Senin 01 Sep 2014 13:00 WIB

RUU Pilkada ke UU Pemilu Perlu Digabung

Red:

JAKARTA -- Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Demokrasi Indonesia (Perludem) Titi Anggraini mendesak DPR mengintegrasikan materi Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) saat ini dalam satu materi UU Pemilu. Oleh sebab itu, pembahasan RUU Pilkada perlu dihentikan.

Titi menilai, masyarakat sudah disuguhi drama panjang Pilpres 2014 lantaran adanya perbedaan aturan pileg dan pilpres. Salah satunya adalah isu daftar pemilih khusus (DPK) dan daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb). Dengan integrasi RUU Pilkada menjadi satu naskah UU Pemilu, maka akan ada sinkronisasi aturan pemilu.

Dengan kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada dalam satu naskah, akan terjadi harmonisasi dan sinkronisasi pengaturan maupun teknis penyelenggaraan semua jenis pemilu di Indonesia. Hal itu juga memperkuat konsep pemilu serentak dan untuk menghindari tumpang tindih pengaturan seperti saat Pemilu 2014 yang berujung konflik dan ketidakpastian hukum.

"Jangan sampai masyarakat menyaksikan drama jilid dua, karena undang-undang tidak bisa mengakomodasi. Sinkronisasi penyelenggaraan pemilu harus diakomodasi oleh penyelenggara undang-undang. DPR harus menjawab dalam satu aturan yang selaras (UU Pemilu)," kata Titi dalam konferensi pers di Cikini, Jakarta Pusat, Ahad (31/8).

Titi mengatakan, pihaknya sudah tuntas mengodifikasi aturan penyelenggaraan pemilu dalam satu naskah. Ternyata, hasilnya sangat tidak sinkron dan saling tumpang tindih antara aturan yang satu dengan yang lain.

Pihaknya mendorong DPR tidak tergesa-gesa mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU Pilkada. Sebab, pengesahan undang-undang yang dilakukan tergesa-gesa dan mengabaikan partisipasi publik akan menghasilkan produk yang bermasalah. Dia mencontohkan, Undang-Undang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3) sampai saat ini sudah enam pihak yang mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

"Kalau memang isu krusial belum selesai, beri ruang parlemen berikutnya yang membahas dan publik terlibat. Jangan sampai energi dan biaya dihabiskan tapi ujungnya di MK," imbuhnya.

Titi juga mendesak pelaksanaan pemilu serentak lokal dan nasional. Menurutnya, gagasan pemilu serentak harus diluruskan. Pemilu serentak, kata dia, tidak sekadar bertujuan biaya lebih murah dan efisien, tapi juga adanya efektivitas pemerintahan. "Pemilu serentak lokal dan nasional bisa menjadi siklus dua setengah tahunan. Serentak bisa bertahap. Kalau pilkada dulu, setidaknya satu provinsi serentak," kata Titi.

Dia membayangkan, pilkada serentak itu memilih gubernur, bupati/wali kota secara serentak. Pihaknya mendorong hal itu diundur hingga 2016. Sebab, gagasan pemilu serentak 2015 dinilai hanya siklus lima tahunan. Titi mencontohkan Pemilukada Sumatra Barat 2015 untuk memilih gubernur dan kepala daerah di 15 kabupaten/kota serta Pemilukada Aceh untuk memilih gubernur dan 21 kepala daerah kabupaten/kota.

Terkait persoalan belum selesai dan sudah berakhirnya masa jabatan kepala daerah, Titi mengatakan itu semua harus diatur dalam undang-undang (UU) dan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Sebab, dalam aturan yang ada sekarang, hari pemungutan suara disamakan tetapi akhir masa jabatan berbeda-beda.

rep:c87 ed: muhammad fakhruddin

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement