Jumat 22 Jul 2016 15:00 WIB

Islam, Terorisme, dan Politik

Red:

Kekerasan yang melanda dunia dewasa ini dibingkai identitas religius yang terdisain dan tersemai pada relung kehidupan demokrasi. Tindakan teroris di Brussels, Nice, Prancis, bom bunuh diri di Mapolres Surakarta adalah peristiwa menyedihkan di atas bangunan multikultural.

Menyitir pendapat Amartya Sen (2007), teror sejatinya konflik yang dibingkai identitas religius sebagai respons ketidakadilan. Teror sengaja diciptakan untuk memperoleh simpati dan dukungan dari basis identitas sama. Dengan modal itu, teror terus bergeser dari Timur Tengah menuju belahan dunia lainnya, termasuk Indonesia dengan penduduk Muslim 80 persen.

Ada tiga tipologi terror, menurut Schmid dan Joungman (2005). Pertama, kekerasan di ruang publik untuk menciptakan ketakutan dan fenomena ini strategi penampilan diri. Tipologi kedua, agenda menyemai ikatan identitas dengan recruiting dan brainwash (cuci-otak). Tipologi ketiga, ketika semaian matang digunakan sebagai massa meraih kuasa politik dengan tindakan teror sistemik.

Kasus teror di Indonesia, tipologi pertama dan kedua sudah terbentuk, tetapi tipologi ketiga sulit diwujudkan karena pergumulan Islam sembilan abad silam belum utuh membentuk struktur ortodoksi Islam yang disebabkan sinkretis masyarakat. Dalam konteks itu aliran Islam modern dan tradisional, tetapi kedua aliran tidak melepaskan ikatan keutamaan Islam.

Islam modern terpecah dalam firqah Islam liberal dan konservatif. Sempalan liberal lahir pos-tradisional dan liberal fundamentalis, sedangkan Islam konservatif lahir firkah jihad-teroris yang menyatakan dirinya paling benar dan lainnya kafir. Sekte jihad-teroris bersikap radikal dengan skriptualisme Alquran sebagai philosopische gronslag yang tentunya tidak mengakui Pancasila dan UUD 1945.

Struktur Islam tradisional di bawah Nahdlatul Ulama (NU), sedangkan Islam modern di bawah Muhammadiyah. Keduanya tidak mengakui eksistensi jihad-teroris yang melakukan tindakan kekerasan dan pembunuhan. Gigihnya penolakan itu tipologi ketiga tidak berkembang, bahkan penolakan didukung TNI dan Polri.

Wacana teror dalam sejarah bangsa kita ada dua faktor. Pertama, tumbuh alami karena perubahan situasi sosial ekonomi dan sosial politik. Kedua, pengaruh firkah jihad-teroris dan berelasi dengan jaringan transnasional Islam. Jaringan itu sudah ada sejak abad ke-19 ketika represi politik kolonial dan masuknya pemikiran radikal Timur Tengah.

Pada masa Orde Baru jaringan ini menguat dan membangun relasi puritanisme Timur Tengah. Relasi transnasional dibedakan awal Islamisasi, masa kolonialisme, dan lahirnya firkah jihad-teroris.

Grant Wardlaw (1981) membedakan teror dan terorisme. Teror adalah aktivitas kekerasan yang tidak dengan perangkat kerja sistematis. Terorisme merupakan gerakan terstruktur dan teroganisasi serta berkesinambungan untuk mewujudkan tujuan dengan teror sistemik.

Gerakan terorisme dilakukan tiba-tiba untuk memicu ketakutan massa. Terorisme tertua dilakukan sekte Sicarii dengan gerakan Zealot (66-73 M) yang memprovokasi masyarakat Yudea Palestina melawan Romawi.

Kesaksian Tome Pires (2014), awal Islamisasi di nusantara orang-orang Moor melakukan teror terhadap pemangku kuasa di pesisir utara Jawa. Teror itu untuk mendapatkan konsesi politik ekonomi. Dimungkinkan, teror sebagai safety first terhadap tujuan mengonversi Islam yang berisiko.

Implikasinya, tumbuh dua struktur kuasa politik, struktur politik kerajaan dan stuktur kekuatan pesantren. Fachry Ali (1996) menyebut "negara wali" dan indikasi itu dibenarkan Claude Guillot & Ludvik Kalus (2008) karena Sunan Kudus menyatakan diri sebagai panglima perang.

Represi Belanda terhadap Muslim memicu radikalisme abad ke-19. Meski tampak nuansa sporadis, tetapi menjadi embrio pergerakan nasional. Tumbuhnya gerakan transnasional Islam karena campur tangan Sjech Abdul al-Samad al-Palimbani yang memprovokasi pemangku kuasa melancarkan jihad fi sabilillah. Landasan berpikir Sjech sederhana, intervensi asing terhadap politik keraton dan penguasaan tanah pertanian yang merugikan petani.

Gerakan teror secara simbolik terindikasi dari perampokan harta dan pembunuhan tuan tanah J Moser dan J Jozes. Di balik peristiwa itu, ada kemiskinan struktural yang dihadapi petani Muslim.

Kemiskinan dirasakan juga oleh PB IX, sehingga mengutus Surasubrata membawa titah menggerakkan perlawanan di daerah periferal dan semiperiferal di wilayah kekuasaan Kasunanan. Tertangkapnya Mangkuwijaya, Jayaprawira, dan Tuskara, tokoh jaringan Surasubrata, tidak bisa diungkap siapa tokoh utamanya.

Muslim kritis dan firkah konservatif tidak diterima Orde Baru. Mereka distigma menghambat pembangunan ekonomi dan politik. Mereka bergerak bawah tanah menghindari represi politik. Kekuatan dominan dibangun Orde Baru untuk melanggengkan stabilitas politik dan keamanan.

Dengan landasan itu, sulit terbentuk civil society sebagai sistem terbuka yang melindungi hak publik dan meningkatkan peran profesi secara otonom. Dengan jatuhnya Orde Baru firkah konservatif (jihad-teroris), mereka tampil menuntut perubahan relasi agama dan negara.

Jatuhnya Soeharto memicu tipologi ketiga Schmid dan Joungman (2005) masuk ruang publik menunjukkan jati diri. Abu Dujana, Abu Irsyad, Amrozi, Imam Samudra, dan lainnya digembleng jaringan Mujahidin Afghanistan yang bertarung dengan bom bunuh diri. Indonesia bukan kawasan daar al-harb dan kekerasan bukannya untuk membangun keadilan dan kerakyatan, tetapi ditujukan tumbuhnya konservatif-puritan Islam.

Penggulingan Ben Ali (Tunisia), Husni Mubarak (Mesir), Ali Abdullah Saleh (Yaman), dan Muammar Qadafi (Libya) indikasi kemungkinan terjadi kudeta di negara Muslim yang belum menjunjung keadilan. Arab rising adalah gejala menumbangkan tirani dan membangun demokrasi berkeadilan.

Pasca-Arab rising membuka agitasi teror untuk memicu ketakutan massa. Kawasan Asia Tenggara dijadikan daar al-harb melalui jaringan Irak dan Suriah. Bahrum Naim, Abu Sayyaf, dan Mujahidin Indonesia Timur pimpinan Santoso bagian ISIS Asia Tenggara. Secara historis, kawasan ini merupakan kawasan pinggiran yang tidak menunjukkan warisan kejayaan Islam.

Islam Asia Tenggara dibangun dari pengalaman multikultural yang mengakui etnik dan keagamaan masyarakat. Khazanah toleransi tumbuh subur dan relasi antarkelompok sosial memicu tumbuhnya civic virtue dan civic culture berperan menangkal benturan sosial. Situasi ini menjadi angin segar tumbuhnya intelektualitas yang menyemai karakter damai.

Suasana renaissance itu belum diimbangi dengan tumbuhnya demokrasi berkeadilan. Artinya, pembangunan kesejahteraan rakyat adalah pokok utama untuk membentuk kemandirian Indonesia, manusia mandiri itu mampu menekan konflik sosial. Kemandirian bukan kondisi sosial yang datang secara tiba-tiba, melainkan melalui desain produksi proyek pemerintah yang bermartabat.

Kemiskinan mendesak dientaskan karena orang miskin ladang subur untuk direkrut dan dicuci otaknya dijadikan kombatan. Pemerintah harus berlomba dengan kecepatan antara peningkatan kesejahteraan rakyat dan menangani teroris. Pada sisi lain kebijakan penggusuran dan perampasan oleh pemerintah daerah tanpa diikuti pemberian peluang usaha ekonomi adalah tindakan tidak humanis.

Persoalan membangun kemandirian manusia dan menangkal terorisme harus berjalan paralel. Empat komponen menangkal terorisme Asia Tenggara yang berkelindan dengan jaringan Irak dan Suriah adalah tersedianya dana operasional, membangun intelijen yang kompeten, revisi Undang-Undang Terorisme, yang  tidak disalahgunakan untuk menangkap manusia tidak bersalah, dan terakhir revitalisasi kepemimpinan elite politik yang jauh dari harapan. Semoga! 

Hermanu Joebagio

Guru Besar Sejarah Politik Islam Universitas Sebelas Maret

Nur Fatah Abidin

Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Mention Yukk, Satu jenis kosmetik yang ada di Meja rias Kamu!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement