semata, yaitu di MPR. "Dia (TNI) tidak boleh merambah ke mana-mana. Bila anggota TNI ingin men jadi gubernur atau bupati, harus pensiun," katanya saat itu.

Yang paling menghebohkan saat AWK mengaudit keuangan perusahaan-per usahaan di bawah Yayasan Dharma Putra, Kostrad yang dinilainya janggal. Tim auditor independen menemukan adanya kebocoran dana lebih dari Rp 223 miliar. Kasus tersebut menyeret mantan Pangkostrad Letjen Djaja Suparman yang dikenal dekat dengan Wiranto. Dengan demikian, sejumlah jenderal sempat membicarakan manuver AWK.

Disebut-sebut ada beberapa kesalahan AWK, ter utama perilakunya yang dianggap melanggar etika dan disiplin prajurit. Mi salnya, ketika mengusulkan Wiranto mundur dari posisi Menko Polkam pada Februari 2000 lalu. Wiranto akhirnya memang di copot Presiden Gus Dur.

Pencopotan AWK, Tyasno dan Sutijipto, menjadi bagian dari dinamika politik tingkat tinggi yang melibatkan persete ruan Presiden Gus Dur dengan petinggi militer. "Silakan. Saya siap di-DKP-kan asal semua berlangsung terbuka, transparan, dan disaksikan langsung oleh publik," tantang AWK. Pernyataan itu dikemuka kannya setelah munculnya gagasan mem bawa AWK ke dalam Dewan Kehormatan Perwira (DKP).

Pertengahan September 2000, usai lawatan kenegaraan ke sejumlah negara, Presiden menerima laporan bahwa di Ban dung, sekitar 45 jenderal Angkatan Darat, dimotori KSAD Jenderal Tyasno Sudarto, hampir semua pangdam seluruh Indonesia hadir dalam pertemuan dengan tuan rumah Komandan Kodiklatad Letjen Amir Sembiring.

Tajuk pertemuan itu adalah presetya (janji) perwira. Hasilnya, sebuah memo randum. Poin pertama dan kedua, per nya tan setia kepada Negara Kesatuan RI dan pemerintahan yang sah. Yang kon troversial adalah poin terakhir, yaitu per mintaan para perwira kepada KSAD untuk mengajukan AWK ke DKP karena dianggap beberapa kali melanggar kode etik perwira.

Setelah pertemuan di Bandung ter sebut, dua hari menjelang Hari TNI tahun 2000 itu, dipimpin Pangdam Jayakarta Mayjen Slamet Kirbiantoro, empat pang dam se-Jawa, yakni’ Pangdam Siliwangi Mayjen Zainuri Hasyim, Pangdam Di ponegoro Mayjen Sumarsono, dan Pangdam Brawijaya Mayjen Sudi Silalahi, serta Danjen Kopassus Mayjen Amirul Isnaeni membawa memorandum itu ke kediaman Wakil Presiden Megawati.

Kepada wapres, delegasi ini terus terang menyampaikan keberatan para perwira Angkatan Darat terhadap kemungkinan naiknya AWK menjadi KSAD. Di depan wapres, mereka tak sungkan-sung kan menyampaikan ancaman, kalau Presiden Gus Dur tetap bersikukuh menunjuk AWK, sejumlah jenderal Angkatan Darat akan mundur.

Saat menjemput kedatangan Presiden di Halim Perdanakusumah, ihwal itulah yang dibisikkan Mega ke Gus Dur, dan ber lanjut di Istana Merdeka. Itulah me ngapa wajah Gus Dur tampak memerah menahan geram.

Presiden pun memanggil Menko sos polkam SBY dan meminta mem bicarakan laporan Megawati itu kepada para pe tinggi militer. Melalui SBY, Presiden tetap memperjuangkan AWK, setidaknya di posisi Wakil KSAD, Kasum TNI, atau Ko mandan Kodiklatad.

Rupanya, para perwira Angkatan Da rat tidak mundur selangkah pun. Ke pada Wakil KSAD Letjen Endriartono Su tarto, salah satu kandidat kuat KSAD, misalnya, SBY minta Sutarto mau menerima AWK menjadi Wakil KSAD. Namun, Sutarto menolak dan mengusulkan Pangkostrad Letjen Ryamizard Ryacudu seperti usulan presiden sebelumnya, sebagai Wakil KSAD.

Mendapatkan perlawanan seperti itu, Presiden memanggil sejumlah menteri,, antara lain, Menteri Pertahanan dan Menteri Luar Negeri untuk meminta saran. Kedua menteri itu berasal dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), partai yang didirikan Gus Dur. Pada pertemuan itu disepakati untuk tidak mengganti Panglima TNI. Mutasi hanya berlangsung pada tingkat KSAD dan KSAL.

"Tidak ada penggantian Panglima TNI. Yang ada perombakan di tingkat kepala staf angkatan ke bawah," tutur Menteri Pertahanan Mahfud MD.

Padahal, sebelumnya, santer dibi carakan kemungkinan naiknya KSAU Hanafie Asnan menggantikan Widodo sebagai Panglima TNI. Presiden tampaknya memilih memperkecil resistansi di tubuh TNI.

AWK pun akhirnya tidak menda patkan posisi apapun. Posisi Wakil KSAD yang ditinggalkan Endriartono dibiarkan kosong selama satu bulan. Posisi itu kemudian dipercayakan kepada Mayjen Kiki Syahnakrie (Akmil 1971) yang sebelumnya menjadi Pangdam Udayana di Denpasar, Bali.

Rangkaian peristiwa mutasi di tubuh Angkatan Darat seperti itu mengisyarat kan bahwa para perwira Angkat an Darat sedang mengibarkan bendera peringatan kepada Presiden. "Ini sebuah smoke signal," tutur pengamat militer Salim Said.

Pertemuan 45 perwira di Bandung sampai maju-mundurnya pengumuman penggantian KSAD dan Wakil KSAD, tidak pernah terjadi selama 30 tahun ter akhir. Sebelumnya selalu diumumkan, baru kemudian dicari waktu pelantikan. Bukan penundaan yang berlarut dan mengundang spekulasi publik. Peristiwa itu menunjukkan bahwa proses reformasi di tubuh TNI pada era Presiden Gus Dur tidak semudah membalik telapak tangan. Bahkan, terjadi konflik elite Gus Dur dengan petinggi TNI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement