Kamis 29 Sep 2016 14:00 WIB

MKD DPR Pulihkan Nama Setya Novanto

Red:

JAKARTA -- Mahkamah Kehormatan Dewan DPR memulihkan nama baik mantan ketua DPR Setya Novanto yang sempat tersangkut kasus "papa minta saham". Menurut ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad, keputusan sidang atas permohonan peninjauan proses perkara di MKD, terkait proses pelaporan Sudirman Said terhadap Setya Novanto pada Selasa (27/9), memutuskan menerima peninjauan kembali perkembangan proses perkara yang diajukan Setya Novanto.

Ia menjelaskan, dalam keputusan diambil karena alat bukti utama pada proses persidangan kemarin adalah bukti rekaman elektronik, yang dinyatakan oleh MK tidak sah karena didapatkan dari orang atau lembaga yang tidak bisa mengambil rekaman.

''Sehingga, kita memutuskan proses persidangan itu tidak mempunyai dasar hukum untuk memutuskan etika, kemudian yang ketiga adalah keputusannya memulihkan nama baik dan harkat derajat dan martabat Setya Novanto itu yang diputuskan,'' kata Dasco, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta (28/9).

Setya Novanto memang tidak pernah dihukum oleh MKD karena sesaat sebelum diputuskan nasibnya dalam sidang MKD, ketua umum Partai Golkar tersebut mundur sebagai ketua DPR. Namun, Novanto meminta peninjauan kembali atas proses perkara yang terjadi.

Proses perkara yang terjadi itu, lanjut Dasco, yang membuat Novanto merasa namanya dicemarkan karena adanya bukti yang dipakai yang dinyatakan tidak sah.

''Sehingga, dalam permohonannya itu meninjau kembali proses perkara dan dia tidak meminta untuk direhabilitasi untuk kedudukannya. Cuma minta untuk dipulihkan nama baiknya, harkat dan martabat itu,'' ucap dia.

Dasco menegaskan, Novanto tidak meminta agar jabatan ketua DPR dikembalikan kepadanya. Novanto melepas jabatan karena keinginannya sendiri.

''MKD tidak bisa merehabilitasi kedudukan dan juga kan dia tidak minta rehabilitasi kedudukan dan tidak minta. Kita sudah beri tahu kepada pimpinan kita sudah beri tahu kepada fraksi dan yang bersangkutan,'' kata politikus Gerindra tersebut menjelaskan.

MK mengabulkan seluruh gugatan uji materi atau judicial review (JR) terkait penafsiran "permufakatan jahat" yang diajukan mantan ketua DPR Setya Novanto.

Dalam berkas perkara nomor 21/PUU-XIV/2016, pemohon mengajukan uji materi Pasal 15 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud pasal 2, pasal 3, pasal 5 sampai dengan pasal 14.

Kata "permufakatan jahat" dalam pasal ini mengacu pada Pasal 88 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Novanto menilai, pengertian tentang permufakatan jahat pada Pasal 15 UU Tipikor itu multitafsir atau tidak jelas.

Dengan demikian, hal itu membuka potensi terjadinya pelanggaran hak asasi yang disebabkan penegakan hukum yang keliru karena muncul penafsiran yang beraneka ragam dari pakar hukum pidana.    rep: Eko Supriyadi, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement