Rabu 17 Sep 2014 13:00 WIB

Basis Karakter Kemajuan (1)

Red:

Presiden Indonesia pertama, Soekarno, mengisahkan pengamalan yang menggugah ketika beliau diwisuda di Technische Hoogeschool (sekarang Institut Teknologi Bandung). Ketika Rektor menyerahkankan ijazah insinyur kepada Bung Karno, secara mengejutkan ia berkata, "Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, bahwa satu-satunya hal yang abadi adalah karakter dari seseorang."

Atas ucapan tersebut, Bung Karno mengatakan, "Kenangan terhadap karakter itu akan tetap hidup, sekalipun dia mati. Aku tak pernah melupakan kata-kata ini" (Adam, 2011: 81).

Karakter adalah lukisan sang jiwa. Ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang yang terkait dengan kualitas-kualitas moral, ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). Sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksistensi seseorang/sekelompok orang sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, "When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost."

Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak memiliki keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter. Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang seperti sebuah bangsa.

Ibarat individu, pada hakikatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian "bangsa" (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan bahwa "Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman."

Perhatian terhadap variabel budaya terutama karakter sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan politik suatu masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada 1940-an dan 1950-an. Para pengkaji budaya pada periode ini, dengan sederet nama besar seperti Margareth Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Sidney Verba, Lucian Pye, dan Seymour Martin Lipset memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk mengejar kemajuan bagi negara-negara yang terpuruk pasca-Perang Dunia kedua.

Namun, seiring dengan gemuruh laju developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an. Kegagalan pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an.

Pada 1985, Lawrence Horrison dari Harvard Center for International Affairs menerbitkan buku Underdevelopment Is a State of Mind: The Latin American Case yang menunjukkan bahwa di kebanyakan negara Amerika Latin, budaya merupakan hambatan utama untuk berkembang.

Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara-negara multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan sosial politik dan krisis ekonomi yang sama, tapi sebagian kelompok lebih berhasil dibanding kelompok lainnya. Ambillah contoh keberhasilan minoritas etnis Tionghoa di Asia Tenggara, minoritas Jepang di Brasil, Basque di Spanyol, serta Yahudi ke manapun mereka bermigrasi.

Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan politik ditunjukkan, antara lain, oleh riset yang dilakukan oleh Robert Putnam (1993) dan Ronald Inglehart (2000). Menurut Putnam, budaya adalah akar dari perbedaan-perbedaan yang besar antara Italia utara yang bercorak demokratis dan Italia selatan yang bercorak otoritarian. Kesimpulan kedua ilmuwan tersebut mewarisi pemikiran rintisan dari Alexis de Tocqueville (1835) yang menyimpulkan bahwa apa yang membuat sistem politik Amerika berhasil adalah kecocokan budayanya dengan demokrasi.

Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, HG Wells, "Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?" Lantas ia jawab sendiri bahwa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak penduduknya, melainkan bergantung pada kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya. n

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement