Kamis 16 Jun 2016 20:13 WIB

CATATAN PIALA EROPA- Bosman, Uni Eropa, dan Islandia

Red:

Dengan segala macam standar, sukar menyebut Jean-Marc Bosman sebagai pemain terbaik di zamannya. Sepanjang karier sebagai pemain pada 1980-an hingga pertengahan 1990-an, pria kelahiran Belgia tersebut paling top bermain di klub Divisi Satu Liga Belgia atau kasta kedua Liga Prancis. Pemain tengah itu hanya berhasil mencetak empat gol sepanjang karier profesionalnya.

Alkisah, pada 1990 Bosman merasa cukup bermain di RFC Liege, sebuah klub Divisi Satu Liga Belgia. Sehubungan kontraknya habis, ia ditawari bergabung dengan Dunkerque, sebuah klub Prancis. Persoalannya, Liege menetapkan aturan bahwa Bosman hanya bisa pindah dengan syarat 75 persen gajinya masuk ke kas klub tersebut. Dunkerque keberatan dan akhirnya tak jadi membeli Bosman.

Bosman yang merasa dicurangi kemudian mengontak Jean-Louis Dupont, seorang pengacara junior. Dupont dengan cerdas membawa kasus tersebut ke Pengadilan Eropa dengan asumsi bahwa Liege melanggar prinsip "kebebasan bergerak para pekerja", kesepakatan sebagian negara Eropa yang nantinya jadi tonggak Uni Eropa.

Pada 1995, putusan atas gugatan keluar. Hakim memutuskan, klub sepak bola tak boleh lagi melarang pemain bermain di negara Uni Eropa lainnya. Klub juga tak boleh memungut biaya transfer dan mengutip gaji pemain yang telah habis masa kontraknya.

Namun, ada satu putusan lain yang punya dampak luar biasa terhadap persepakbolaan Eropa: hakim memutuskan, negara-negara Uni Eropa tak boleh lagi memberlakukan kuota pemain asing terhadap pemain yang berasal dari negara sesama Uni Eropa. Sebelum putusan tersebut, yang jamak berlaku di Eropa, masing-masing klub hanya boleh memainkan dua sampai lima pemain asing, terlepas dari negara mana ia berasal.

Sekat-sekat bagi para pemain sepak bola Benua Biru runtuh. Lapangan bermain jadi jauh lebih luas, mengabaikan batas negara-negara di Eropa. Liga-liga papan atas di Eropa memang tak bertambah jumlahnya. Namun, penghapusan kuota membuat liga-liga tersebut jadi lebih mudah diakses pemain dari negara-negara Uni Eropa yang liganya kurang mentereng.

Merunut pendataan federasi sepak bola Inggris (FA), dua tahun sebelum putusan Gosman berlaku, hanya sebelas pemain di Liga Premier yang berasal dari luar Inggris dan Irlandia. Pada 2010, jumlah pemain asing di Liga Primer sudah mencapai 60 persen lebih dari keseluruhan pemain. Sebagian besar pemain-pemain asing tersebut berasal dari berbagai negara Uni Eropa.

Demikian juga di Seri A Liga Italia. Pada musim 2015-2016, menurut Bleacher Report, sebanyak 307 dari 551 pemain (55 persen) yang berlaga di Seri A bukan orang Italia. Lima klub papan atas Seri A masing-masing  memiliki lebih dari 70 persen pemain asing.

Dengan kecenderungan tersebut, di negara-negara sepak bola tradisional muncul keluhan soal bagaimana longgarnya regulasi pemain asing menghambat talenta lokal. Tetapi, di lain sisi, regulasi tersebut juga menyebar kesempatan ke seantero Eropa. Ia merobohkan monopoli talenta di Benua Biru.

Regulasi kebebasan pergerakan pemain Uni Eropa memungkinkan Belgia jadi kekuatan signifikan dengan hanya empat pemain liga lokal dari 23 pemain yang mereka bawa dalam helatan Piala eropa 2016 ini. Kendati kalah, yang terkesan saat mereka melawan Italia akhir pekan lalu adalah bertemunya dua tim yang sama kuat.

Ia juga memungkinkan negara mini berpenduduk 300 ribu orang bernama Islandia bisa punya timnas kuat yang mampu menahan imbang Portugal dini hari kemarin. Tak ada satu pun pemain Islandia yang berlaga di Piala Eropa kali ini bermain di liga negara mereka sendiri.

Tentu tak serta-merta seluruh negara Eropa jadi sepadan dalam persepakbolaan. Kendati demikian, kian kemari, kekuatan sepak bola negara-negara Eropa jadi tak lagi timpang. Adapun yang didapatkan penggemar sepak bola kemudian adalah pertandingan yang lebih seru.

Jika bukan Bosman pada 1990, pasti bakal ada pemain lain yang bakal mengajukan gugatan serupa dengan dampak putusan yang serupa pula. Bagaimanapun, dunia harus berdamai dengan fakta bahwa si pemain semenjana itu yang berperan signifikan mengubah wajah persepakbolaan Eropa. Ia jadi salah satu sebab Piala Eropa lebih asyik ditonton ketimbang kompetisi sepak bola antarnegara lainnya.    Oleh Fitriyan Zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement