Kamis 29 Sep 2016 14:00 WIB

Buzzer dan Demokrasi

Red:

Tidak lama setelah Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan putranya Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni, menyusul kemudian Prabowo Subianto mengusung Anis Baswedan dan Sandiaga Uno, masing-masing sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta, dunia media sosial, terutama Twitter, dipenuhi oleh buzzer dan bot politik.

Kelompok ini sangat lihai dan mahir mengelola kebohongan dan berbagai kebodohan sebagai isu publik melalui media sosial. Tanpa disadari, keriuhan dan aktivitas masif para buzzer dan bot politik telah mencederai demokrasi digital. Perdebatan dangkal antar-buzzer yang masing-masing menggunakan teknik black propaganda tidak saja merugikan publik, tetapi juga mengancam masa depan demokrasi yang mengarah pada demokrasi penuh caci maki.

Istilah buzzer dapat mengacu pada konsep buzz marketing, yaitu aktivitas atau kegiatan pemasaran suatu produk pada saluran media komunikasi untuk menciptakan gangguan. Gangguan tersebut ditujukan pada kompetitor untuk menarik target audiens. Buzzer inilah yang akan melempar isu di media sosial, terutama Twitter, sehingga menjadi perbincangan luas khalayak (viral).

Agar sebuah tweet menjadi viral, biasanya akun Twitter yang menjadi buzzer didukung puluhan bahkan ratusan akun robot (dikenal dengan akun bot yang dibuat untuk pekerjaan otomatis seperti retweet). Atau sesama akun Twitter yang menjadi buzzer tersebut, saling menyahut tentang isu yang sedang diperbincangkan.

Di Indonesia, fenomena buzzer ini mulai marak sejak media sosial seperti Twitter pada 2009, dinilai sukses menggalang gerakan sosial melalui tagar #Indonesiaunite untuk melawan teror bom di Mega Kuningan, Jakarta. Hingga kemudian, sejumlah brand produk ternama melirik buzzer sebagai salah satu strategi pemasaran produknya. Pada gilirannya, media sosial turut mempengaruhi berbagai dinamika politik domestik.

Pada sejumlah negara seperti Spanyol, sejumlah aktivis media sosial mampu menggerakkan warga untuk tidak lagi memberikan suara mereka pada partai besar. Sebab, partai besar tersebut telah mengeluarkan RUU tentang Copyright karena adanya tekanan dari Amerika Serikat (John Postill, 2014).

Di Indonesia, riset yang dilakukan Yanuar Nugroho dan Sofie Shinta Syarif (2012) tentang cara yang digunakan untuk mengakses media sosial dalam mempengaruhi proses politik, menemukan bahwa teknologi memang menjadi platform yang potensial bagi warga untuk terlibat politik.

Penggunaan internet dan media sosial berpotensi membantu masyarakat sipil tidak hanya untuk menyebarkan isu guna mendapatkan perhatian publik lebih luas, tetapi juga mempersiapkan kondisi untuk aksi lebih lanjut.

Kendati bersifat virtual, kondisi ini mengokohkan bahwa media sosial memiliki kekuatan riil. Keunggulan dan kemampuan media baru tersebut dalam mempengaruhi berbagai putusan politik telah mengantarkan masa depan demokrasi Indonsia menuju demokrasi baru. Suatu demokrasi virtual yang mampu memandu demokrasi riil.

Partisipasi publik menjadi lebih hidup, dinamis, langsung, dan seketika dalam merespons segala urusan mereka. Pendek kata, media sosial mampu mempercepat proses terwujudnya public interest menuju tatanan public good.

Namun, agaknya kondisi yang menjanjikan tersebut dicederai oleh pelaku buzzer politik, yang bekerja untuk berbagai kepentingan politik tertentu. Golongan buzzer politik ini secara sempit membela habis-habisan kepentingan politiknya, dan mencerca sepuas-puasnya yang menjadi lawan politik mereka.

Karena kepentingan politik itu terpersonifikasi pada calon gubernur, misalnya, pembelaan dan perlawanan yang terjadi juga bersifat personal. Saling cerca antar-buzzer politik membanjiri dan mengotori lini masa media sosial. Ini potret buram media sosial mutakhir menjelang Pilkada DKI Jakarta.

Perdebatan menjadi dangkal karena penuh amarah, caci, maki, dan cercaan. Perdebatan jauh dari isu atau informasi yang mencerahkan publik karena yang dibicarakan bukan visi, misi, prestasi, atau rekam jejak calon gubernur yang diperjuangkan. Sebaliknya, perdebatan mengarah pada fisik atau keyakinan. Padahal, keduanya tidak berhubungan langsung dengan kemampuan leadership.

Ancaman demokrasi

Saling serang politik dalam demokrasi dapat dibenarkan untuk kepentingan pendidikan politik. Saling serang politik dengan menggunakan data akurat terkait isu publik, justru akan menjadikan publik kaya informasi. Dengan informasi tersebut, pilihan politik warga akan didasarkan pada pertimbangan demi kebaikan publik (public good). Bukan pertimbangan suka atau tidak, pertimbangan keyakinan yang dianut atau bahkan pertimbangan fisik semata.

Menggunakan media sosial untuk mengumbar keburukan yang tidak relevan dengan kepentingan publik atau mengumbar kebencian, justru menjadi ancaman bagi kehidupan demokrasi. Negara yang demokratis tidak bisa menerima perbedaan fisik dan keyakinan (atau perbedaan lainnya), sebagai ganjalan atau dukungan politik pada orang atau kelompok tertentu.

Sebaliknya, dalam negara yang demokratis, berbagai perbedaan fisik atau keyakinan tersebut diletakkan sejajar dalam semangat humanisme dan hak asasi manusia. Lantas bagaimana dapat mengetahui kelebihan dan kekurangan calon gubernur yang hendak dipilih, tanpa mencerca dan mencaci maki?

Para buzzer politik yang bermain dalam Pilkada DKI Jakarta dapat menggunakan teknik negative campaign. Yaitu, menyajikan suatu informasi yang terkait dengan public interest.

Dapat saja informasi tersebut belum tentu mengandung kebenaran, tetapi dapat diverifikasi oleh yang bersangkutan atau dibuktikan oleh pihak lain yang terkait. Dasarnya adalah informasi faktual tentang kekurangan kompetitor. Kekurangan faktual tersebut yang dijadikan dasar untuk menyerang kompetitor. Misalnya, berbagai dugaan korupsi, penyelewengan kewenangan, penggusuran kaum miskin kota, atau hal lain yang terkait urusan publik.

Negative campaign berbeda dengan black propaganda yang bertumpu pada penyampaian informasi yang keliru, menyesatkan publik, cenderung fitnah, bahkan bisa berisi caci dan maki atau berbagai cercaan yang bernada sinis dan penuh kebencian.

Sebab pada hakikatnya, black propaganda juga merupakan musuh bagi demokrasi karena memanipulasi hak warga negara untuk berpartisipasi secara politik. Black propaganda merujuk pada isu yang tidak konkret dan tidak akurat melalui rumor, narasi, meme, atau komunikasi sosial lainnya.

Iswandi Syahputra

Dosen Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement