Sabtu 20 Feb 2016 17:39 WIB

Pemerintah Beda Pendapat

Red: operator

Keseriusan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK masih diragukan.

 

JAKARTA--Pemerintah dinilai berbeda pendapat terkait revisi UU KPK. Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi Sapto Prabowo menyebut presiden belum pernah mengirim surat presiden (surpres) untuk revisi Undang-Undang KPK ke DPR RI. Sementara, Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim surpres sudah ditandatangani dan dikirimkan ke DPR. 

"Tidak benar surpres sudah dikirim (ke DPR)," ujar Johan Budi di Kompleks Ista na Kepresidenan, Jakarta, Jumat (19/2).

Johan menjelaskan, pemerintah hingga kini belum pernah menerima draf final revisi UU KPK. Sebab, pembahasan draf revisi UU KPK di tingkat paripurna yang sedianya digelar pada Kamis (18/2) batal terlaksana. 

Dia menjelaskan, pembahasan di tingkat paripurna DPR saja dibatalkan dan diundur pada pekan depan. Hal itu menandakan belum ada surpres. Surat itu berfungsi sebagai lampu hijau.

Apabila telah dikirim ke DPR, artinya pemerintah telah setuju membahas revisi UU KPK bersama-sama dengan DPR. 

Sebaliknya, Luhut menyebut bahwa presiden telah menandatangani supres untuk revisi Undang-Undang KPK. "Presiden sudah menyampaikan. Jadi, (surpres) sudah dikirim ke DPR," ucapnya.

Namun demikian, Luhut mengaku tak ingat kapan surpres tersebut ditandatangani Jokowi. Dia hanya menyebut bahwa dalam surpres itu presiden menunjuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly untuk ikut dalam pembahasan revisi dengan DPR. 

Luhut juga menambahkan, surpres revisi UU KPK telah dikirim ke DPR bersamaan dengan surpres untuk revisi UU Terorisme dan UU Tax Amnesty. 

Kendati menyebut presiden sudah menandatangani surpres, Luhut mengatakan bahwa pemerintah hingga kini belum tahu detail isi revisi UU Pemberantasan Korupsi tersebut. "Kalau dari pemerintah posisinya jelas, tidak ada niat sama sekali untuk memperlemah, malah memperkuat," ucap dia.

Sementara, DPR mengaku belum menerima surpres untuk pembahasan revisi UU KPK. Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengatakan, pembahasan revisi UU KPK sangat bergantung dari sikap pemerintah. Keseriusan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK masih diragukan. Sebab, tahun lalu, pemerintah yang justru mengambil sikap untuk menunda pembahasan. Padahal, sejak awal, revisi UU KPK adalah inisiatif dari pemerintah.

Fadli menyatakan, DPR akan memeriksa apakah surpres memang sudah ada. Kalau ada, justru mem buktikan pemerintah yang ngototingin revisi UU KPK. Pembahasan di DPR terkait revisi UU KPK apakah disepakati atau tidak menjadi inisiatif DPR masih belum final.

"Kita lihat apa betul ada surpresnya karena itu yang kita ragukan juga dari pemerintah ada maju-mundur dalam beberapa hal," tutur Fadli.

Secara sistem dan kebiasaan pembahasan UU, surpres keluar setelah ada keputusan di sidang paripurna. Rapat paripurna sudah tertunda dari jadwal yang seharusnya ditetapkan, Kamis (18/2). Jadi, saat ini keputusan apakah revisi UU KPK akan menjadi usulan DPR bergantung dari rapat paripurna berikutnya.

Politikus Partai Gerindra ini mengatakan, DPR akan berkonsultasi dengan presiden untuk kelanjutan dari nasib revisi UU KPK. DPR akan meminta kejelasan sikap Jokowi apakah ingin melanjutkan revisi UU KPK ini atau tidak. Jangan sampai DPR yang menjadi tumbal sanksi publik karena terkesan ngototuntuk melakukan revisi UU KPK.

Padahal, yang terjadi sangat mungkin sebaliknya.

Wakil Ketua DPR RI Agus Hermanto menilai, pemerintah terlalu terburu- buru kalau sudah mengeluarkan surpres soal revisi UU KPK. Sebab, proses revisi UU KPK sebagai inisiatif DPR belum selesai. Politikus Partai Demokrat ini menambahkan, seharusnya surpres baru keluar kalau DPR sudah mengirimkan surat pada Presiden Joko Widodo setelah revisi UU KPK disetujui jadi inisiatif DPR.

Terlebih, revisi UU ini sangat sensitif untuk dibahas. Agus menilai, masih banyak pro dan kontra terkait rencana revisi UU KPK. Bahkan, sikap Demokrat sendiri masih menolak terhadap draf yang ada di revisi UU KPK yang terakhir.

Me nurutnya, empat poin revisi yang diajukan pengusul bukan untuk memerkuat kewenangan KPK, melainkan mem batasinya.

"Mayoritas masyarakat belum menyetujui sehingga harus menguatkan dari KPK. Empat poin revisi, Demokrat belum atau tidak menyetujuinya," tegas dia.

Agus melanjutkan, seharusnya pemerintah menunggu hasil dari pembahasan rencana revisi UU KPK menjadi inisiatif dari DPR RI. Kalau memang sudah disetujui oleh DPR sebagai RUU inisiatif dewan, pemerintah dapat mengeluarkan surpres. Namun, kalau tidak, pemerintah tidak perlu mengeluarkan surpres. Pemerintah, kata Agus Hermanto, harusnya mengetahui sistem pembahasan RUU.

Belum beralasan Lembaga swadaya masyarakat (LSM) antikorupsi, Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan, tak ada alasan mendesak untuk merevisi undang-undang (UU) KPK. UU Nomor 30 Tahun 2002 itu dinilai masih layak menjadi dasar pemberantasan korupsi.

Koordinator Bidang Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho menyatakan, Presiden Joko Widodo seharusnya berkomitmen dalam gerakan antikorupsi. "Tidak ada alasan mendesak mengeluarkan revisi serta merevisi hanya membuat citra pemerintah menjadi jelek," katanya.

Ia memaparkan, sebagian besar masyarakat Indonesia tidak menginginkan revisi itu. Pihaknya sempat membuat survei. Hasilnya, lebih dari 50 persen masyarakat menolak revisi UU KPK. Masyarakat menilai revisi justru melemahkan dan menghambat kerja KPK.

Pihaknya mengajak masyarakat jangan memilih partai yang mendukung revisi UU KPK dalam Pilkada 2017 dan Pemilihan Presiden 2019. ICW akan mengampanyekan dan memasang gambar-gambar calon dari partai yang mendukung revisi melalui media sosial.

Melalui kampanye tersebut, ia berharap masyarakat lebih pintar dalam menen - tukan pilihan kepala daerah maupun calon presiden yang akan bersaing nanti. rep: Halimatus Sa'diyah, Agus Raharjo, ed: Erdy Nasrul

 

Tidak benar surpres sudah dikirim (ke DPR).

 

Presiden sudah menyampaikan. Jadi, (sur pres) sudah dikirim ke DPR

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement