Kamis 07 May 2015 18:00 WIB

Buka Opsi Merger Bagi DOB Gagal

Red:

Banyaknya daerah otonomi baru (DOB) yang dianggap gagal menjalankan fungsinya bukanlah hal baru. Hal itu dikemukakan Pengamat Otonomi Daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahunan (LIPI) Siti Zuhro.

Menurutnya, adanya DOB gagal dikarenakan belum matangnya persiapan daerah tersebut ketika hendak menyatakan siap dimekarkan. Sehingga, saat daerah tersebut lepas dari daerah induknya, tidak sedikit yang gagal menjalankan fungsi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

"Makanya, itu kan di UU Pemerintah Daerah sekarang sudah dimasukkan kriteria parameternya, daerah yang dimekarkan dalam UU tidak bisa jadi daerah otonom baru, tapi harus lebih dulu jadi daerah persiapan," ujar Zuhro, beberapa waktu lalu.

Hal itu ia utarakan mengingat tidak sedikit daerah yang dimekarkan dilatarbelakangi alasan politis. Ini berujung pada belum siapnya daerah tersebut untuk mandiri secara penuh.

Padahal, syarat untuk bisa menjadi otonomi daerah, antara lain, harus memiliki parameter potensi ekonomi yang memadai, Pendapatan Asli Daerah cukup, dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup. "Makanya, kalau memang pemekaran hanya semata alasan menambah Dapil sehingga parameternya itu nggak digubris atau bersifat politis, itu yang masalah, akhirnya kemudian ada daerah tertinggal permanen dan gagal," ujarnya.

Zuhro pun mengatakan, untuk daerah yang sudah dianggap gagal tersebut perlu dibuka opsi untuk dilakukan penggabungan. Khususnya, bagi daerah yang dikatakan tertinggal permanen.

"Melihat yang seperti nasi sudah menjadi bubur atau nggak perspektif, mau nggak mau ya dorong penggabungan, jangan dikunci, itu salah. UU yang baru jelas payung hukumnya dan juga didorong untuk penggabungan itu ada aturan apakah balik ke induk atau ke daerah tetangga," ujarnya.

Menurutnya, ke depan semangat berjalannya pemerintah daerah adalah semangat penggabungan. Sehingga, tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemerataan pembangunan bisa tercapai.

"Bisa daerah itu memilih mau balik ke induk atau ke tetangga, itu didorong, apalagi untuk kabupaten kota itu sudah banyak sekali," ujarnya.

Sementara, untuk daerah yang masih bisa diupayakan mandiri, perlu pendampingan khusus pemerintah terhadap daerah-daerah tersebut. Bagi Kabupaten/Kota sudah menjadi tugas pokok dan fungsi pemerintah provinsi, sedangkan pendampingan langsung pusat untuk provinsi.

"Pendampingan perlu, koordinasi, bimbingan pengawasan, kabupaten kota itu bukan pemerintah pusat langsung, koordinasi pusat itu provinsi, sehingga tercipta hubungan jenjang pemerintahan," ujarnya.

Pada peringatan hari Otonomi Daerah ke XIX, beberapa waktu lalu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) kembali merilis evaluasi terhadap daerah otonomi baru (DOB) sejak 1991. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyebutkan dalan survei yang dilakukan Kemendagri hampir 60 persen DOB telah gagal.

Indikator kegagalan tersebut dinilai Tjahjo, di antaranya, karena belum mampunyai DOB meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD)nya. Selama ini, DOB tersebut lebih banyak mengandalkan dana pemerintah pusat, yakni melalui dana perimbangan.

"Sejatinya, tujuan pemekaran daerah itu untuk meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat," ujar Tjahjo.

Ia menuturkan, sudah seharusnya DOB memberikan manfaat lebih kepada masyarakat dan memerankan fungsinya untuk menumbuhkan kemandirian, transparansi, dan akuntabilitas, seperti saat tujuan awal DOB itu dibentuk.

Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Reydonnyzar Moenoek mengatakan, indikator gagalnya DOB terdiri atas beberapa faktor. Selain tidak dapat meningkatkan PAD dan kesejahteraan masyarakatnya, daerah ini juga belum dapat mewujudkan good goverment secara keseluruhan.

"Karena, memang kan salah satu tujuan terlaksana otonomi daerah itu lebih ke penguatan peemrintah lokal dengan partisipasi, kemudian meningkatkan kesejahteraan daerah, pertumbuhan ekonomi," ujar pria yang kerap disapa Donny tersebut.

Ia mengatakan, dalam survei ke 57 daerah baru, faktor gagal terlihat dari masih bergantungnya daerah tersebut terhadap pemerintah pusat. "Boleh dibilang, sebagian besar mengandalkan belanja transfer pemerintah pusat dalam bentuk dana perimbangan," ujarnya.

Ia merinci, selama penyelenggaraan Pemerintah DOB, belanja juga lebih banyak terhadap belanja aparatur dan pembangunan. "Tetapi, belum sepenuhnya berorientasi pada kesejahteraan masyarakat," ujarnya.

Donny pun memaklumi belum mandirinya DOB dikarenakan belum kuatnya pemerintahan DOB tersebut saat dibentuk. Beberapa permasalahan, yakni persoalan sumber daya manusia dan sumber daya alam di wilayah tersebut.

Ia mengatakan, beberapa DOB memiliki keterbatasan SDM yang berkualitas. Kalaupun memiliki SDM, ada beberapa DOB juga tidak memiliki sumber daya alam yang potensial.

"Jadi, itu juga yang menyebabkan daerah menaikkan PAD, mereka sendiri kan harus berbagi dengan potensial sumber PAD juga," ujarnya.

Hal itu juga yang menurut Donny menjadi pertimbangan ke depan pemerintah untuk mengabulkan permintaan DOB.

"Itu dia, makanya kita evaluasi. Makanya, kita akan lakukan kebijakan secara selektif, wacana yang mengemukakan untuk daerah ingin otonomi daerah itu harus ada persiapan, jadi jangan tiba-tiba otonomi sekaligus," ujarnya.

Hal senada dikemukakan Komisi II DPR RI Rambe Kamarul Zaman yang mengatakan kondisi tersebut harus menjadi perhatian bagi pemerintah sebagai pihak yang mengabulkan DOB. Menurutnya, terhadap DOB yang dianggap gagal ini harus dilakukan upaya agar terjadi kemandirian.

"Evaluasi harus ada, kalangan DPR juga melakukan evaluasi juga dengan pemerintah terhadap daerah ini," ujarnya.

Ia juga menekankan perlunya pertimbangan khusus terhadap DOB nantinya di masa mendatang. Tujuannya, agar tidak terulang adanya DOB yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik.

"Ini nanti menjadi bahan juga dalam persidangan kita berikutnya yang menyangkut Otda, kita harus hati-hati semua dalam memutuskan, kita nggak menghendaki lagi, jadi kan Otda dibentuk harus dengan UU, jadi kita bicarakan secara baik, dengan data-data, tidak bisa soal maksa memaksa, kita bicarakan secara mendalam," ujarnya.ed: muhammad hafil

Perlu Unit Penanganan Khusus

Fauziah Mursid

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pemekaran dan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng mengatakan, perlu ada penanganan khusus untuk daerah-daerah pemekaran tersebut. Pasalnya, ia menilai, pemerintah tidak boleh menyamaratakan perlakuan bagi daerah-daerah pemekaran tersebut.

"Harus ada unit penanganan khusus, jangan dianggap sama dengan manajemen daerah sebelumnya karena jelas beda, daerah yang baru pemerkaran tersebut," kata Endi, beberapa waktu lalu.

Endi mengibaratkan daerah otonomi baru tersebut seperti bayi yang baru lahir. Sehingga, menurutnya, perlu ada pendampingan khusus untuk daerah-daerah tersebut dalam mengembangkan potensi di daerahnya.

"Ya kan nggak mungkin bayi baru lahir tiba-tiba langsung lari, apalagi kalau dia lahirnya prematur," ujar Endi.

Ia mengatakan, penanganan khusus tersebut nantinya akan memudahkan daerah untuk mengonsolidasi percepatan pembangunan dari lintas sektor mulai dari pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Hal ini, kata Endi, tidak bisa dipenuhi secara menyeluruh jika daerah otonomi baru di bawah direktorat.

"Tanpa mengecilkan direktorat (dirjen otonomi daerah), tapi daerah pemekaran ini butuh penanganan dari lintas bidang, semua dan keroyokan, kalau hanya di direktorat ini tentu koordinasi kurang efektif, akan lebih baik jika ditangani Badan Khusus Otonomi daerah seperti Badan Nasional Perbatasan yang juga di bawah Kemendagri," ujarnya.

Moratorium

Pada kesempatan itu Endi mengatakan bahwa pemerintah sesungguhnya telah meminta agar pemekaran daerah untuk sementara tidak diteruskan (moratorium), tapi tampaknya DPR jalan terus sesuai dengan kepentingan politiknya.

Perlunya moratorium pemekaran daerah atau pembentukan daerah otonom baru karena pemekaran daerah dinilai hanya memboroskan anggaran dan kerap dinilai gagal. Hanya sekitar 20 persen yang dapat dikatakan berhasil dan 80 persen daerah otonom baru kerap dinilai gagal karena tidak mampu meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat daerah.

Ketika satu daerah baru terbentuk, akan diiringi dana perimbangan tersendiri, di antaranya, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), maupun Dana Bagi Hasil (DBH). Dana yang paling besar untuk membiayai birokrasi dan belanja, pegawai, pada 2010 anggaran negara habis Rp 49 triliun. rep: Fauziah Mursid ed: Muhammad Hafil

Perkembangan Pembentukan DOB:

*1999-2004

- Provinsi: 7

- Kabupaten: 115

- Kota: 26

Jumlah: 148 DOB

*2005-2014

- Provinis: 1

- Kabupaten: 67

- Kota: 7

Jumlah: 75  DOB

*Total Daerah 223 DOB

*Rincian 1999-2014:

- Provinsi: 34

- Kabupaten: 415

- Kota: 93

- Total: 542 DOB

Sumber: Ditjen Otda Kemendagri

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement