Sabtu 24 Sep 2016 17:00 WIB

Critical Thinking dan Radikalisme

Red:

Revolusi teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah struktur sosial masyarakat saat ini. Dengan teknologi, dunia sudah tidak lagi memiliki batasan ruang dan waktu.

Riset Pew Research Center di Amerika pada 2011 menyebutkan bahwa teknologi telah merasuk ke segala sendi kehidupan masyarakat. Survei tersebut menemukan bahwa 70 persen masyarakat, menganggap internet memiliki pengaruh besar untuk merespons perkembangan isu tertentu. Angka yang sama menyatakan, internet dapat digunakan untuk meluaskan jejaring pertemanan atau keanggotaan komunitas yang lebih luas.

Seperti telah dimuat di harian Republika yang berjudul KBRI Seoul Gelar Nonton Bareng Jihad Selfie. Di film tersebut, diceritakan pola baru rekrutmen anggota ISIS, yang memanfaatkan media internet.

Melalui teknologi internet, ISIS menyebarkan informasi dengan mudah dan cepat tanpa melalui proses verifikasi yang seharusnya. Berdasarkan data yang dipublikasikan WeAreSocial pada 2016, pengguna internet di dunia telah mencapai hampir separuh jumlah penduduk di bumi, yakni 3,4 miliar dari total 7,4 miliar.

Data lain di Indonesia juga menunjukkan, sekitar 46 persen pemakai internet diisi anak-anak remaja SMA atau 70 persen oleh kalangan usia 20 tahunan. Sangat masuk akal, jika target ISIS adalah menyebarluaskan propaganda ideologi mereka, melalui kampanye media yang pragmatis dan dibutuhkan anak-anak muda di dunia.

Apa yang terjadi di benak anak-anak muda itu? Mengapa mereka gampang tergiur oleh propaganda ISIS atau kelompok sejenisnya? Urie Bronfenbrenner (1917) menjelaskan, perkembangan anak-anak atau remaja sangat dipengaruhi lingkungan terdekat (mikro) hingga lebih luas (makro), bahkan lingkungan kronosistem, yakni lingkungan sosiohistoris anak.

Sementara itu, kebutuhan utama anak-anak muda atau remaja adalah menyangkut pemenuhan identitas diri, eksistensi, dan tantangan baru. Tayangan video jihad oleh ISIS di internet berpotensi membuka katup pemenuhan akan tantangan baru tersebut.

Secara sosiohistoris, tayangan video itu tidak lagi menakutkan bagi mereka yang lahir di era digital. Berbeda dengan orang tua yang lahir sebelumnya. Mereka cenderung takut atau akan menghindari tayangan itu.

Bagi kalangan anak muda itu, unggahan video jihad berhasil mendekatkan gap atau jarak psikologis mereka terhadap aktivitas perang, seperti layaknya tayangan reality show yang menghibur.

Hasrat mereka untuk bergabung ke ISIS justru menjadi tantangan, seolah terlibat perang dalam video games dengan medan laga yang nyata. Mereka merasa lebih eksis karena merasa terlibat untuk membuat sejarah peradaban baru dengan berjihad.

Perkembangan teknologi internet juga memungkinkan, seseorang dapat membuat keputusan dengan cepat tanpa pikir panjang. Hal ini disebabkan dua faktor: keberadaan mesin pencari informasi dan faktor internal diri yang tidak kritis untuk memilah derasnya informasi.

Mesin pencari informasi seperti Google memungkinkan penggunanya, dengan mudah dan cepat memperoleh informasi yang diinginkan. Hanya dengan sekali klik menekan tombol enter, informasi telah tersaji di depan mata.

Kecepatan akses ini pada akhirnya akan melahirkan generasi baru yang disebut Generasi one klik atau generasi instan, yakni generasi yang membutuhkan kecepatan tinggi untuk mendapatkan yang diinginkan. Mereka cenderung cepat putus asa ketika prosesnya lambat dan memakan waktu lama.

Generasi instan ini akan banyak menimbulkan dampak negatif daripada positif. Khususnya, kepada anak-anak muda yang galau dan cepat putus asa. Ketika generasi ini berjumpa dengan sesuatu yang menyangkut kebijakan atau program pemerintah, mereka cenderung apatis.

Gap atau waktu tunggu inilah yang dapat dimanfaatkan pihak lain, yang sok populis dengan bersuara lantang menawarkan obat penawar instan. ISIS atau kelompok sejenisnya adalah kaum sok populis itu. Mereka menawarkan jihad yang disertai ayat-ayat agama sebagai obat mujarab.

ISIS percaya bahwa para generasi instan ini akan memilih bergabung dengan mereka, sebagai jalan pembebasan yang lebih masuk akal, daripada menunggu kebijakan negara yang lambat.

Faktor kedua adalah rendahnya kemampuan berpikir kritis. Beyer (1985) mendefinisikan bahwa kemampuan berpikir kritis adalah kemampuan menilai valid tidaknya suatu informasi. Sedangkan Chance (1986) menambahkan, berpikir kritis adalah kemampuan menganalisis fakta secara utuh, dan menggunakannya untuk membuat solusi atas suatu masalah.

Bagi mereka yang tergoda ISIS, melimpahnya informasi sebagai dampak teknologi internet tidak otomatis membuka cakrawala berpikir mereka. Terbuka lebarnya kanal informasi ini justru digunakan untuk memperkuat ideologi atau menyuburkan nilai-nilai keyakinannya.

Alih-alih ingin membaca pemikiran yang berbeda, wawasan mereka justru menyempit oleh dalamnya bacaan yang tersedia di internet. Kedalaman informasi itu terkadang digunakan untuk menjustifikasi pihak lain bersalah, atau menghukum kepada siapa saja yang berseberangan.

Padahal, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk bertabayun, yakni mencari pendapat lain ketika menerima berita yang masih simpang siur. Makna tabayun sejalan dengan pengertian berpikir kritis, yakni kemampuan mengevaluasi berbagai informasi sebelum membuat keputusan yang solutif dan komprehensif.

Berpikir kritis atau tabayun tidak dilakukan oleh mereka yang tergiur ISIS. Berpikir kritis memahami keberagaman informasi dan budaya literasi digital, perlu digalakkan di sekolah-sekolah, khususnya pendidikan dasar dan keluarga, sebagai fondasi pengembangan karakter positif anak.

Pendidikan di sekolah tidak boleh mengukur prestasi anak hanya dari angka atau nilai ujian, melainkan harus merangsang kekritisan berpikir. Budaya dan pembelajaran di sekolah perlu diperbanyak dengan memantik pertanyaan dan diskusi agar anak-anak berusaha mencari jawaban dari berbagai referensi.

Mereka didorong untuk mendekatkan ilmu pengetahuan dengan kasus-kasus sehari-hari, melalui berbagai kegiatan eksperimentasi atau studi lapangan. Anak-anak itu harus dipaksa mengaktifkan otak dan seluruh pancaindranya untuk belajar. Jika tidak, anak-anak akan malas berpikir ketika menghadapi persoalan nyata karena terbiasa mengikuti petunjuk guru atau kunci jawaban.

Dorongan untuk membaca beragam sumber ilmu akan membantu anak-anak terbiasa berpikir berbeda, sekaligus memiliki kemampuan berdialog dan bertukar pikiran secara terbuka. Mempersiapkan generasi yang kritis dan melek digital adalah kunci, agar mereka tidak gampang terpancing paham radikalisme yang memanfaatkan kemajuan teknologi. 

MUHAMMAD NUR RIZAL

Inisiator Gerakan Sekolah Menyenangkan, Pengajar di Teknik Elektro dan Teknologi Informasi UGM

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement