Senin 20 Jun 2016 15:00 WIB

Rokok Ancam Generasi Emas

Red:

Rokok juga dikhawatirkan bisa merusak generasi emas bangsa Indonesia. Dewan Pembina Indonesia International Institute for Life Sciences, Emil Salim mengatakan, pada 2020- 2045 Indonesia akan mengalami bonus demografi, yakni tingginya usia produktif mencapai optimal. Namun, kualitas penduduk dalam bonus demografi tersebut akan sangat mengkhawatirkan karena konsumsi produk yang merugikan, salah satunya yakni rokok.

Emil menjelaskan, bonus demografi tersebut sebenarnya dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mempersiapkan kualitas sumber daya manusia yang mumpuni. Namun sayangnya, investasi sumber daya manusia ini mengkhawatirkan karena konsumsi rokok.

"Pemerintah harus mengutamakan kualitas kesehatan generasi di usia 15-19 tahun agar bisa lepas landas pada 2045, namun, generasi ini yang paling banyak disasar oleh industri rokok," ujar Emil.

Emil menambahkan, untuk mewujudkan generasi muda yang berkualitas, maka tantangan dari produk yang merugikan seperi rokok, narkoba dan alkohol harus diperhatikan secara seksama. Sebab, hal tersebut mempengaruhi kualitas dan kesehatan generasi muda. Apalagi target market industri rokok saat ini sudah beralih ke anak muda, yang pada beberapa tahun ke depan akan menjadi harapan bangsa.

Ia mengungkapkan, dalam roadmap industri tembakau oleh Kementerian Perindustrian, produksi rokok Indonesia pada 2016 diproyeksikan mencapai 421,1 miliar batang, dan pada 2020 sebesar 524,2 miliar batang. Dari total produksi rokok yang diproyeksikan tersebut, paling banyak peningkatannya adalah sigaret keretek mesin "mild", yaitu dari 121,3 miliar batang pada 2016 menjadi 306,2 miliar batang pada 2020.

"Rokok jenis sigaret kretek mesin mild lebih disukai anak-anak muda, apalagi didukung dengan imej bahwa merokok bikin macho," ujar Emil. Emil menilai, ada regulasi yang tidak sejalan dalam upaya untuk mendukung bonus demografi tersebut. Menurut Emil, Presiden Joko Widodo sudah memutuskan untuk fokus menurunkan prevalensi perokok usia 18 tahun ke bawah sebesar 25 persen dalam lima tahun, yakni dari 7,2 pada 2013 menjadi 5,4 pada 2019.

Selain itu, pemerintah daerah DKI Jakarta juga telah melarang pemasangan iklan rokok, karena dapat mengancam kesehatan. "Kebijakan Kementerian Perindustrian dalam roadmap industri tembakau bertentangan dengan kebijakan presiden yang mau menurunkan prevalensi usia produktif," kata Emil. Cukai rokok memiliki posisi tawar yang tinggi bagi industri rokok.

Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menjelaskan, cukai memiliki fungsi utama sebagai pengendalian. Meski di sisi lain, cukai juga menambah penerimaan negara, namun hal itu bukan tugas utama dari cukai. Artinya, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk bisa mengatur industri rokok agar berjalan seimbang, baik dari sisi ekonomi ataupun dari aspek lain, termasuk kesehatan.

"Bukan lantas industri rokok dilarang. Artinya, supaya volume produksi rokok menjadi tertentu. Itu fungsi utama cukai. Nah, cukai ini harus didesain untuk pemenuhan pengendalian konsumsi rokok," kata Enny.

Ia menilai, pemerintah harus bijak dalam membuat regulasi soal rokok. Mengenai dampak kesehatan yang terjadi, Enny mengungkapkan, bukan sepenuhnya salah industri rokok. Industri dalam hal ini hanya menjalankan regulasi yang dibuat pemerintah. Justru instrumen pengawasan dan penegakan hukum oleh pemerintah lah yang harus ditagih.

"Makanya, saya secara ekonomi, untuk meng integrasikan berbagai kepentingan tadi, termasuk kepentingan kesehatan, ekonomi yang utama. Juga mempertimbangkan penerimaan negara, kepen tingan industri, dan tenaga kerja. Itu yang harus disinergikan dan harmoni," ujar Enny.    rep: Sapto Andika Candra, Rizky Jaramaya, ed: Muhammad Iqbal

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement