Senin 02 Jun 2014 15:00 WIB

Di Bawah Bayang Ratu Adil

Red:

oleh:Muhammad Subarkah 

Meski belum pernah datang,sosok Ratu Adil tetap dirindukan.Lalu,benarkah Ratu Adil itu justru merupakan ekspresi dari impian hidup sejahtera dari  rakyat kecil yang hidupnya tertindas?

''Sebentar lagi Ratu Adil akan datang!'' Entah mengapa di sela-sela hiruk-pikuk kampanye pemilihan presiden tiba-tiba ungkapan itu muncul kembali. Di berbagai media sosial 'gosip' itu meluas. Berbagai buku bertema Ratu Adil bermunculan di toko-toko buku, mulai dari yang sifatnya kajian ilmiah hingga bergaya sajian sastra seperti novel. Mitos Ratu Adil terus menjadi bayang-bayang yang bergentayangan di benak publik.

''Sudahlah Ratu Adil tak ada. Dia tak akan datang. Lagi pula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil,'' tutur mendiang budayawan WS Rendra dalam banyak forum perbincangan. Impian akan datangnya Ratu Adil, kata dia, merupakan impian yang muncul akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan di masyarakat yang menghilang. Suasana terasa sumpek karena hanya berisi keculasan. Budaya dan sistem sosial terasa tak berguna karena hanya menyajian kerendahan selera. Zaman masuk dalam situasi paradoks atau Kaliyuga.

                                                                *****

Di tengah impitan zaman itu muncullah sosok pemimpin yang memerankan dirinya layaknya juru selamat, Imam Mahdi, atau Mesiah. Klaim yang paling lazim dikenal publik adalah adanya sosok seorang Ratu Adil. Sosok ini datang dari 'negeri antah berantah' dan tak jelas benar apa rekan jejaknya, tapi anehnya rakyat secara luas percaya tanpa perlu sibuk menelisiknya.

Sejarawan Universitas Indonesia, Mohammad Iskandar, mengatakan bila mitos Ratu Adil sampai sekarang masih terus eksis, itu jelas bukanlah hal yang aneh. Sebab, di samping kesengsaraan rakyat masih meluas, kepercayaan akan ada sosok pemimpin yang menjadi 'juru selamat' itu sudah ada semenjak dahulu kala. Bukan hanya itu, kepercayaan terhadap sosok pemimpin yang seperti ini sudah semenjak ratusan lalu hampir merata ada di semua wilayah.

''Di setiap wilayah (terutama di Jawa Raya—Red)  hampir semua punya sosok Ratu Adil meski berbeda-beda ekspresinya. Di Jawa Tengah dan Jawa Timur selalu yang menjadi aktor itu adalah sosok yang berasal dari kalangan priayi atau bangsawan. Tapi kalau wilayah Jawa Barat, terutama wilayah Priangan, Banten, dan Bogor, dari kalangan petani sendiri. Perbedaan ini terjadi karena struktur masyarakatnya memang berbeda,'' kata Iskandar.

Namun, lanjut Iskandar, pada masa lalu sebenarnya munculnya gerakan sosial yang bernama Ratu Adil juga tak murni ekspresi masyarakat itu sendiri. Kemunculan sosok tersebut ternyata sebagian besar merupakan bentukan pemerintah kolonial. Menurutnya, pembentukan sosok pemimpin gerakan sosial dengan ekspresi ala Ratu Adil (Mesiah) juga karena dibentuk atau 'ditiup-tiup' (rekayasa--Red) oleh kolonial Belanda.

''Ini tampak jelas bila melihat kemunculan sosok Ratu Adil yang begitu marak pada abad ke-19. Saat itu, suasana 'Islamofobia' sudah muncul secara kuat. Setiap ada orang yang berkumpul di masjid langsung dituduh akan berontak. Setiap kali muncul pemimpin Islam yang karismatik, maka dengan gampang dia disebut Ratu Adil. Ini terlihat jelas bila mengacu pemberitaan di koran, birokrasi, bahkan ruang parlemen di Belanda yang saat itu ada. Jadi, memang kental suasana 'Islamofobia' itu,'' kata Iskandar.

Dari kajian Iskandar, bagi gerakan Ratu Adil legitimasi agama atau kepercayaan memang prasyarat yang sangat penting. Ini dapat dimengerti karena bila memakai ajaran agama, maka orang pun akan berani mati untuk membela orang dan ajarannya. ''Dan memang, pada abad-abad tersebut yang paling menonjol semangat munculnya Ratu Adil itu didorong oleh ajaran Islam. Akibatnya, pihak kolonial akan selalu 'memasang mata' curiga bila ada orang Islam yang punya pengikut banyak.''

Lalu, dari mana asal usul mitos Ratu Adil? Untuk menjawabnya, ada sebuah tulisan hasil wawancara mendiang Prof DR H Mohammad Rasyidi dalam Majalah Prisma edisi I tahun 1977. Menurut Rasyidi, harapan akan datangnya seorang 'juru selamat' itu merupakan gejala kemanusian yang umum. Orang berada dalam penderitaan atau tekanan yang tak tertahankan, akan mengharapkan datangnya seseorang yang bisa membebaskannya dari penderitaan itu. Nama 'juru selamat' itu berbagai macam, bisa saja Mesiah, Ratu Adil, Al Masih, atau Imam Mahdi.

''Sejak ribuan tahun sebelum Masehi, gejala ini sudah berkembang di kalangan bangsa Yahudi. Semula mereka mempunyai kerajaan besar yang kemudian ditaklukkan oleh bangsa lain. Mereka ingin kerajaan itu kembali melalui tangan seorang juru selamat. Perjanjian Lama memang meramalkan datangnya 'Mesiah' itu walaupun ada beberapa keterangan yang berbeda-beda.  Ada yang mengatakan, 'Mesiah' akan datang dari keturunan Nabi Daud, yang mengembalikan kebesaran kerajaan Daud dahulu,'' ujar Rasyidi yang juga mantan menteri agama itu.

Namun, ada juga yang mengatakan 'Mesiah' itu dilahirkan secara supernatural oleh seorang wanita. Oleh karena itu, ketika Isa dilahirkan dan menjadi nabi pada usia 30 tahun, banyak orang yang berharap agar ia memainkan peran sebagai 'Mesiah' dalam arti penyelamat yang akan membebaskan bangsanya dari penindasan bangsa lain. Kalau perlu, menggunakan kekerasan. Namun, Nabi Isa menolak melakukan peran itu. Ia menganggap dirinya bertugas menyelamatkan domba-domba Israel dari kebangkrutan rohaniah, bertindak semacam pembaru bagi agama Yahudi. Ia mulai kebangun rohani dalam agama yang semakin legalistis dan mekanistis itu.

''Namun, ide tentang juru selamat tak pernah hilang dari bangsa Yahudi yang sejak ribuan tahun mendambakan kedatangannya. Kalau kita perkirakan masa antara Perjanjian Lama sampai baru itu sekitar 1.500 tahun. Maka, sepanjang waktu itu harapan akan datangnya 'Mesiah' tiap-tiap kali timbul kembali.”

                                                                                  ******

Kemudian, bagaimana sosok Al Masih dan Imam Mahdi dalam Islam? Mengupas soal ini, Rasyidi menyatakan perkataan Mesiah berasal dari bahasa Ibrani (Mashiah). Dalam bahasa Arab disebut Al-Masih. Arti sebenarnya adalah orang yang diusap dengan minyak kasturi. Perkataan Latin Christos sebenarnya juga terjemahan dari 'Mashiah' itu. Istilah ini selanjutnya digunakan untuk menyebut orang yang dipermuliakan,'juru selamat'.

Menurut dia, dalam eskatologi Islam memang diceritakan akan datangnya Al Masih menjelang hari kiamat, yang menertibkan keadaan yang dirusak oleh Dajal. Akan tetapi, ini bukan merupakan doktrin pokok. Yang pokok adalah kepercayaan akan datangnya hari kiamat. Kisah Al Masih dan Dajal itu hanya terdapat dalam hadis, tetapi tidak dalam Alquran. Sedangkan, hadis hanyalah sumber kedua.

''Lagi pula, eskatologis itu memang tidak bisa diterangkan secara akal. Jadi, orang bisa percaya atau tidak percaya. Yang jelas, eskatologis ini tidak ada hubungannya dengan gerakan politik. Gerakan mesianis dalam Islam tidak timbul karena eskatologis ini, tetapi oleh konsep lain tentang Imam Mahdi,'' katanya.

Konsep Imam Mahdi sendiri mula-mula timbul sesudah kacaunya soal kekhalifahan sejak Usman bin Affan. Ali bin Abi Thalib yang menggantikan kedudukannya kemudian terbunuh oleh kaum Khawarij. Husein anak Ali yang menuntut kekhalifahan, juga terbunuh dalam perang Karbela. Maka, para pengikutya kemudian mengangkat anak Ali yang lain (yang bukan keturunan Fatimah binti Muhammad), Muhamamd Al Hanafiyah. Ia dijuluki Imam Mahdi, yang berarti 'pemimpin yang mendapatlan petunjuk Tuhan'.

''Sejak itu ide tentang Imam Mahdi bermunculan di dunia Islam. Ini terjadi di Maroko, Spanyol, Tunisia, dan juga Sudan. Gerakan ini umumnya timbul sebagai perlawanan terhadap penguasa yang dianggap zalim atau terhadap kekuasaan asing,'' kata Rasyidi.

Kalau begitu, masihkah perlu menunggu datangnya Ratu Adil..?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement