Rabu 26 Aug 2015 15:00 WIB

Generasi Beda, Kemiskinan Sama

Red:

Kemiskinan bagi Siti Khoiriah (45 tahun) ibarat lorong labirin. Entah di mana jalan keluarnya, ia tidak punya bayangan. Sepanjang usianya yang hampir setengah abad, ia hanya mengenal satu pekerjaan: menganyam senar raket.

Siti bukannya tidak ingin bekerja yang lain. Apa lagi, pekerjaan yang ia sebut "meraket" itu upahnya sangat jauh dari layak. Tetapi, nyaris tak ada pilihan lain bagi ibu dua orang anak itu. Ia harus tetap di rumah, mengurus suami, anak, ditambah kini seorang cucunya. Akhirnya, pekerjaan itu tetap ia jalani dengan sabar.

Di rumahnya di RT 4, RW 3, Kelurahan Balearjosari, Kecamatan Bkimbing, Kota Malang, Siti melewatkan hari-harinya sebagai penganyam senar raket. Itu adalah pekerjaan yang sama seperti yang dilakukan banyak ibu di kampungnya. Mereka menjadi bagian dari produksi raket industri rumahan yang dimiliki sorang juragan di kampung mereka.

Beberapa hari sekali, Siti dan para ibu mendapat kiriman berlusin-lusin rangka raket. Oleh para ibu, raket-raket itu kemudian dipasangi selongsong plastik yang disebut mata ayam di sekeliling kepalanya, lalu dianyamkan senar. Untuk satu sulusin raket yang diselesaikan, mereka mendapatkan imbalan Rp 3.500.

Pekerjaan itu nyatanya tidak mudah. Dalam sehari, Siti hanya bisa menyelesaikan 2-3 lusin. Untuk menyelesaikan tiga lusin, diperlukan 7-8 jam. Bisa dibayangkan, dalam sehari, Siti hanya mendapatkan upah Rp 7.000 hingga Rp 10.500.

Jika merujuk pada Konvensi Organisasi Perburuhan Dunia (ILO) Nomor 177 (1996) tentang Kerja Rumahan, Siti bisa disebut sebagai pekerja rumahan. Menurut peraturan tersebut, pekerja rumahan adalah mereka yang bekerja di luar tempat pemberi kerja.

Siti mengenal pekerjaan itu sejak SD. Ibunya yang mewariskan pekerjaan itu padanya. "Dulu, dari SD, biasa bantu ibu ngeraket. Dulu, tahun 1970-an, dibayarnya cuma Rp 300 per lusin. " ujar Siti, ketika ditemui Republika di kediamannya pada pertengahan Agustus lalu.

Jika dulu ia diperkenalkan pekerjaan itu oleh ibunya di rumah, Siti pun telah mengenalkan pekerjaan itu pada anak-anaknya. Sejak kecil, anak-anaknya juga kerap membantu dia menganyam raket di rumah. Meski begitu, ia sangat berharap, anak-anaknya bisa mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik. Seperti si Sulung Ifa (24) yang kini telah bekerja di toko.

Dulu, seperti ibu, saudara, serta para tetangganya, Siti berpikir bahwa pekerjaannya hanya mengisi waktu luang. Pekerjaan itu mengalir saja ia lakukan untuk membantu suaminya, seorang karyawan bengkel yang hanya berpenghasilan Rp 1,2 juta per bulan.

Tetapi, sejak satu-dua tahun terakhir, pikiran Siti mulai terbuka. Itu sejak ia mendapat pembinaan dari Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI), LSM yang bergerak dalam bidang penguatan kapasitas perempuan pekerja rumahan.

Setelah sering mendapatkan pelatihan, Siti mulai paham kedudukannya sebagai pekerja rumahan yang banyak direnggut haknya. Ia semakin berani berpendapat, termasuk mengajak ibu-ibu yang lain mogok kerja demi menuntut kenaikan upah beberapa bulan lalu. "Kita bosan diupah rendah, kita nolak kerja. Raket dikirim ndak kita kerjain. Kita SMS-an sama ibu-ibu semua," ujar Siti.

Hasilnya, setelah tidak manut kerja sepekan, sang juragan mengabulkan permintaan para ibu untuk menaikkan upah, meski hanya Rp 250. Jika sebelumnya upah mereka hanya Rp 2.750 per lusin raket, setelah mogok kerja, upah mereka menjadi Rp 3.000 per lusin. Beberapa bulan setelahnya, upah mereka kembali naik Rp Rp 500 menjadi Rp 3.500 per lusin raket.

Siti dan ibu Kelurahan Balearjosari hanya satu kelompok perempuan pekerja rumahan yang saat ini sedang dididik untuk berani angkat bicara memperjuangkan nasib mereka. Tak hanya berani bicara kepada majikan, mereka juga diajak untuk mendesak pemerintah untuk memperhatikan nasib jutaan pekerja rumahan di Indonesia. ed: muhammad hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement