Ahad 10 Jul 2016 19:46 WIB

Aplikasi Buku Indonesia Pertama untuk Tunanetra

Red: Firman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Sebuah pengembangan baru yang menggembirakan dunia pustaka. Mahasiswa jurusan Ilmu Politik, Fa kultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) Deka Komanda Yogyantara ber hasil mengembangkan sebuah aplikasi bernama Ayobacain untuk membantu orang berkebutuhan khusus (tunanetra) dalam membaca buku.

"Saat ini aplikasi Ayobacain tengah dikembangkan dan akan resmi diluncurkan pada Agustus 2016," kata Kepala Humas dan KIP UI Rifelly Dewi Astuti di kampus UI Depok, akhir Juli lalu.

Ayobacain merupakan aplikasi pertama di Indonesia yang mengonversikan buku konvensional menjadi audiobook bagi para penyandang tunanetra.

Para penyandang tunanetra dapat mengakses buku-buku melalui website www.ayobaca.indan aplikasi Ayobacain di telepon genggam berbasis iOS dan Android.

Keunggulan aplikasi Ayobacain ada pada akses gratis bagi para tunanetra untuk dapat membaca beragam buku mulai dari buku teks, buku ilmiah, diktat, modul, hingga novel dan komik.

Ia mengatakan, para pembaca buku dapat merekam di mana saja dan kapan saja sesuai kesediaan waktu yang mereka miliki. Pembaca buku juga tidak harus membaca satu buku penuh melainkan dapat membaca per bab dan dapat dilanjutkan oleh temannya yang lain.

"Yang menarik dari Ayobacain adalah Deka berusaha menghidupkan karakter yang ada di dalam buku-buku berbasis cerita maupun gambar seperti novel, cergam, maupun komik," ujarnya.

Rifelly mengatakan, para pembaca buku akan mewakili masing-masing karakter yang ada di buku tersebut dan saling bercerita dengan suara yang berbeda sehingga tunanetra bisa turut merasakan emosi dari setiap karakter yang ada di buku.

"Cara kerja aplikasi ini adalah dengan mengundang masyarakat umum untuk membacakan suatu buku yang direkam secara realtimedan dikonversikan menjadi audiobookmelalui aplikasi ayobacain," katanya.

Dengan demikian, katanya, penyandang tunanetra dapat mengakses audio book tersebut melalui website maupun aplikasi ayobacain melalui telepon genggam secara gratis.

Membuka akses

Aplikasi ini, kata Deka, dilatarbelakangi suatu bentuk kepedulian akan sedi kitnya penyandang tunanetra yang dapat mengakses buku braille di Indonesia.

Selain itu, Deka melihat bahwa harga buku braille berkali lipat lebih mahal dan lebih tebal dari buku konvensional, serta judul buku yang sangat terbatas terutama dalam bahasa Indonesia.

Di sisi lain, audiobookuntuk tunanetra juga masih minim dan mayoritas masih berbentuk cakram padat dengan distribusi yang masih terbatas.

"Hanya 2.000 orang dari 3,7 juta tunanetra yang dapat mengakses buku braille di Indonesia," katanya.

Kondisi ini sangat disayangkan karena 40 persen dari 3,7 juta tunanetra tersebut masih dalam usia sekolah dan membutuhkan akses terhadap ilmu pengetahuan melalui buku.

Deka percaya Ayobacain mampu mem buka akses seluas-luasnya bagi mereka yang berkebutuhan khusus untuk dapat membaca beragam jenis buku dan mempermudah akses ilmu pengetahuan bagi 3,7 juta tunanetra di Indonesia.

Ke depannya, Ayobacain diharapkan mampu meningkatkan jumlah audio - books di Indonesia dan menciptakan gerakan sosial membacakan buku bagi para penyandang tunanetra.

Melalui karyanya ini, Deka menerima penghargaan sebagai Top 5 Social Business Project dalam Program Community Leaders Ayamin Plus yang diadakan oleh NAMA Foundation, Ghadan Institute yang berbasis di Arab Saudi serta Waffa Indonesia Gemilang yang dilaksanakan di Jakarta (4/6).

Selain penghargaan tersebut, Deka juga menerima pendanaan senilai Rp17 juta untuk mengembangkan bisnis sosialnya yang bertujuan membantu tunanetra di Indonesia.

Deka menjadi salah satu wakil dari Indonesia yang akan berangkat ke Turki akhir tahun ini untuk mengikuti training social entrepreneurshipserta membangun kerja sama lebih lanjut tingkat global. antara, ed: Nina Chairani

Cerita Kota Ambon dalam Sketsa

Deskripsi urbankerap menempel pada kota Jakarta, paling tidak kota-kota di Jawa. Pelukis muda Tsart Saiya sedang mempersiapkan buku Urban Sketch. Sebuah buku yang bercerita mengenai sisi lain kehidupan sosial di kota Ambon melalui lukisan sketsa.

"Sudah separuh rampung lukisannya karena konsepnya memang sudah matang, tetapi saya tidak ingin terburu-buru mengerjakannya agar bisa mendapatkan hasil yang baik karena memang buku ini untuk mempromosikan Ambon, targetnya diluncurkan pada 2017," kata Tsart, di Ambon akhir Juli.

Pelukis muda asal Desa Aboru, Pulau Haruku, Kabupaten Maluku Tengah yang bernama lengkap Theizard Saiya itu mengatakan melalui lukisan sketsa di buku Urban Sketch, ingin bercerita mengenai kehidupan sosial masyarakat di Kota Ambon dari sudut-sudut yang sederhana dan sisi yang berbeda.

Karena itu dalam mengerjakan buku lukisannya, Tsart yang saat ini masih berstatus mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, lebih banyak mengunjungi sudut-sudut kota, pasar dan tempat aktivitas masyarakat kemudian melukis di sana.

Ia menargetkan sedikitnya 50 lukisan sketsa akan ditampilkan dalam buku Urban Sketch, dan saat ini sudah 20- an lukisan yang rampung.

"Saya ingin bercerita melalui lukisan sketsa yang dibuat dalam bentuk buku, melihat sisi lain kehidupan sosial di Ambon, dan memperkenalkannya dari sudut-sudut yang sederhana, cerita yang apa adanya, seperti tentang sampah yang menumpuk," ujarnya.

Selain sibuk dengan aktivitas kuliah dan menyiapkan buku Urban Sketch, saat ini Tsart juga sedang menggarap ilustrasi untuk buku kumpulan puisi penyair lokal Wesly Johannes dan Theo Rumthe.

"Lumayan sibuk karena sedang garap ilustrasi untuk buku kumpulan puisi," katanya.

 Pelukis ini telah beberapa kali ikut melelang lukisannya di Belanda untuk mendanai pengembangan anak-anak cacat di sekolah luar biasa (SLB) milik Keuskupan Amboina itu. Ia mengaku dalam berkesenian tidak ingin terpaku dengan satu jenis aliran saja karena itu ia lebih suka bebas berekspresi.

Selain sketsa, Tsart juga menyukai jenis seni lukis kontemporer dan ekspresionisme.

Theizard merupakan sulung dari pasangan Marthen Saiya dan Agustina Gainau, yang dilahirkan di Ambon pada 16 Mei 1992.

Ia mengaku menyukai seni rupa sejak kecil karena sering melihat aktivitas papanya yang juga seorang pemahat, tapi mulai aktif melukis sejak berusia 17 tahun saat melihat suatu pameran lukisan lokal sewaktu dalam perjalanan pulang dari sekolah.

Selain aktif melukis, Tsart yang pernah terlibat dalam kegiatan Residensi Masyarakat Indonesia Cipta pada 2012.Ia dan teman-temannya sesama pelukis yang tergabung dalam komunitas Kanvas Alifuru juga pernah terlibat dalam pelelangan lukisan yang diselanggarkan oleh yayasan sosial di Belanda untuk mendanai pengidap HIV/Aids dan perempuan korban kekerasan.

"Rencananya setelah lulus dari fakultas perikanan nanti akan melanjut studi S2 (strata dua) di bidang seni. Saya tetap akan menjadi seorang sarjana perikanan tapi tidak akan meninggalkan dunia berke senian," tandas Tsart. antara, ed: Nina Chairani

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement