Selasa 27 Sep 2016 14:52 WIB

Guru Sang Pembelajar

Red:

Guru sejati adalah pembelajar sejati. Ketika guru berhenti belajar, maka ia telah berhenti menjalankan profesinya. Jika ia tetap berada di kelas bersama muridnya, ia bukan lagi sebagai guru, tetapi sebagai pelaksana administrasi pengajaran atau sering diibaratkan sebagai "birokrat" kelas. Sebagai "birokrat", murid yang harus melayaninya, bukan sebaliknya.

Rasa empati, kesabaran, ketekunan, rasa ingin tahu adalah sebagian kecil dari sejumlah sifat kemanusiaan yang diperoleh guru dari muridnya. Semakin rumit persoalan yang dimunculkan muridnya membuat guru semakin matang dan makin bijak dalam menghadapi serta mengatasi berbagai persoalan.

Sebagai pembelajar sejati, sumber belajar utama bagi guru adalah muridnya. Respons yang ditunjukkan murid ketika guru menginstruksikan, mengajarkan, atau menginformasikan sesuatu merupakan materi inti dari pelajaran bagi guru. Apakah muridnya hanya sekadar menjalankan sesuai instruksi atau mengangguk pada saat guru menjelaskan sesuatu, ingin tahu, ceria atau stres ketika menyambut kedatangan guru, semua itu adalah bahan belajar bagi guru yang harus dijadikan patokan utama untuk melanjutkan pembelajaran.

Dengan demikian, proses pembelajaran akan berlangsung dinamis sebagaimana hakikatnya kehidupan manusia. Dalam konteks ini, pemilihan pendekatan, strategi, metode, dan model pembelajaran sangat ditentukan oleh reaksi murid pada saat proses belajar berlangsung. Ini bertolak belakang dengan kebiasaan selama ini.

Selama ini—umumnya—guru lebih memilih "setia" dengan sintaks atau prosedur dari model pembelajaran yang dikembangkan para ahli ketimbang merancang sendiri. Seharusnya model pembelajaran yang diperkenalkan oleh para ahli itu diposisikan sebagai referensi atau acuan pengembangan saja, bukan untuk diterapkan mentah-mentah.

Guru bukan "agen" dari penemu model pembelajaran tersebut, melainkan pembelajar aktif yang selalu memperbaharui ilmu mendidiknya melalui respons yang diberikan oleh muridnya. Itulah guru kreatif, guru progresif.

Guru sejati adalah inisiator ulung yang mampu membaca apa yang dibutuhkan muridnya di masa datang. Dalam proses belajar konvensional, semua yang dilakukan murid sepenuhnya ditetapkan oleh guru. Yang menjadi persoalan ketika pemilihan dilakukan oleh guru, pilihan itu sepenuhnya berdasarkan pada pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu boleh dijadikan dasar untuk penentuan apa yang akan diberikan kepada murid, tapi penggunaannya tidak lebih sebagai alat bantu untuk memahami masa kini dan apa pengaruhnya ke depan.

Proses pembelajaran konvensional itu diperparah oleh kebiasaan para pendidik yang memosisikan anak didiknya sebagai konsumen selama proses pembelajaran. Guru menyuplai, menentukan cara, dan memutuskan sendiri apa yang harus disampaikan kepada murid.

Sedangkan, muridnya tinggal menerima dan menjalankan. Bila ini dilanjutkan, selamanya murid akan menjadi "konsumen". Padahal, salah satu yang kita harapkan dari pendidikan adalah murid mampu menjadi "produsen" sejak dini.

Apa pun wujudnya, sekecil apa pun ukurannya, anak didik dibiasakan memproduksi sesuatu. Jika anak sampai di rumah, orang tuanya akan bertanya, apa yang bisa kamu buat dan lakukan hari ini yang berbeda dengan yang kemarin? Itulah pendidikan yang membangun.

Ketidakpekaan guru dalam membaca, memperlakukan, dan menyikapi respons yang ditunjukkan oleh murid di sepanjang proses pembelajaran menjadi salah satu faktor penyebab ketidakefektifan proses pendidikan dan berdampak pada keterpurukan kualitas hasil pendidikan.

Inilah yang saat ini kita alami. Untuk bangkit dari keterpurukkan, kita harus mengangkat pamor guru dengan cara memperkuat kemampuan mereka dalam membaca dan menerjemahkan kebutuhan muridnya di masa datang ke proses pembelajaran hari ini. Tanpa itu, sulit bagi kita untuk bangkit apalagi tuntutan kehidupan ke depan sangat berbeda dengan di masa lalu.

Terkait tuntutan kehidupan masa depan, deklarasi Forum Ekonomi Dunia (WEF) dapat kita jadikan salah satu rujukan. Ada 10 skills terpenting yang menentukan kesuksesan hidup dan perlu dimiliki peserta didik, yaitu kemampuan: menyelesaikan masalah yang kompleks, berpikir kritis, kreatif, mengelola sumber daya manusia, berkoordinasi dengan sesama, kecerdasan emosional, justifikasi, dan pengambilan keputusan, berorientasi pada pemberian layanan, negosiasi, dan berpikir fleksibel.

Setali tiga uang dengan itu, Daniel H Pink menyebut masa depan (abad ke-21 menuju abad ke-22) sebagai era konseptual yang membutuhkan kemampuan high concept (berpikir tingkat tinggi) dan high touch (sentuhan tingkat tinggi). Orang yang bisa eksis di abad itu adalah mereka yang tidak lagi mengandalkan pola pikir linier karena pola pikir linier hanya mampu menyelesaikan persoalan sederhana.

Penyelesaian persoalan yang membutuhkan kemampuan linier akan segera digantikan oleh mesin dan komputer. Semua hal yang menggunakan prinsip kerja linier akan menjadi produk massal yang mampu dihasilkan siapa pun, semua bisa dikopi, termasuk oleh mesin. Hanya unsur dasar kemanusiaan yang tidak bisa dikopi dan digantikan mesin, yaitu kreativitas, imajinasi, kepribadian, dan akhlak.

Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus memberi ruang seluas-luasnya bagi guru untuk berkreasi menuangkan imajinasi dan daya kreatifnya dalam mengelola potensi anak dan menggabungkannya dengan kecepatan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu caranya dengan menginspirasi guru melalui wacana dan teknik mengembangkan model pembelajaran agar guru mampu mengembangkan modelnya sendiri. Kurikulum tidak perlu lagi diutak-atik, yang dibutuhkan adalah proses pembelajaran kreatif, imajinatif, dan progresif.

Lepaskan guru dari kebiasaan membelenggu diri pada model pembelajaran yang dikembangkan oleh para ahli dari luar. Setiap anak bangsa memiliki keunikan sendiri, mengopi model pembelajaran dari luar justru mematikan langkah kreatif guru dan mereka akan terperangkap menjadi "agen" para ahli yang menemukannya. Hal ini akan mereduksi kemampuan guru sebagai pembelajar sejati.

Kita perlu meneladani cara Rasulullah sebagai Sang Pendidik. Pendekatan, strategi, dan metode pembelajaran yang digunakan dalam membangun peradaban di zaman jahiliyah mampu menembus masa yang jauh ke depan, bahkan sampai akhir zaman.

Hanya dengan cara itulah kita mampu membangun SDM berkualitas sehingga kita tidak lagi mengalami krisis sosok pemimpin yang amanah dan Islami di masa datang dan agar anak-anak bangsa ini tidak jadi penonton atau hidup sengsara di negeri sendiri yang kaya raya ini. 

Zulfikri Anas

Peneliti Indonesia Bermutu, Pembina Yayasan Perguruan Al-Iman, Citayam, Bogor

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement