Kamis 09 Jul 2015 15:00 WIB

MK Bolehkan Dinasti Politik

Red:

JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Uji tersebut berkaitan dengan konstitusionalitas aturan bagi calon kepala daerah agar tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana dalam pilkada.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagian, antara lain, titik dua Pasal 7 huruf r Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015," kata pimpinan sidang Arief Hidayat dalam sidang yang digelar di Gedung MK, Rabu (8/7).

Dalam putusannya, MK menilai, materi yang ada dalam Pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945), yakni Pasal 28 J. Di mana terdapat muatan diskriminatif.

"Bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," ujar Arief.

Dalam pertimbangannya juga disebutkan bahwa UUD 1945 memberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya, yakni hak untuk dipilih. Sehingga, materi dalam pasal tersebut jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat muatan diskriminatif kepada warga negara.

"Itu tentu menyalahi ketentuan Pasal 28 J UUD 1945," ujar hakim Patrialis Akbar dalam pembacaan pertimbangannya.

Ia mengungkapkan, selain dalam UUD 1945, larangan diskriminatif juga tertera dalam Pasal 3 Ayat 3 Undang-Undang HAM di mana setiap orang berhak atas hak asasi manusia tanpa diskriminasi. "Maka, bukan UUD 1945 saja yang melarang diskriminasi."

Sedangkan, hakim Anwar Usman mengatakan, aturan dalam pasal tersebut melanggar hak konstitusional warga negara untuk memperoleh hak yang sama dalam pemerintahan. Norma baru dalam baru penjelasan pasal tersebut, yakni pembatasan adanya politik dinasti juga tidak bisa dijadikan dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.

Ia melanjutkan, sesuai yang tertera dalam pasal tersebut, di mana dimaksudkan untuk menghindari adanya penyalahgunakan kekuasaan oleh petahana untuk kerabatnya dalam pencalonan juga tidak tepat. Pasalnya, penyalahgunaan wewenang tersebut melekat langsung kepada kepala daerah yang merupakan petahana tersebut, bukan kerabat atau keluarganya.

"Bukan berarti mahkamah menafikan bahwa incumbent punya keuntungan, namun pembatasan demikian harus ditujukan kepada kepala daerah, bukan kerabatnya," ujarnya.

Sehingga, adapun keuntungan yang didapat kerabat petahana dari kepala daerah tersebut hanya kalau ada peran dari kepala daerah tersebut, baik dilakukan secara terang-terangan atau terselubung.

Menanggapi putusan itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, MK telah mengabaikan cita-cita semua pihak untuk menciptakan pemilu yang jujur, adil, dan demokrasi. "Pemilu yang jujur dan adil justru luput dalam pertimbangan MK. Makanya sangat disayangkan MK mengabaikan dimensi dan juga semangat ingin mewujudkan pilkada yang jujur, adil, dan demokratis," ujar Titi.

Menurutnya, untuk menciptakan kondisi pemilu seperti yang diharapkan tersebut, harus disertai intervensi konstitusi di mana dengan adanya pengaturan tersebut memberikan peluang yang sama kepada seluruh calon kepala daerah. Pasalnya, ia menilai, jika tidak diatur, ada kecenderungan ketidakberimbangan dalam persaingan calon terutama calon kada dari kerabat petahana.

Ia juga menilai, adanya pengaturan bukan berarti menghilangkan hak politiknya calon kepala daerah tersebut. "Hak politik itu tidak hilang tetapi diatur bisa mencalonkan diri satu periode setelah si petahana selesai menjabat, kan itu filosofi di balik pengaturan," ujarnya.

Ia melanjutkan, dengan keluarnya putusan MK yang mencabut pengaturan konflik kepentingan dengan petahana tersebut, tentu akan melanggengkan penyalahgunaan kekuasaan petahana kepada calon yang berasal dari kerabat petahana tersebut. ed: muhammad hafil

***

INFOGRAFIS

Pasal Larangan Dinasti Politik

*Isi Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada:

Calon kepala daerah tidak memiliki konflik kepentingan/tidak memiliki hubungan darah/ikatan perkawinan/atau garis keturunan 1 (satu) tingkat lurus dengan petahana (kepala daerah incumbent) dengan jalur:

- Ke atas

- Ke bawah

- Ke samping

Yakni:

- Ayah

- Ibu

- Mertua

- Paman

- Bibi

- Kakak

- Adik

- Ipar

- Anak

- Menantu

*Yang Digugat

Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada:

*Penggugat:

Anggota DPRD Kabupaten Gowa Adnan Purichta Ichsan yang juga berstatus anak Bupati Gowa saat ini, Ichsan Yasin Limpo. Adnan kini tengah menjajaki jalan untuk mencalonkan diri menjadi calon bupati Gowa dari Partai Golkar.

*Alasan Penggugat: Diskriminasi

*Putusan MK: Mengabulkan gugatan penggugat dan menganulir Pasal 7 huruf r UU No 8 Tahun 2015 tentang Pilkada:

*Penilaian MK:

- Materi yang ada dalam Pasal 7 huruf r tersebut bertentangan dengan undang-undang dasar (UUD 1945), yakni Pasal 28 J, di mana terdapat muatan diskriminatif.

- UUD 1945 mememberikan hak yang sama kepada seluruh warga negara untuk menggunakan hak konstitusionalnya, yakni hak untuk dipilih.

 -Larangan diskriminatif juga tertera dalam Pasal 3 Ayat 3 UU No 30 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia di mana setiap orang berhak atas hak asasi tanpa diskriminasi.

Sumber: Pusat Data Republika

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement